Beranda blog Halaman 86

Dorong Pertumbuhan Ekonomi Aceh, PT PEMA dan PLN UID Jalin Kolaborasi Infrastruktur Kelistrikan

0
PT Pembangunan Aceh (Perseroda) atau PT PEMA menjalin kolaborasi strategis dengan PLN Unit Induk Distribusi (UID) Aceh dalam pengembangan infrastruktur kelistrikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. (Foto: Humas PT PEMA)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – PT Pembangunan Aceh (Perseroda) atau PT PEMA menjalin kolaborasi strategis dengan PLN Unit Induk Distribusi (UID) Aceh dalam pengembangan infrastruktur kelistrikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.

Komitmen tersebut disampaikan dalam audiensi manajemen PLN UID Aceh ke Kantor PT PEMA, Sabtu (6/9/2025). Kunjungan dipimpin langsung General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir, dan disambut oleh Direktur Utama PT PEMA, Mawardi Nur, bersama jajaran direksi.

Diskusi kedua pihak berfokus pada rencana kerja sama pengembangan kawasan industri di Aceh. PLN UID Aceh menyatakan kesiapannya menjadi mitra strategis PT PEMA dalam penyediaan sarana dan prasarana kelistrikan.

Direktur Utama PT PEMA, Mawardi Nur, menegaskan pentingnya dukungan PLN untuk memperkuat daya tarik investasi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.

“Kita apresiasi atas kunjungan dan inisiatif kerja sama dari PLN UID Aceh. Kita juga mendorong adanya join study dalam sarana prasarana industri untuk kesejahteraan masyarakat Aceh,” kata Mawardi.

Menurut Mawardi, infrastruktur kelistrikan yang stabil dan andal merupakan kunci untuk menciptakan iklim investasi yang sehat serta mendukung program-program pembangunan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir, menyebutkan pihaknya berkomitmen penuh mendukung visi pembangunan Aceh melalui penyediaan energi listrik yang andal dan ramah lingkungan.

“Sinergi antara PLN dan PT PEMA akan membuka peluang besar bagi kemajuan Aceh. Dengan dukungan sistem kelistrikan yang baik, kami optimistis Aceh dapat menjadi contoh sukses dalam pengembangan industri dan ekonomi di Indonesia,” ungkap Mundhakir.

Kemkomdigi Siapkan Banda Aceh Academy untuk Dorong Ekosistem Startup

0
Wamenkomdigi Nezar Patria bersama Walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal saat meninjau rehabilitasi Gedung BAA dalam rangka pengembangan startup di Aceh, Kamis (4/9/2025). (Foto: Humas Komdigi)

NUKILAN.ID | JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) bersama Pemerintah Kota Banda Aceh menyiapkan Banda Aceh Academy (BAA) sebagai pusat pengembangan ekosistem startup lokal. Fasilitas ini diharapkan menjadi ruang bagi generasi muda untuk belajar, berkolaborasi, dan membangun usaha rintisan berbasis teknologi.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menegaskan, langkah ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama Kemkomdigi dengan Pemerintah Kota Banda Aceh.

“Konsep Banda Aceh Academy ini sudah dipresentasikan oleh Ibu Wali Kota (Illiza Sa’aduddin Djamal) dan kita cukup gembira dengan inisiatif ini,” ujar Nezar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (5/9/2025).

Nezar menilai kehadiran BAA menjadi kebutuhan generasi muda Aceh untuk menyalurkan kreativitas serta memperluas akses usaha rintisan. Ia menyebut BAA juga sejalan dengan program yang digalakkan Kemkomdigi terkait pembangunan ekosistem digital.

“Kita harapkan ini bisa menguatkan ekosistem bisnis digital di Banda Aceh. Karena di sini saya lihat anak-anak mudanya cukup kreatif, punya ekspektasi yang besar dan menginginkan akses yang lebih luas terutama permodalan,” katanya.

Melalui BAA, Kemkomdigi menyiapkan jalur pembinaan startup, mulai dari peningkatan keterampilan, perluasan jaringan, hingga membuka pintu kerja sama dengan kementerian, universitas, maupun industri.

Sementara itu, Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengapresiasi dukungan tersebut. Menurutnya, kehadiran BAA selaras dengan program nasional yang menargetkan lahirnya 1.000 startup baru.

Ia berharap fasilitas ini mampu membuka peluang kerja sekaligus memperkuat daya saing UMKM berbasis digital.

“Karena Banda Aceh Academy tidak hanya ditujukan bagi anak muda Banda Aceh, tetapi juga untuk seluruh Aceh. Sehingga kolaborasi dengan universitas, BUMN hingga pemerintah pusat akan memperluas akses permodalan, peluang kerja, serta meningkatkan daya saing UMKM berbasis digital,” ungkapnya.

Dengan adanya BAA, Illiza optimistis Banda Aceh dapat berkembang sebagai pusat ekonomi digital baru di Aceh. Generasi muda pun tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen inovasi digital.

Editor: Akil

Masady Manggeng: Kekecewaan Ketua DPRA atas Kondisi Aceh Itu Wajar, Pemerintah Pusat Harus Bertindak Nyata

0
masady manggeng
Politisi PDI Perjuangan, Masady Manggeng. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | BLANGPIDIE – Politisi PDI Perjuangan, Masady Manggeng, menilai pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli atau yang akrab disapa Abang Samalangga, terkait wacana “pisah dengan Republik Indonesia” sebagai bentuk kekecewaan terhadap kondisi Aceh merupakan hal yang wajar.

Menurut Masady, hingga kini rakyat Aceh belum merasakan keadilan atas kekayaan daerah yang dimiliki.

“Aceh kaya tapi rakyatnya miskin, jadi kekecewaan itu bukan hanya wajar, tapi nyata dan beralasan,” ujar Masady, Jumat (5/9/2025).

Ia menyoroti Aceh yang memiliki sumber daya alam melimpah, mulai dari tambang hingga migas, namun hasilnya belum dinikmati masyarakat. Kerusakan lingkungan kian nyata, pendapatan asli daerah (PAD) masih minim, implementasi butir-butir MoU Helsinki serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak tuntas, sementara mantan kombatan, anak korban konflik, hingga masyarakat kecil banyak yang terabaikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan tingkat kemiskinan pada Maret 2025 masih berada di angka 12,33 persen, tertinggi di Sumatera. Angka kemiskinan di perdesaan memang turun menjadi 14,44 persen, namun di perkotaan justru naik tipis menjadi 8,54 persen.

Sementara itu, PAD Aceh tahun 2024 tercatat Rp 5,86 triliun atau naik 10 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Aceh masih sangat bergantung pada transfer pusat termasuk dana otonomi khusus (Otsus) yang porsinya mencapai 83,6 persen.

“Dana Otsus Aceh yang seharusnya menjadi instrumen percepatan pembangunan, seringkali tidak efektif karena lemahnya tata kelola dan tidak fokus pada sektor prioritas,” papar Masady.

Masady menegaskan, pemerintah pusat tidak boleh lagi setengah hati dalam menyelesaikan persoalan Aceh.

“Tuntutan untuk kami kepada pemerintah pusat harus segera menuntaskan implementasi MoU Helsinki dan UUPA tahun 2006, memastikan pengelolaan SDA lebih berpihak kepada rakyat Aceh, serta memberikan perhatian khusus bagi mantan kombatan, korban konflik, dan generasi muda Aceh. Tanpa kebijakan yang serius, kesenjangan antara potensi dan kenyataan akan semakin lebar,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya peran wakil rakyat Aceh di Senayan, baik DPR maupun DPD, agar bersatu memperjuangkan kepentingan daerah.

“DPR RI dan DPD RI asal Aceh harus bersatu memperjuangkan kepentingan Aceh. Jangan terpecah oleh kepentingan politik jangka pendek. Dengan soliditas, mereka bisa memperjuangkan revisi regulasi yang merugikan Aceh, memperkuat alokasi dana pusat untuk pembangunan, serta memastikan kekhususan Aceh benar-benar dihormati,” katanya.

Masady menilai, solusi dari persoalan ini bukanlah dengan mengedepankan narasi pemisahan, melainkan konsistensi perjuangan politik yang disertai kerja nyata.

“Kekecewaan harus menjadi energi perjuangan yang konstruktif. Jalan kita adalah memperkuat posisi tawar politik Aceh di pusat, menuntut hak-hak Aceh secara konstitusional, dan mendorong pemerintah pusat untuk hadir dengan kebijakan nyata. Hanya dengan cara ini, Aceh bisa bangkit dari kemiskinan dan keterbelakangan,” pungkasnya.

Editor: Akil

26 Calon Kepala Dinas Baru Akan Ikut Uji Kompetensi Pemerintah Aceh Pekan Depan

0
ampon man
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman. (Foto: Dok Pribadi)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Pemerintah Aceh akan melaksanakan Uji Kompetensi (Ujikom) dan Evaluasi Jabatan terhadap Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama pada awal pekan depan.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman alias Ampon Man, menyebutkan pelaksanaan uji kompetensi ini akan digelar pada Senin dan Selasa, 8–9 September 2025. Kegiatan akan dipimpin langsung oleh Ketua Panitia Seleksi (Pansel), Drs. T. Setia Budi, bersama tim penilai lainnya.

“Ini dilakukan segera dalam rangka menjawab berbagai pertanyaan publik,” ujar Ampon Man, Jumat (5/9/2025).

Menurutnya, dari seluruh pejabat yang akan mengikuti proses ini, sebagian menjalani uji kompetensi, sementara satu orang lainnya mengikuti evaluasi jabatan. Jumlah lengkap peserta akan diumumkan kemudian.

Namun, sebuah sumber menyebutkan terdapat 26 calon kepala dinas baru yang bakal ikut uji kompetensi.

Ampon Man menegaskan, pelaksanaan ujian telah mendapat izin resmi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui surat nomor 13145/R-AK.02.03/SD/K/2025 dan 12773/RAK.02.03/SD/K/2025.

Ia menjelaskan, mekanisme ini merupakan bagian dari pembinaan dan penataan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Aceh. Tujuannya untuk memastikan penempatan pejabat sesuai dengan kompetensi, sekaligus memberi ruang evaluasi agar kinerja birokrasi semakin efektif, transparan, dan profesional.

“Ini bagian dari ikhtiar kita bersama agar birokrasi Pemerintah Aceh berjalan lebih efektif dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat,” ujar Ampon Man.

Selain itu, ia menambahkan, Pemerintah Aceh berkomitmen melaksanakan uji kompetensi secara objektif dan sesuai aturan yang berlaku. Dengan begitu, pejabat yang dinyatakan lulus nantinya benar-benar memiliki kapasitas dalam mendukung program pembangunan daerah.

Editor: Akil

Tanggapi Tuntutan 17+8 Rakyat, DPR RI Setop Tunjangan Perumahan dan Moratorium Kunjungan Luar Negeri

0
Hasil Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI bersama pimpinan fraksi-fraksi DPR RI pada Kamis (4/9/2025). (Foto: tangkapan layar)

NUKILAN.ID | Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memutuskan untuk menghentikan sejumlah fasilitas dan tunjangan bagi anggotanya. Keputusan itu diambil dalam Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI bersama pimpinan fraksi-fraksi DPR RI pada Kamis (4/9/2025), menanggapi tuntutan 17+8 rakyat.

Dalam surat keputusan yang ditandatangani Ketua DPR RI Puan Maharani bersama para wakil ketua DPR RI, disebutkan DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan Anggota DPR RI terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2025.

Selain itu, DPR juga menetapkan penghentian perjalanan luar negeri untuk sementara waktu.

“DPR RI melakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri DPR RI terhitung sejak tanggal 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan.” demikian tertulis dalam surat tersebut, dikutip Nukilan, Sabtu (6/9/2025).

Keputusan rapat tersebut juga memuat pemangkasan fasilitas anggota dewan setelah evaluasi, yang meliputi biaya langganan daya listrik dan jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi.

Lebih lanjut, DPR menegaskan bahwa anggota yang dinonaktifkan partai politiknya tidak lagi berhak atas pembayaran keuangan. Anggota DPR RI yang telah dinonaktifkan oleh Partai Politiknya tidak dibayarkan hak keuangannya.

Pimpinan DPR juga meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik terkait pemeriksaan terhadap anggota yang dinonaktifkan.

Dalam poin terakhir, DPR menekankan pentingnya keterbukaan. DPR RI juga akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya. []

Reporter: Sammy

Kapolda Aceh Konsolidasi dengan Mualem Pasca Aksi Demonstrasi

0
Kapolda Aceh Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah Bertemu Dengan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, Konsolidasi Pasca Aksi Demonstrasi, Jumat (5/9/2025). (Foto: PID Humas Polda Aceh).

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kapolda Aceh Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah bertemu dengan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, di salah satu warung kopi di Banda Aceh, Jumat (5/9/2025). Pertemuan yang berlangsung dalam suasana santai itu menjadi ajang konsolidasi dan silaturahmi pasca aksi demonstrasi beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan itu, Brigjen Pol Marzuki menekankan pentingnya komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan demi menjaga stabilitas dan kondusivitas di Aceh.

“Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga Aceh tetap damai, aman, dan sejuk. Pertemuan ini sebagai wujud komitmen kita merawat kebersamaan dan kedamaian di Aceh,” ujarnya.

Kapolda menegaskan, aspirasi masyarakat adalah bagian dari dinamika demokrasi yang harus disikapi dengan bijak. Langkahnya yang mengedepankan komunikasi terbuka dalam merespons situasi demonstrasi pun mendapat apresiasi, termasuk dari Mualem.

Pertemuan antara Kapolda dan Gubernur Aceh tersebut diharapkan memberi pesan positif bagi masyarakat bahwa dialog dan kerja sama tetap menjadi prioritas demi kepentingan bersama.

“Polri siap bersinergi dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, serta seluruh elemen bangsa dalam menjaga kedamaian Aceh. Dengan komunikasi yang baik, kita bisa memastikan situasi tetap kondusif sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar,” pungkas Brigjen Pol Marzuki.

Ketika JKN Menjaga Harapan Seorang Guru Swasta

0
Ilustrasi JKN. (Foto: Medcom)

NUKILAN.ID | FEATURE — Amal baru berusia 26 tahun. Di usia semuda itu, seharusnya ia bisa menikmati hidup dengan lebih leluasa. Namun, kenyataan berkata lain. Laki-laki yang sehari-hari mengajar sebagai guru kontrak di sebuah sekolah swasta di Banda Aceh ini harus berhadapan dengan penyakit lambung yang terus menggerogoti tubuhnya sejak kuliah.

Bukan sekali dua kali tubuhnya tumbang, bahkan hingga membuatnya pingsan di jalan. Hidup baginya bukan lagi sekadar tentang mengajar dan bertahan di tengah penghasilan yang tak menentu, tetapi juga tentang bagaimana berdamai dengan rasa sakit yang bisa datang kapan saja.

Sudah dua kali ia menjalani prosedur endoskopi akibat penyakit lambung yang menggerogoti tubuhnya sejak kuliah. Tubuhnya yang gembul nyaris selalu tumbang setiap bulan. Ia kerap harus menjalani rawat inap akibat serangan mendadak yang membuatnya pingsan di tempat. Bahkan, ia pernah tak sadarkan diri di dalam ojek online, hingga sopirnya membawanya ke rumah sakit terdekat.

“Saya sudah tidak bisa hitung lagi berapa kali dirawat. Minimal sekali sebulan,” ujar Amal, ketika ditemui Nukilan.id di ruang istirahat guru pada Kamis (4/9/2025).

Amal tampak lelah, tetapi senyum di wajahnya tetap hangat. Ia sudah terbiasa dengan rasa nyeri yang muncul tiba-tiba di perut bagian atas. Asam lambungnya bisa naik tanpa aba-aba. Kadang, saat sedang mengajar, ia harus meminta waktu sejenak kepada murid-muridnya.

“Pernah saya muntah darah, langsung dibawa ke IGD,” katanya, menahan napas. “Tapi saya bersyukur, semua pengobatan saya selama ini ditanggung penuh oleh BPJS.”

Amal merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen mandiri. Sejak kuliah, orang tuanya telah mendaftarkannya sebagai peserta. Kini, meski berstatus sebagai guru kontrak dengan penghasilan yang tidak menentu, ia tetap membayar iuran setiap bulan agar status kepesertaannya aktif.

“Kalau sampai nonaktif, saya panik sendiri. Karena saya tidak tahu kapan akan kambuh,” katanya sambil tertawa kecil.

Amal tidak hanya satu dua kali harus berpindah-pindah rumah sakit. Karena penyakitnya kerap datang tiba-tiba, ia kadang harus dirawat di rumah sakit mana pun yang paling dekat saat itu. Beruntung, semua rumah sakit yang pernah ia datangi telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini memungkinkannya untuk fokus pada proses penyembuhan, bukan pada biaya.

“Pernah dirawat di RSUZA, pernah juga di RS Meuraxa, bahkan bukan sekali dua kali di rumah sakit swasta. Alhamdulillah semua ditanggung,” jelasnya.

Ia mengaku, penyakitnya tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga mental. Pernah satu waktu, ketika sedang mengurus administrasi rumah sakit, ia merasa malu karena hanya berstatus sebagai peserta kelas tiga. Namun, belakangan ia mulai berdamai dengan hal itu.

“Apapun kelasnya, yang penting saya bisa tetap berobat. JKN itu penyelamat. Tanpa itu, saya tidak tahu bagaimana bisa membayar endoskopi dua kali. Biayanya jutaan,” katanya.

Amal kini menjadikan pengalamannya sebagai pelajaran. Setiap kali berbincang dengan teman-temannya yang belum menjadi peserta JKN, ia selalu menyarankan agar mereka segera mendaftar. Menurut Amal, banyak yang masih menganggap remeh, terutama karena merasa masih muda dan sehat.

“Padahal penyakit tidak lihat umur. Saya sendiri kena ini sejak usia 21. Kalau bukan karena JKN, mungkin saya sudah putus asa sejak lama,” katanya sambil menatap kosong ke luar jendela.

Amal tinggal di sebuah kos-kosan kecil bersama temannya di kawasan Syiah Kuala, Banda Aceh. Ayah dan ibunya berjualan kue di kampung untuk membantu biaya hidup mereka. Karena itu, Amal tidak ingin menjadi beban. Ia terus berusaha bekerja dan membayar iuran JKN secara mandiri.

Ia kini rutin menjalani kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam setiap dua bulan. Pola makannya pun sangat dijaga. Ia harus menjalani diet ketat, menghindari makanan pedas, asam, kopi, dan makanan berminyak. Kadang, murid-muridnya membawa makanan ringan ke kelas, tapi ia hanya bisa menolak dengan senyum.

“Sakit lambung ini sangat membatasi, tetapi saya tidak ingin menyerah,” ujarnya.

Bagi Amal, program JKN bukan sekadar jaminan kesehatan, melainkan jaring pengaman yang menjaga hidupnya tetap berjalan. Ia berharap semua orang bisa merasakan manfaat yang sama, dan yang lebih penting, sadar betapa pentingnya menjadi peserta aktif.

“Saya cuma ingin bilang ke semua orang, jangan tunggu sakit. Jangan tunggu parah. Daftar dari sekarang,” tutupnya.

Langit Banda Aceh siang itu mulai mendung. Di ujung obrolan, Amal merapikan spidol dan buku tulis, bersiap kembali masuk kelas. Dua puluh lebih siswanya sudah menanti. Mereka mungkin tak tahu bahwa guru yang berdiri di hadapan mereka sedang menahan nyeri di perutnya.

Namun di balik tubuhnya yang gembul, ada keteguhan yang tak bisa diukur oleh nominal. Sebuah semangat untuk tetap mengajar, tetap hidup, dan terus percaya bahwa hari esok masih ada, bersama JKN.

Reporter: Akil

Lima Anggota DPR Dinonaktifkan, Akademisi UIN Ar-Raniry: Momentum Partai Politik Berbenah

0
aklima
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, Aklima, S.Fil. I., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Gelombang demonstrasi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir berbuntut panjang. Sejumlah partai politik mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan lima anggota DPR RI dari tiga partai, lantaran dinilai menyampaikan pernyataan atau melakukan tindakan yang menyinggung perasaan rakyat.

Bahkan, seperti dikutip dari detik.com, pada Kamis (4/9/2025), Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyebut pihaknya telah menerima surat dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait status anggota Dewan nonaktif. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa mereka tidak berhak menerima gaji maupun tunjangan. Indra menambahkan, DPR akan segera memproses surat dari MKD tersebut.

Menanggapi fenomena ini, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, Aklima, S.Fil. I., M.A., menilai langkah tersebut menjadi momentum penting bagi partai politik untuk melakukan pembenahan serius.

“Tentu fenomena ini menjadi teguran bagi partai politik. Di mana partai politik secara internal benar-benar perlu berbenah, partai politik harus mampu mempertegas ideologi kepartaian dengan memperjuangkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Aklima saat dihubungi Nukilan.id, Jumat (5/9/2025).

Ia menekankan, partai tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai pilar demokrasi. Menurutnya, kehadiran partai politik seharusnya menjadi saluran bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan.

“Partai politik harus mengembalikan fungsinya sebagai wadah yang menjembatani masyarakat dengan pemerintah, bukan menjadi alat kekuasaan yang hanya sebatas memperkaya diri atau kelompoknya saja,” lanjutnya.

Aklima menambahkan, langkah tegas terhadap anggota DPR yang dinonaktifkan ini seharusnya dibaca sebagai pembelajaran politik. Jika benar-benar dijalankan dengan konsisten, hal itu bisa mendorong hadirnya budaya akuntabilitas di tubuh lembaga legislatif.

“Kita berharap ini menjadi preseden positif bagi akuntabilitas wakil rakyat, bahwa setelah terpilih mereka harus mampu menempatkan diri sebagai perwakilan rakyat,” ujarnya.

Dalam pandangannya, seorang wakil rakyat tidak boleh terjebak pada kepentingan pribadi, apalagi menggunakan posisi strategisnya untuk sekadar mencari perhatian publik.

“Wakil rakyat harus mewakili aspirasi rakyat, bukan sebaliknya malah mengolok-olok dengan konten untuk eksistensi saja,” tegas Aklima. (XRQ)

Reporter: Akil

Akademisi UIN Ar-Raniry: Penonaktifan Anggota DPR Hanya Upaya Meredam Tekanan Publik

0
aklima
Akademisi UIN Ar-Raniry, Aklima, S.Fil. I., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Gelombang demonstrasi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir berbuntut panjang. Sejumlah partai politik mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan lima anggota DPR RI dari tiga partai, lantaran dinilai menyampaikan pernyataan atau melakukan tindakan yang menyinggung perasaan rakyat.

Bahkan, dikutip dari detik.com, pada Kamis (4/9/2025), Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, menyebut telah menerima surat dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait status anggota Dewan nonaktif.

Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa mereka tidak berhak menerima gaji maupun tunjangan. Indra menambahkan, pihaknya akan segera memproses surat dari MKD tersebut.

Menanggapi situasi ini, Nukilan.id menghubungi Aklima, S.Fil. I., M.A., akademisi FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Menurutnya, keputusan partai untuk menonaktifkan anggota DPR bukanlah langkah yang lahir dari kerangka hukum yang jelas, melainkan lebih menyerupai upaya politis untuk meredam tekanan publik yang kian menguat.

“Nonaktif anggota DPR tidak diatur dalam UU MPW 3, yang ada hanya PAW atau pergantian antar waktu. Partai politik melakukan penonaktifan tentu punya dalih tertentu atau bentuk lain dari manuver menjaga citra partai,” kata Aklima pada Jumat (6/9/2025).

Ia melanjutkan, langkah partai tersebut pada dasarnya ingin menegaskan garis demarkasi antara kesalahan individu dengan institusi partai. Dengan cara itu, partai berharap publik tidak menggeneralisasi kekeliruan satu orang sebagai cermin wajah partai secara keseluruhan.

“Partai ingin memperjelas bahwa ini jelas kekeliruan yg hadir dari personal DPR tidak mewakili partai,” ujarnya.

Namun demikian, Aklima menilai upaya ini tidak serta-merta mampu mengembalikan citra positif partai di mata masyarakat. Menurutnya, persepsi publik terhadap kinerja DPR dan partai politik sudah lama terbentuk dan cenderung menurun, sehingga keputusan nonaktif semacam ini hanya tampak sebagai langkah reaktif, bukan solusi substantif.

“Ada atau tidaknya keputusan terkait nonaktif ini, trust masyarakat terhadap partai trendnya menurun. Masyarakat sudah sangat rasional dalam menilai kapasitas anggota DPR,” tegasnya.

Lebih jauh, ketika diminta menilai peran MKD dalam kasus ini, Aklima justru menggarisbawahi adanya ketidakkonsistenan dalam penegakan disiplin di tubuh DPR. Alih-alih menjadi institusi yang tegak lurus dengan aturan, MKD dinilai lebih sering bertindak berdasarkan kepentingan politik. (XRQ)

Reporter: Akil

Pandangan Perempuan atas Dua Dekade Perdamaian Aceh

0
Refleksi Dua Dekade Perdamaian Aceh dalam Perspektif Perempuan yang digelar Flower Aceh bersama mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat UIN Ar-Raniry di Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Senin (1/8/2025). (Foto: Dok. Flower Aceh)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Dua puluh tahun setelah Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki ditandatangani pada 2005, perdamaian Aceh kerap dipandang sebagai capaian besar. Namun, bagi perempuan, damai belum sepenuhnya menghadirkan keadilan. Representasi politik yang minim, hak korban konflik yang belum tuntas, hingga ancaman eksploitasi sumber daya alam masih menjadi pekerjaan rumah.

Isu ini mengemuka dalam webinar Refleksi Dua Dekade Perdamaian Aceh dalam Perspektif Perempuan yang digelar secara hybrid di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (1/9/2025). Forum ini diinisiasi Flower Aceh bersama UN Women Indonesia, UIN Ar-Raniry, Sekolah HAM Perempuan, HMP AFI UIN Ar-Raniry, BEM Fisip USK, dan KKR Aceh. Sejumlah tokoh hadir, mulai dari ulama, penyintas konflik, jurnalis, pembela lingkungan, hingga akademisi.

Suraiya Kamaruzzaman, pengawas Balai Syura sekaligus penerima penghargaan perdamaian internasional, menegaskan pentingnya konsistensi pelaksanaan pilar Women, Peace, and Security (WPS).

“Pelibatan perempuan, terutama dari tingkat akar rumput harus dijamin dalam agenda pembangunan Aceh. Partai politik tidak boleh abai. Isu gender dan perdamaian harus masuk dalam visi pembangunan daerah, bukan sekadar jargon,” tegasnya.

Data BPS Aceh 2024 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR Aceh baru 8,97 persen, jauh dari kuota afirmasi 30 persen. Kondisi ini membuat isu perempuan sulit terakomodasi dalam kebijakan publik.

Luka Korban dan Tantangan Baru

Hasnah (47), penyintas konflik dari Aceh Utara, berkisah tentang hidup yang harus ia jalani sejak suaminya lumpuh akibat kekerasan aparat dua dekade lalu. Kini, ia menjadi tulang punggung keluarga untuk membesarkan empat anak.

“Saya jalani dengan sabar demi anak-anak. Walau bantuan pemerintah tak lagi kami rasakan, kehadiran Flower Aceh membuat saya merasa tidak sendirian,” ungkapnya.

Sementara itu, ulama perempuan Aceh Barat, Umi Hanisah, mengenang peran dayah yang dulu menampung anak-anak GAM dan TNI di masa konflik. Namun hingga kini, menurutnya, dayah masih termarjinalkan.

“Operasional, guru honor, listrik, dan air belum mendapat perhatian yang adil. Dayah masih seperti anak tiri,” ujarnya.

Rubama, aktivis lingkungan, mengingatkan bahwa ancaman baru kini datang dari eksploitasi sumber daya alam. “Meski dua dekade perdamaian Aceh patut disyukuri, ruang hidup masyarakat terutama perempuan masih terus terancam. Gerakan perempuan Aceh harus kembali terkonsolidasi untuk memperjuangkan keadilan lingkungan,” tegasnya.

Mainar, tuha peut perempuan di Banda Aceh, juga menekankan pentingnya keberlanjutan damai. “Menjadi tuha peut perempuan di tengah budaya patriarki bukan hal mudah. Tapi saya terus berjuang agar suara perempuan tak hilang. Perdamaian memberi ruang, namun keadilan bagi korban harus diwujudkan,” katanya.

Azizah, Ketua Aksarima Pidie, mengangkat isu perempuan eks kombatan. “Banyak yang masih belum memperoleh hak sesuai MoU Helsinki, mulai dari akses lahan hingga pemulihan trauma. Perdamaian sejati baru akan bermakna bila perempuan Aceh diakui, dilibatkan, dan diberdayakan,” ujarnya.

Peran Media dan Minimnya Anggaran

Selain pemulihan korban, merawat ingatan sejarah melalui karya jurnalistik dan memorial publik dinilai penting agar generasi berikutnya belajar dari pengalaman masa lalu.

“Setiap tulisan adalah tiang penyangga perdamaian. Jurnalis, khususnya perempuan, punya tanggung jawab menghadirkan narasi yang lebih manusiawi dan adil bagi perempuan Aceh,” kata Cut Nauval, jurnalis muda.

Namun, dukungan anggaran dinilai jauh dari memadai. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mencatat hanya 0,12 persen APBA 2025 yang dialokasikan untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Padahal, data DP3A Aceh menunjukkan kasus kekerasan terus meningkat dari 905 kasus pada 2020 menjadi 1.098 kasus pada 2023. Hingga Agustus 2024, tercatat 571 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 656 kasus terhadap anak.

“Anggaran harus berperspektif gender dan berkelanjutan. Tanpa itu, program pemulihan korban hanya sebatas seremonial,” tegas Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh.

Lebih jauh, ia menambahkan, “Perempuan akar rumput telah membuktikan perannya dalam menjaga perdamaian dan membangun Aceh, meski dalam segala keterbatasan. Kini saatnya ruang sipil perempuan diperluas, suaranya didengar, dan partisipasinya diakui di semua lini.”

Komitmen Politik dan Pemerintah

Darwati A. Gani, anggota DPD RI, menegaskan bahwa perdamaian Aceh hanya akan bermakna bila diisi dengan keadilan gender. Ia berkomitmen memperjuangkan keterwakilan perempuan 30 persen di politik, mendorong peningkatan anggaran pro-gender menjadi minimal 10 persen APBA, memperluas layanan UPTD PPA, memperkuat pendidikan dan pelaporan berbasis komunitas, serta memastikan perempuan akar rumput terlibat dalam penyusunan RPJP Aceh 2025–2045.

Sementara itu, Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana, menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen memperkuat perlindungan dan pemberdayaan perempuan melalui implementasi Qanun No. 9/2019 dan Qanun No. 4/2025, memperluas layanan UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota, serta mempercepat penyusunan RAD P3KS.

Suara Nasional dan Internasional

Dwi Rubiyanti Khalifah, Country Representative AMAN Indonesia, menyoroti keberadaan KKR Aceh. “KKR harus dipertahankan sebagai model pengungkapan kebenaran dan keadilan transisional di Indonesia, bukan dibubarkan. Tanpa pemulihan korban, budaya impunitas akan terus hidup.”

Hal senada disampaikan Yuliati, Komisioner KKR Aceh. “Pemulihan menyeluruh harus mencakup reparasi ekonomi, layanan psikososial, hingga memorialisasi yang adil bagi korban, terutama perempuan,” ujarnya.

Dwi Yulianti Faiz, Kepala Program UN Women Indonesia, juga menegaskan bahwa perempuan harus dilihat bukan hanya sebagai penyintas, melainkan aktor strategis pembangunan damai. “Tantangan seperti rendahnya representasi politik, tingginya kekerasan, dan minimnya anggaran harus dijawab dengan kebijakan nyata,” ujarnya.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menutup forum dengan refleksi: “Perdamaian sejati bukan sekadar tiadanya konflik, melainkan hadirnya keadilan, kesetaraan, dan pengakuan bagi semua warga, khususnya perempuan.”

Rekomendasi Forum

Forum ini akhirnya melahirkan sejumlah catatan penting yang dianggap krusial untuk memastikan perdamaian benar-benar bermakna bagi perempuan. Para peserta menegaskan bahwa kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen harus dijamin, mulai dari tingkat desa hingga provinsi, agar suara perempuan tidak lagi tenggelam dalam ruang politik.

Selain itu, anggaran pembangunan yang berpihak pada perempuan perlu ditingkatkan secara signifikan—dari hanya 0,12 persen menjadi setidaknya 10 persen APBA. Tanpa alokasi yang memadai, program pemulihan korban hanya akan berhenti di seremoni.

Perluasan layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) ke seluruh kabupaten/kota juga dipandang mendesak, sehingga perempuan korban kekerasan tidak lagi harus menempuh jarak jauh untuk mencari perlindungan.

Di sisi lain, KKR Aceh dinilai harus diaktifkan kembali sebagai instrumen penting dalam mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan transisional bagi korban. Pengalaman perempuan yang menjadi korban konflik juga harus didokumentasikan, agar menjadi bagian integral dari sejarah perdamaian Aceh, bukan sekadar catatan yang terlupakan.

Lebih jauh, perspektif gender mesti diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh 2025–2045 dan seluruh dokumen perencanaan pembangunan lainnya. Dengan begitu, setiap kebijakan tidak lagi netral gender, tetapi benar-benar hadir untuk menjawab kebutuhan perempuan.

Dua dekade damai memang telah membuka ruang, namun suara perempuan di forum ini menegaskan: perjalanan menuju keadilan masih panjang dan belum selesai.

Editor: Akil