Beranda blog Halaman 1949

Sungai Kali Bulan Meluap, 3 Kecamatan di Aceh Tenggara Terendam Banjir

0
Banjir melanda tiga kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Dokumentasi BPBA.

Nukilan.id – Hujan yang mengguyur wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh mengakibatkan tiga kecamatan terendam banjir. Ketinggian air yang menggenangi permukiman penduduk mencapai 60 sentimeter.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Ilyas, mengatakan banjir terjadi akibat intensitas hujan yang tinggi.

“Akibat hujan dengan intensitas tinggi yang melanda wilayah Kabupaten Aceh Tenggara mengakibatkan meluapnya air sungai Kali Bulan dan jebolnya tanggul sungai di beberapa desa sehingga mengakibatkan terjadinya banjir,” kata Ilyas, Senin (16/8/2021).

Wilayah yang terendam banjir di antaranya Kecamatan Deleng Pokhisen, Desa Penampakan, Gusung batu; Kecamatan Babussalam, Desa Batu mbulan Sepakat, Batu mbulan asli dan Desa Gumpang Jaya.

“Kemudian di Kecamatan Bambel, Desa Bambel,” ujarnya.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tenggara telah mengerahkan Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk kaji cepat serta berkoordinasi dengan instansi terkait serta tim gabungan dibantu masyarakat sedang bergotong royong membersihkan material lumpur.

“Tidak ada korban jiwa dalam bencana ini. Namun, untuk data dampak material, korban terdampak dan pengungsi masih dilakukan pendataan oleh tim dilapangan. Untuk kondisi terakhir, hingga kini air masih menggennagi beberapa desa,” jelasnya. [medcom]

Komisi I DPR-RI Minta Dewan Pers Kontrol Clickbait Journalism

0
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid.

Nukilan.id – Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengharapkan Dewan Pers bisa mengontrol praktik jurnalisme yang makin marak mengandalkan clickbait atau judul berita bombastis yang dikenal juga dengan istilah “clickbait journalism”.

“Clickbait journalism ini semakin marak. Mungkin Dewan Pers tolong bisa dipantau sehingga bisa ada langkah-langkah yang dilahirkan supaya kita bisa mengontrol produk- produk jurnalisme yang mengandalkan clickbait,” ujar Meutya dalam acara virtual, Minggu (15/8/2021).

Dengan perkembangan teknologi digital, media berlomba-lomba mendapatkan click yang banyak di dunia maya agar bisa mendapatkan lebih banyak pembaca serta iklan.

Sayangnya kerap kali praktik “clickbait” itu membuat berita yang dihasilkan jauh dari kualitas insan pers yang baik dan benar.

Praktik ini pun cukup banyak diadopsi oleh media-media di Indonesia dan judul yang terdapat di berita seringkali tidak sesuai dengan isinya karena judul yang dibuat seringkali terlalu bombastis dan melebih-lebihkan kondisi sebenarnya.

Untuk itu, Meutya yang juga pernah berprofesi sebagai jurnalis sebelum menjadi anggota dewan berharap agar praktik ini bisa dikontrol oleh Dewan Pers sebagai lembaga yang diamanatkan negara melindungi dan mengembangkan insan pers Tanah Air.

“Sejak digitalisasi, kami (DPR RI) melihat ada penurunan kualitas. Mungkin ada beberapa media massa yang berhasil menjaga kualitasnya, namun banyak perusahaan pers yang belum karena banyaknya daya saing mengingat media di Indonesia sangatlah banyak. Jadi kami harapkan ini semua bisa diawasi oleh Dewan Pers sehingga semakin banyak media yang terverifikasi dan terjadi peningkatan kualitas SDM dari pers Indonesia yang menjadi salah satu tantangan kita ke depan,” ujar Meutya.

Ia turut menyebutkan salah satu tantangan lainnya bagi insan pers Indonesia menjaga kualitas dan kebebasannya adalah hoaks atau informasi yang tidak benar.

Di masa pandemi, hoaks semakin marak dan bahkan lebih terkenal dibandingkan fakta yang ada di masyarakat.

Kehadiran hoaks lebih mudah diterima masyarakat karena seringkali penyebarannya dilakukan lewat media sosial.

Di samping itu, kondisi tersebut semakin diperkuat dengan masyarakat Indonesia yang lebih percaya media sosial dibanding media arus utama.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Multimedia Nusantara (UMN) terkait Persepsi Publik terhadap Pemberitaan COVID-19 lewat media hingga Juni 2021 didapatkan fakta bahwa masyarakat Indonesia paling banyak menjadikan media sosial sebagai referensi terpercaya untuk mendapatkan informasi mengenai COVID-19, disusul oleh portal berita atau media daring, dan di tempat ketiga diduduki oleh televisi.

Dengan fakta itu maka tidak heran ada banyak hoaks yang sampai ke masyarakat karena dengan mudahnya bertebaran di media sosial.

Oleh karena itu, ia berharap pers di Indonesia bisa kembali pada koridornya memberikan informasi yang akurat, tepat, dan kredibel dengan praktik jurnalisme yang benar sehingga hoaks tidak lagi dapat mengganggu kondisi masyarakat dan bernegara.

“Kita bisa mendorong peran pers ini, untuk mengedukasi terkait informasi seputar COVID-19 pada khalayak luas sehingga hoaks ini bisa dilawan,” tutupnya. [antara]

Setiap Tahun Banjir, WALHI Minta Pemerintah Aceh Tindak Tegas Aktor Perusak Hutan

0
Foto: Ilustrasi

Nukilan.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyebutkan, bencana alam berupa banjir merupakan sebagai aktivitas rutin di Provinsi Aceh dan selalu saja terjadi dalam setiap tahunnya.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Nur mengatakan, apabila ingin Aceh tidak banjir, maka harus diperbaiki dari hulu hingga hilir, serta harus ada ketegasan dari pemerintah untuk memetakan siapa aktor perusak hutan.

“Pemerintah harus terlibat dalam hal ini secara aktif. Merusak Aceh itu sebenarnya dimulai dari hulu, hilir hanya penerima dampak. Hulu itu sebenarnya pusatnya hutan, kami itu tidak bingung ketika hujan sebentar langsung banjir,” ujar Muhammad Nur kepada dialeksis.com, Minggu (15/8/2021).

Muhammad Nur menambahkan, hal tersebut tentunya sudah sudah diketahui oleh publik bahwa, persoalan daya dukung dan daya tampung sudah tidak seimbang, akibat kerusakan hutan yang cukup parah, sehingga banjir tersebut menjadi rutinitas.

“Kalau wilayah tengah itu mendistribusikan air ke seluruh kabupaten dan kota. Coba bayangkan disaat musim hujan, jumlah debit air yang jatuh, begitu juga irigasi yang tidak tepat sasaran,” tutur Muhammad Nur. [dialeksis]

Sidang Tahunan MPR Singgung Peran Aceh, Sumbang Emas untuk Monas

0
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti dalam Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021), menyinggung peran tokoh dan rakyat Aceh pada masa kemerdekaan. Foto: iNews.id

Nukilan.id – Peran rakyat Aceh dalam kemerdekaan disinggung dalam sidang tahunan MPR/DPR/DPD. Ketua DPD La Nyalla Mattalitti menyebutnya secara eksplisit dalam pidato.

La Nyalla meyakini kondisi berat yang dialami bangsa sekarang ini bisa dilalui, sebab negara ini memiliki sejarah besar karena lahir dari kerajaan nusantara. Bahkan sejarah mencatat peran mereka, termasuk bagaimana rakyat Aceh memberi sumbangan untuk kemerdekaan.

“Salah satunya sumbangan uang 13 Juta Gulden dari Sultan Siak dan pesawat kepresidenan, serta emas monas dari tokoh dan rakyat Aceh,” kata La Nyalla menyampaikan pidato pada sidang tahunan MPR/DPR/DPD, Senin (16/8/2021).

Sidang tahunan kali berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Peserta dibatasi, sedangkan tamu undangan menyaksikan sidang secara virtual karena kondisi pandemi.

Pada kesempatan tersebut, La Nyalla mengungkapkan, terdapat hikmah yang bisa dipetik dalam kondisi pandemi. Dia meyakini Indonesia mampu lolos dari situasi pelik dan pemerintah tidak gagal mengatasi pandemi Covid-19.

“Tentu banyak hikmah dan tugas berat yang masih harus kita kerjakan, sebagai negara yang diharapkan tangguh dan tumbuh ini,” ujarnya.[iNews]

16 Tahun Damai Aceh, Nasir Djamil: BRA Harus Lebih Fokus dan Tajam

0
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) M Nasir Djamil. (Foto: Irfan/Nukilan.id)

Nukilan.id – Perdamaian Aceh yang dicapai lewat proses panjang bukan sesuatu yang memiliki titik, sehingga harus diproses dengan baik, karena damai yang kita ingini adalah damai yang hakiki, bukan damai yang semu.

Hal itu dikatakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) M Nasir Djamil kepada Nukilan.id selepas upaca memperingati Hari Damai Aceh ke-16 di Aula serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya Banda Aceh, Minggu (15/8/2021).

Menurut Nasir Djamil, saat ini terlihat sudah ada penanganan dan sudah menunjukan trend yang positif, meskipun disana sini masih ada sisa-sisa yang belum terealisasi dalam 16 tahun perdamaian Aceh berjalan.

Tentu saja, dengan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang di miliki membuat masih ada sisa-sisa yang belum di tangani, dan berharap pada tahun ke-17 nanti Damai Aceh ini tidak menemukan lagi hal-hal yang selama ini belum di tangani dan diselesaikan.

“Artinya tentang persoalan mantan kombatan, TNI, POLRI dan juga masyarakat sipil yang terimbas dengan konflik, mereka harus menikmati damai itu,” jelasnya Nasir Djamil.

Untuk itu, Nasir Djamil yang saat ini berada di komisi II DPR RI, berharap kepada lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) kedepan harus lebih pokus dan tajam, sehingga pogres Reintegrasi itu benar-benar dirasakan oleh semua kalangan di Aceh.

“Beberapa hal yang belum mendapat izin perlu dikomunikasikan secara baik dengan Pemerintah Pusat, serta para pemangku kepentingan baik formal maupun non formal yang ada di Aceh bisa berkaloborasi untuk mewujudkan harapan ini,” ujarnya.

Nasir Djamil menekankan, apalagi bingkai tema kegiatan peringatan kali ini “bingkai perdamaian dunia”, besar sekali bobotnya, supaya Momerandum of Unstanding (MoU) Helsinki menjadi rujukan bagi negara-negara yang memilki konflik sama seperti dialami Aceh dulu.

“Arti damai, konflik sudah tidak ada, semua kembali normal dan kalau dulu orang-orang tidak bekerja, maka sekarang bisa bekerja,” kata Nasir.

Untuk itu, BRA, KKR dan unsur-unsur pemerintah lainnya, bisa bersama-sama memastikan bahwa seratus persen (100 %) keinginan untuk mewujutkan Aceh damai itu bisa terwujud.

Reporter: Irfan

22 Tahun Pisah dari RI, Mengapa Timor Leste Setia Gunakan Dollar AS?

0

Nukilan.id – Timur Leste memiliki sejarah panjang dalam penggunaan mata uangnya. Negara ini memilih menggunakan dollar AS sebagai mata uang resmi setelah berpisah dari Republik Indonesia.

Sejauh ini, Timor Leste adalah satu dari sedikit negara yang belum memiliki mata uang sendiri. Lalu mengapa Timor Leste memilih dollar AS sebagai mata uangnya dan apa alasannya?

Dikutip dari laman Peacekeeping Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dollar AS dipilih sebagai mata uang resmi di Timor Leste sejak tahun 2000 dengan dikeluarkannya Regulation 2000/7 pada 24 Januari 2000.

Aturan tersebut berbunyi, bahwa semua transaksi resmi harus menggunakan dollar AS. Namun begitu, masyarakat masih diperbolehkan menggunakan mata uang lain yang juga masih beredar cukup banyak seperti rupiah, bath (Thailand), escudo (Portugis), dan dollar Australia.

Saat itu, UNTAET (PBB) dan pemerintahan transisi Timor Leste beralasan, dollar AS dipilih karena mata uang tersebut stabil dan kuat serta diterima di seluruh dunia.

Keputusan itu kemudian disahkan oleh National Concultative Council (NCC) yang wewenang dan tugasnya mirip dengan MPR RI di Indonesia.

Pada awal penerapan, penggunaan dollar AS menimbulkan gelojak di tengah masyarakat. Hal ini karena nilai dollar AS sangat tinggi untuk ukuran standar harga barang dan jasa di negara bekas koloni Portugis tersebut.

Menerapkan dollar AS sebagai mata uang resmi negara, membuat harga-harga barang dengan cepat melambung tinggi.

Namun pemerintah Timor Leste tidak bergeming, dan beranggapan bahwa penggunaan dollar AS tidak berpengaruh pada harga, namun masyarakatkah yang harus menyesuaikan melalui pengaturan jumlah barang atau jasa.

Sederhananya, harga beras apabila dibeli dengan rupiah adalah seharga Rp 5.000 per liter, bukan berarti setelah transisi harga beras 1 liternya kemudian dihargai 1 dollar AS.

Yang berlaku adalah, saat seorang membeli beras dengan mata uang sebesar 1 dollar AS, maka beras yang didapatkan harus lebih banyak dari 1 liter.

Selain itu, kenaikan harga-harga barang di masa transisi, menurut pemerintah, bukan karena penggunaan dollar AS, namun terjadi karena adanya prinsip pasar (permintaan dan penawaran).

Keputusan untuk mengadopsi dollar AS dibuat oleh PBB dan pemerintah Timor Leste untuk menyelamatkan negara dari ketidakstabilan politik dan ekonomi.

Adopsi dolar membuatnya lebih mudah untuk investor asing untuk berdagang dan melakukan bisnis di negara tersebut.

Turis Amerika hanya perlu membawa uang mereka ke negara itu dan membelanjakannya dengan cara apa pun yang mereka inginkan.

Selain itu, ada jenis uang bernama Centavo yang dipakai sebagai alat pembayaran berbentuk koin, tapi diproduksi dan dipasok langsung dari Portugal.

Sementara uang dollar AS disuplai secara langsung dari Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed sejak tahun 2000.

Baik PBB maupun pemerintahan transisi, saat itu mengklaim bahwa penggunaan dolar AS hanya dilakukan selama dua hingga tiga tahun setelah merdeka dari Indonesia.

Namun, pada praktiknya aturan tersebut masih berlaku sampai sekarang. Hingga kini Timor Leste masih menggunakan dollar AS sebagai mata uang resminya.

Mata uang rupiah sendiri masih marak digunakan di Timur Leste, terutama daerah yang berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sementara beberapa penduduk Timor Leste di pedesaan, masih memilih menggunakan barter.

Meski secara teori penggunaan dollar AS bisa menguntungkan Timor Leste, namun pada kenyataannya kondisi ekonomi negara tersebut masih belum stabil. Harga-harga barang pun relatif lebih mahal dibandingkan saat masih menjadi provinsi ke-27 Indonesia.

Tingginya harga-harga barang di Timor Leste tak lain merupakan warisan dari gejolak politik dan ekonomi pasca-merdeka 22 tahun silam.

Timor Leste masih bergelut dengan kemiskinan dan ekonomi yang tidak stabil. Dengan kata lain, program mempersiapkan mata uang sendiri tak masuk dalam agenda prioritas pemerintah. [kompas.com]

Jokowi Turunkan Harga Tes PCR Jadi Rp 450.000, Ini Tanggapan Persi

0
Ilustrasi. Tim Satuan Tugas Covid-19 Universitas Syiah Kuala mengambil sampel swab tes antibodi pada mahasiswa, Rabu (31/3/2021)

Nukilan.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan untuk menurunkan harga tes polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis virus corona (Covid-19) ke kisaran  Rp 450.000 sampai Rp 550.000.

Menanggapi hal itu, Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Lia G. Partakusuma mengatakan, pemerintah mempunyai wewenang untuk mengatur harga reagensia/tes PCR.

Persi meminta dalam menentukan harga jual, pemerintah memperhitungkan biaya operasional kebutuhan laboratorium seperti ruang lab khusus molekuler dan lainnya, karena ruang lab punya standar keamanan yang cukup tinggi dengan peralatan yang memenuhi standar.

“Kami setuju sekali kalau harga PCR turun, tapi mohon bantuan harga beli juga harus diturunkan,” ujar Lia seperti dikutip dari Kontan.co.id, Minggu (15/8/2021).

Lia mengatakan, untuk menurunkan harga tes PCR maka harga beli pemerintah mungkin dimintakan harga khusus. Namun jika tidak bisa, maka diperlukan subsidi dari pemerintah agar biaya tes PCR dapat berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000 seperti permintaan Presiden Jokowi.

Lebih lanjut PERSI memastikan rumah sakit/lab tetap menjalankan pemeriksaan tes PCR seperti biasanya. Pelayanan tes PCR tentunya sesuai kemampuan masing-masing rumah sakit/lab.

“Mungkin diperlukan jeda waktu pemberlakuan karena terlanjur membeli dengan harga yang lama,” ucap Lia.

Sebagai informasi, saat ini harga tertinggi untuk tes PCR di Indonesia berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan sebesar Rp 900.000.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut telah membahas rencana evaluasi harga tes PCR. Hal itu juga dilakukan mengingat banyaknya permintaan dari masyarakat.

“Kami terbuka dengan masukan, nanti akan dibahas tim,” ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi. (kompas/Vendy Yhulia Susanto)

16 Tahun MoU Helsinki, Ini Ultimatum YARA untuk GAM dan Pemerintah RI

0

Nukilan.id – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengultimatum para penandatangan MoU Perdamaian Aceh di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia yang di tandatangani bersama pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Hal itu disampaikan Ketua YARA, Safaruddin dalam keterangannya kepada Nukilan.id, Minggu (15/8/2021).

Ultimatum kepada para penandatanganan MoU perdamaian Aceh tersebut yaitu sebagai berikut:

Pertama. Mendesak para pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) yang menandatangani MoU Helsinki untuk melaksanakan butir 1.1.4 MoU Helsinki yang menyebutkan batas Aceh merujuk pada peta 1 Juli 1956.

Kami telah menyurati Pemerintah Pusat (Kemendagri, Kemenkum HAM, Badan Pertanahan Nasional, DPRA dan Partai Aceh mengenai Peta Aceh 1 Juli 1956 tapi sampai saat ini kesemuanya menyampaikan tidak menguasai peta tersebut.

Kedua. Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) yang menandatangani MoU Helsinki untuk melaksanakan butir 1.3.5 MoU Helsinki, yang berbunyi “Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh”. Saat ini, masih banyak pelabuhan laut dan Udara belum di kelola oleh Pemerintah Aceh.

Ketiga. Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk segera membentuk Pengadilan HAM sebagaimana telah di sepakati dalam butir 2.2.2 “Sebuah Pengadilan HAM akan di bentuk di Aceh”, karena sampai saat ini Pengadilan HAM belum di bentuk di Aceh, kami telah menyurati Pemerintah Pusat mempertanyakan alasan belum di bentuknya Pengadilan HAM di Aceh, dan oleh Kementerian Sekretariat Negara memalui surat Nomor B-02/S/Humas/HM.00.00/08/2021 tanggal 11 Agustis 2021, meminta kami untuk mempertanyakan kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dan hal tersebut telah kami sampaikan juga kepada Kemenko Polhukam tentang hal yang sama dan masih menunggu jawaban dari Kemenko Polhukam.

Keempat. Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk membuka kepada masyarakat Aceh jumlah dana yang telah di alokasikan pleh Pemerintah Pusat untuk rehabilitasi harta benda masyarakat Aceh yang hancur akibat konflik GAM dan Pemerintah RI, sebagaimana di sepakati dalam butir 3.2.4 MoU Helsinki “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda public dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh”.

Kelima. Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) dan Pemerintah Aceh (Gubernur dan DPRA) untuk segera membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menyelesaiakan klaim harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik, Komisi tersebut, telah di sepakati oleh GAM dan Pemerintah RI dalam MoU butir 3.2.6. yang menyatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan, karena sampai saat ini masih sangat banyak harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik dan menyebabkan kemiskinan saat itu belum di ganti kerugiannya oleh Pemerintah.

Keenam. Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk segera melaksanakan MoU Helsinki butir 3.2.5 yang menyatakan “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi pasukan GAM kedalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak”, dan menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat Aceh sejauh mana sudah mana sudah implementasi ini jika sudah di laksanakan.

Safaruddin menegaskan bahwa, Ultimatum ini perlu menjadi perhatian serius dari Para Pihak karena kesepakatan yang telah di tandatangai tersebut bukan hanya mengikat para pihak, tapi juga seluruh rakyat Aceh baik yang mendukung Gerakan Aceh Merdeka maupun Pemerintah Republik Indonesia saat terjadi konflik di Aceh.

“Kami akan memantau dengan serius ultimatum ini, dan jika tidak dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu dalam tahun 2021 ini, maka kami akan mengambil upaya hukum bagi para pihak, keseriusan para pihak untuk menjalankan komitmen politiknya sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Aceh, baik itu untuk Gerakan Aceh Merdeka yang sudah bertransformasi ke Partai Aceh maupun kepada Pemerintah Pusat,” tegasnya.

Sejarah telah mencatat, kata Safaruddin, pengingkaran-pengingkaran terhadap kesepakatan perdamaian di Aceh telah melahirkan pemberontakan selanjutnya terhadap negara, dan sejarah itu tidak perlu lagi terjadi jika komitmen perdamaian itu di jalankan dengan sepenuh hati.

Apalagi masyarakat Aceh yang memegang teguh ajaran Islam yang dalam agama Islam janji mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebagaimana dalam surat an Nahl ayat 91 dan 92, yang berbunyi:

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”.[]

Prof Apridar: Perdamaian Aceh, Keberanian dan Konsistensi Pemerintahan SBY

0
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Prof. Dr. H. Apridar, SE. MSi, (Foto: Dok. Ist)

Nukilan.id – Perdamaian Aceh melalui Nota Kesepahaman Helsinki (2005) merupakan tonggak sejarah yang mengubah ‘image’ dunia terhadap Indonesia. Inilah kemudian yang menjadikan Aceh sebagai Laboratorium Perdamaian Dunia.

Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Prof. Dr. H. Apridar, SE. MSi dalam keterangannya kepada Nukilan.id, Minggu (15/8/2021).

Menurutnya, proses perdamaian yang terjadi di Aceh, tidak terlepas dari keberanian pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyikapi peluang yang muncul pasca tsunami di Aceh pada tahun 2004 silam.

“Sebagai Panglima Tertinggi TNI, Presiden SBY dengan teguh dan konsisten mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Beliau berani meninggalkan pendekatan keamanan dalam melihat serta menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh,” ungkap Prof Apridar.

Lanjutnya, solusi damai memang cara yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah Aceh. Pendekatan keamanan yang cenderung represif harus ditinggalkan, karena selalu gagal menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Bahkan pendekatan represif lah yang sejatinya selalu menimbulkan masalah baru di Aceh.

“Sikap dan cara pandang beliau ini yang mempermudah proses perdamaian di Aceh, meskipun Presiden SBY merupakan Jenderal TNI Purnawirawan. Tak dapat kita bayangkan jika pada saat itu kita tidak dipimpin oleh kepala negara yang humanis, Presiden yang mengedepankan diplomasi dan cara-cara damai. Beliau adalah contoh nyata keselarasan antara perkataan dan perbuatan,” ujar Prof Apridar yang juga Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UIKI) itu.

Oleh karenanya, kata Prof Apridar, tugas kita saat ini untuk melanjutkan estafet, menjaga dan merawat dan mengisi perdamaian dengan pembangunan dan kontribusi nyata. Ingat, perdamaian ini diraih dengan susah payah, jadi janganlah disia-siakan.

Selain itu, Prof Apridar juga mengungkapkan bahwa, perdamaian Aceh merupakan anugerah Allah SWT, melalui tangan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Bapak Perdamaian Dunia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran pemerintahannya.

“Terima kasih Pak SBY,” demikian ucap Mantan Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe, periode 2010-2014 dan 2014-2018 itu. []

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Prof. Dr. H. Apridar, SE. MSi, (Foto: Dok. Ist)

BRA Serahkan Sertifikat Tanah 3.575 Hektar untuk Eks Kombatan dan Korban Konflik

0
Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi Yusuf, SE, M.Si. (Foto: Irfan/Nukilan.id)

Nukilan.id – Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyerahkan secara simbolis sertifikat lahan tanah seluas 3.575 Hektar yang diperuntukan untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka dan Korban konflik. Penyerahan itu dilakukan pada peringatan “Hari Damai Aceh” di Aula Gedung Lhong Raya, Banda Aceh, Minggu (15/6/2021)

Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi Yusuf, SE, M.Si mengatakan, pihaknya menyerahkan sertifikat tanah secara simbolis kepada mantan eks kombatan dan masyarakat korban konflik masing-masing 1 orang seluas 2 hektar tanah.

“Dalam sertifikasi lahan tanah BRA bekerjasama dengan Badan Pertanahan Negara (BPN) Aceh,” kata Fakhrurrazi Yusuf saat di wawancarai nukilan.id selepas acara memperingati hari damai Aceh.

Dijelaskan Fakhrurrazi, sebelumnya lahan yang sudah disediakan pada tahun 2019 untuk 100 penerima seluas 200 hektar di Pidie Jaya, tahun 2020 seluas 824 Hektar untuk sertifikat sebanyak 412 lembar.

“Sedangkan pada tahun 2021 ini BRA sudah melakukan sertifikasi di Aceh Utara, Kuta Makmur dengan luas 200 Hektar untuk 100 orang, namun sifatnya komunal 1 sertifikat untuk 50 orang dan Kecamatan sawang, Aceh Utara seluas 755 hektar,” ujarnya.

Kabupaten Nagan Raya juga sudah menyiapkan lahan sejumlah 1000 Hektar yang baru di SK kan nama dan penerima sebanyak 183 orang, dan BRA membuat sabjek penerima, dengan melakukan verifikasi untuk data calon penerima sehingga tidak salah memberikan.

Sedangkan pengusulan nama yang menerima lahan tersebut melalui proses pengajuan nama, petama dari Panglima Sagoe ke Panglima Daerah, Panglima Daerah ke Wilayah, dari wilayah ke ketua KPA pusat, dari KPA baru menyerahkan data ke BRA, yang diajukan untuk penerima Lahan tanah untuk eks Kombatan dan masyarakat korban Konflik.

Namun—katanya–ada juga sebagian kabupaten atau Kota yang tidak mempunyai Lahan seperti Kota Banda Aceh, Kota Langsa, dan kabupaten Gayo Lues yang banyak lahan namun masuk dalam wilayah ekosistem lauser, sehingga karena kecil jika dibagikan tidak merata.

“Lahan pada Tahun 2021 seluas 3.575 Hektar, sebagian nama sudah punya Surat keterangan (SK), sehingga bisa langsung menerima lahan, sebagian lagi masih dalam verifikasi,” lanjut Fakhrurrazi.

Fakhrurrazi juga menyampaikan sertifikasi ada yang berbentuk kelompok (komunal), dan juga ada secara individu, tergantung penempatan lahan.

“Pemerintah Pusat berharap lahan diberikan secara kelompok dan untuk pemberdayaan, supaya dengan pemberdayaan kelompok akan lebih tepat sasaran tidak bisa dialih namakan atau dijual, sehingga lahan bisa menjadi perhatian bersama,”ujarnya.[]

Reporter: Irfan