Deforestasi RI Capai 261 Ribu Hektare, Kawasan TNGL Juga Ikut Tergerus

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Sepanjang tahun 2024, Indonesia kembali mencatatkan kehilangan hutan alam dalam skala besar. Berdasarkan pemantauan Auriga Nusantara, total deforestasi tahun ini mencapai 261.575 hektare.

Pemantauan tersebut dilakukan melalui tiga tahap ketat, yaitu deteksi dugaan deforestasi, inspeksi visual, serta pemantauan lapangan.

Yang mengejutkan, deforestasi tak hanya terjadi di kawasan umum yang kerap menjadi sasaran alih fungsi lahan, tetapi juga merambah kawasan konservasi yang secara hukum seharusnya memiliki perlindungan ketat.

Auriga mencatat, deforestasi terjadi di 198 kawasan konservasi, dengan luas kehilangan hutan mencapai 7.704 hektare.

Salah satu kawasan yang paling terdampak adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Pulau Sumatra yang kehilangan 1.283 hektare hutan alam. Sedangkan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang mencakup wilayah Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, berada di urutan keenam dengan kehilangan mencapai 335 hektare hutan.

Menanggapi temuan tersebut, Nukilan.id menghubungi Afrizal, peneliti Bidang Hutan dan Pertambangan dari perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, untuk menggali lebih dalam penyebab deforestasi yang terus menggerus kawasan konservasi, terutama TNGL.

Menurut Afrizal, hilangnya tutupan hutan di TNGL bukan sekadar soal kehilangan fisik belaka, melainkan mencerminkan kemunduran yang melibatkan banyak aspek struktural dan sosial.

“Deforestasi yang terjadi di TNGL hari ini merupakan sebuah fenomena kemunduran yang menyeret banyak aspek didalamnya,” katanya kepada Nukilan.id, Jumat (13/6/2025).

Fenomena tersebut, lanjutnya, memicu dampak berantai yang kompleks, mulai dari krisis ekologi hingga konflik sosial di masyarakat sekitar kawasan hutan.

“Mulai dari ancaman bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga membentur tatanan sosial masyarakat di sekitarnya,” ungkapnya.

Afrizal menjelaskan bahwa meski kawasan konservasi dilindungi oleh regulasi, pelanggaran terhadapnya tetap terjadi secara masif, bahkan sistematis. Ia menyoroti bahwa pelaku perusakan hutan tidak terbatas pada individu tak bertanggung jawab, namun juga melibatkan aktor-aktor berpengaruh.

“Banyak faktor yg bisa ditemui dalam konteks hilangnya tutupan hutan yang terjadi di Aceh. Jika kita membedah klausul pelaku tindak perusakan, terdapat golongan-golongan dari bawah dan elit yang seakan terus berhasrat untuk membabat hutan demi kebutuhan dan dorongan ekonomi,” ungkapnya.

Dalam banyak kasus, kerusakan lingkungan dilakukan demi memenuhi kebutuhan ekonomi baik dalam skala kecil maupun besar. Afrizal mengungkapkan bahwa motif ekonomi menjadi alasan utama, yang kemudian menjerat aktor perseorangan hingga jaringan terorganisir.

“Aktornya mulai dari perseorangan untuk ekonomi rumah tangga hingga sekelompok orang untuk kepentingan industri dan korporasi,” tuturnya.

Temuan ini menjadi pengingat bahwa upaya konservasi belum berjalan efektif jika tidak disertai penegakan hukum yang kuat dan partisipasi aktif masyarakat.

Di tengah gelombang perubahan iklim global dan krisis keanekaragaman hayati, deforestasi dalam kawasan konservasi seperti TNGL menambah daftar panjang persoalan lingkungan hidup yang harus segera ditangani secara serius. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img

Read more

Local News