Beranda blog Halaman 31

Persiraja Bungkam Persikad di Pakansari Meski Bermain dengan 10 Pemain

0
Duel perebutan bola dalam laga Championship 2025-2026 Persikad Depok vs Persiraja di Stadion Pakansari, Cibinong, Kab. Bogor, Minggu (19/10/2025). (Foto: Dok. Persikad Depok)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH Persiraja Banda Aceh tampil tangguh meski kehilangan satu pemain dan berhasil menundukkan Persikad Depok dengan skor tipis 1-0 pada lanjutan Championship Liga 2 2025–2026 di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Minggu (19/10/2025).

Amatan Nukilan.id, gol semata wayang dicetak oleh striker asing Persiraja, Connor Flynn-Gillespie, pada menit ke-33. Penyerang asal luar negeri itu memanfaatkan celah di kotak penalti Persikad dan membuat tim berjuluk Serigala Margonda tertinggal di hadapan pendukung sendiri.

Memasuki babak kedua, Persikad mencoba meningkatkan intensitas serangan. Harapan untuk bangkit sempat terbuka ketika Wahyu Illahi, pemain Persiraja, diganjar kartu merah pada menit ke-63.

Namun, alih-alih mampu memanfaatkan keunggulan jumlah pemain, Persikad justru kesulitan menembus pertahanan rapat tim tamu. Umpan silang yang tidak akurat dan penyelesaian akhir yang terburu-buru membuat peluang demi peluang terbuang percuma.

Sebaliknya, Persiraja tetap tampil disiplin meski bermain dengan sepuluh pemain. Lini belakang mereka tampil solid, sementara Flynn-Gillespie beberapa kali mengancam lewat serangan balik cepat yang membuat pertahanan Persikad kerepotan. (XRQ)

Reporter: Akil

Kebebasan Berekspresi di Aceh: Antara Suara dan Batasan

0
Ilustrasi buatkan Kebebasan Berekspresi. (Foto: PID Polda Kepri)

NUKILAN.ID | OPINI — Kebebasan berekspresi adalah hak dasar setiap manusia, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ia adalah napas demokrasi, ruang bagi warga untuk menyuarakan pikiran tanpa rasa takut. Namun, di Aceh, hak ini sering berjalan di jalan yang berliku: antara semangat menegakkan syariat, menjaga adat, dan menghidupkan demokrasi yang sehat.

Sebagai provinsi dengan kekhususan dan otonomi khusus, Aceh kerap menjadi sorotan dalam soal kebebasan sipil. Di satu sisi, masyarakatnya dikenal kritis dan aktif dalam wacana publik; di sisi lain, ada dinding sosial dan kultural yang kadang membatasi ruang itu sendiri. Pertanyaannya: seberapa bebas warga Aceh bisa mengekspresikan pendapat mereka hari ini?

Tidak sedikit modal sosial yang dimiliki Aceh untuk mengembangkan ruang ekspresi yang sehat. Sejarah panjang perjuangan, tradisi musyawarah dalam adat, dan kuatnya lembaga-lembaga keagamaan semestinya bisa menjadi fondasi bagi dialog terbuka yang beradab.

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya memperkuat norma kebebasan berekspresi mulai tampak. Komnas HAM, misalnya, pada Agustus 2024 menggelar diskusi publik dan diseminasi Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 Tahun 2021 di Banda Aceh — membahas pentingnya kebebasan berpendapat dan berekspresi di daerah bersyariat. Langkah ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa hak berekspresi harus diatur, bukan dibatasi.

Penelitian juga menunjukkan korelasi positif antara kebebasan berekspresi, akses informasi, dan partisipasi politik masyarakat. Ketika warga berani bersuara, partisipasi mereka dalam demokrasi meningkat. Dalam konteks Aceh, ini berarti peluang bagi masyarakat untuk ikut menentukan arah pembangunan dan menegakkan keadilan sosial.

Namun, potensi itu masih tertahan oleh sejumlah kendala nyata. Salah satunya adalah persoalan regulasi dan tafsir hukum.

Secara nasional, laporan Komnas HAM mencatat pelanggaran kebebasan berpendapat di ruang digital terus meningkat. UU ITE masih sering digunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis, baik terhadap pemerintah maupun lembaga agama. Di Aceh, tekanan itu berlipat: selain berhadapan dengan hukum nasional, ekspresi warga juga dinilai melalui kacamata syariat dan norma adat yang ketat.

Kondisi ini membuat banyak orang memilih diam. Di media sosial, misalnya, topik-topik yang dianggap “sensitif” seperti pluralisme, gender, atau kritik terhadap kebijakan dayah jarang sekali muncul dari akun-akun Aceh. Ketakutan terhadap sanksi sosial, laporan ke pihak berwenang, atau bahkan stigma masyarakat membuat ruang publik digital menjadi sempit.

Masalah lain adalah kurangnya perlindungan terhadap jurnalis dan aktivis. Sejumlah media lokal mengaku sering menghadapi tekanan ketika memberitakan isu-isu kontroversial, terutama yang berkaitan dengan pejabat, proyek publik, atau pelanggaran syariat. Padahal, kebebasan pers adalah bagian integral dari kebebasan berekspresi. Serangan terhadap jurnalis sama saja dengan serangan terhadap hak publik untuk tahu.

Dilema terbesar di Aceh terletak pada upaya menyeimbangkan antara penerapan syariat Islam dengan penghormatan terhadap hak-hak sipil.

Sebagai masyarakat yang religius, wajar jika norma-norma moral dijunjung tinggi. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika norma itu berubah menjadi alat pembatas. Misalnya, pandangan bahwa kritik terhadap kebijakan keagamaan dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Padahal, kritik dan perbedaan pendapat justru bagian dari dinamika intelektual dalam Islam itu sendiri.

Ulama-ulama klasik seperti Imam Syafi’i dan Al-Ghazali menekankan pentingnya ikhtilaf atau perbedaan pendapat, sebagai tanda kehidupan ilmu. Aceh seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana syariat dan kebebasan berpikir berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

Jika ruang kritik dibungkam atas nama menjaga moral, kita justru kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Demokrasi tanpa kritik adalah ruang hampa. Dalam konteks Aceh, menjaga marwah agama tidak berarti menutup telinga terhadap suara rakyat.

Lebih jauh dari sekadar hukum dan regulasi, tantangan terbesar kebebasan berekspresi di Aceh adalah soal budaya. Budaya kita belum sepenuhnya siap menerima perbedaan.

Dalam banyak forum publik, kritik sering dianggap sebagai bentuk perlawanan, bukan masukan. Di media sosial, pendapat yang sedikit berbeda bisa dengan cepat dihakimi. Di kampus, mahasiswa yang vokal kerap dicap sebagai pembangkang. Padahal, dari sinilah seharusnya lahir ruang pembelajaran tentang toleransi, debat sehat, dan penghargaan terhadap pandangan lain.

Budaya dialog ini perlu dibangun sejak dini, melalui pendidikan dan literasi publik. Masyarakat harus diajak memahami perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian, antara menyampaikan pendapat dan menghina. Tanpa pemahaman itu, kebebasan akan selalu disalahartikan, entah menjadi kebablasan atau malah dimatikan.

Kebebasan berekspresi bukan berarti tanpa batas. Namun batas itu seharusnya adil, jelas, dan proporsional. Dalam konteks Aceh, batasan berbasis syariat dan adat memang penting, tetapi perlu dijelaskan secara transparan agar warga tahu di mana garisnya.

Saya percaya, ada jalan tengah antara menjaga moral publik dan menghormati hak asasi manusia. Jalan tengah itu adalah dialog, ruang di mana semua pihak bisa duduk bersama, mendengarkan, dan mencari titik temu.

Pemerintah Aceh bersama Majelis Adat Aceh, ulama, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil seharusnya mulai merumuskan pedoman lokal kebebasan berekspresi yang berpijak pada nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin, tapi juga menghormati konstitusi dan standar HAM internasional.

Selain itu, perlu dibentuk lembaga pengaduan independen di Aceh untuk menampung kasus pelanggaran kebebasan berekspresi, baik di dunia nyata maupun digital. Perlindungan terhadap jurnalis, seniman, dan aktivis harus dijamin secara hukum agar mereka tidak lagi menjadi korban ketakutan.

Pendidikan publik pun tak kalah penting. Literasi digital dan literasi media harus diperluas, terutama di kalangan muda. Mereka harus belajar bagaimana menyampaikan kritik dengan santun, dan di saat yang sama memahami batas etika dalam berekspresi.

Kebebasan berekspresi di Aceh berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk menjaga moralitas masyarakat; di sisi lain, ada kebutuhan mendesak untuk membuka ruang kritik dan kreativitas.

Aceh telah melewati sejarah panjang konflik dan perdamaian. Kini, tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa perdamaian itu diisi dengan ruang berpikir yang bebas, sehat, dan produktif. Karena pada akhirnya, masyarakat yang berani berbicara adalah masyarakat yang berani maju.

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dari bukunya Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat.” Di Aceh, barangkali waktunya kita tambahkan satu kalimat: orang boleh beriman sedalam lautan, tapi selama ia tak berani bersuara, ia akan tenggelam dalam diamnya sendiri. (XRQ)

Penulis: Akil

Sekda Aceh Dorong Lulusan UIA Jadi Motor Pembangunan Daerah

0
Sekda Aceh M. Nasir Saat menghadiri Wisuda Sarjana dan Pascasarjana UIA (Foto: dok. Humas pemerintah Aceh)

NUKILAN.ID | BIREUEN – Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir, mendorong lulusan Universitas Islam Aceh (UIA) untuk tidak hanya bangga atas gelar akademik yang diraih, tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan daerah. Ia menilai, kontribusi generasi muda terdidik sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi Aceh saat ini.

“Upaya pembangunan membutuhkan partisipasi dari semua pihak, termasuk lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Islam Aceh,” ujar Nasir saat menghadiri Wisuda Sarjana dan Pascasarjana UIA Angkatan ke-37, Sabtu (18/10/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Nasir menyebutkan sejumlah persoalan krusial yang perlu mendapat perhatian bersama, mulai dari penciptaan lapangan kerja, penurunan angka kemiskinan, peningkatan daya saing investasi, hingga penguatan ekonomi syariah.

Menurutnya, perguruan tinggi seperti UIA memiliki peran strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat. Kampus, kata Nasir, harus menjadi laboratorium gagasan dan inovasi untuk mendorong kemajuan daerah.

“Kami berharap UIA menjadi universitas Islam modern yang melahirkan sarjana cerdas, berakhlak, dan berdaya saing global,” tutupnya.

Acara wisuda tersebut menjadi momentum bagi para lulusan untuk meneguhkan komitmen mereka dalam mengabdi kepada masyarakat dan berkontribusi nyata bagi pembangunan Aceh.

DPMG Aceh Selatan Hentikan Proyek Website Desa Digital Usai Dipanggil Jaksa

0
DPMG Aceh Selatan Hentikan Proyek Website Desa Digital Usai Dipanggil Jaksa. (Foto: TheTapaktuanPost)

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN — Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh Selatan memutuskan menghentikan pelaksanaan proyek website desa digital. Keputusan itu diambil setelah pejabat dinas tersebut dipanggil pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Selatan untuk memberikan klarifikasi terkait pelaksanaan proyek yang menggunakan dana desa tahun anggaran 2025.

Dikuti dari TheTapaktuanPost, pemanggilan tersebut bersifat koordinatif guna meluruskan berbagai informasi yang berkembang di lapangan. Dalam pertemuan itu, pejabat DPMG dikabarkan mendapat sejumlah pertanyaan terkait proyek pembuatan website desa yang menelan biaya hingga miliaran rupiah.

Seorang sumber yang mengetahui proses pemanggilan itu mengungkapkan, jaksa turut memanggil Kepala DPMG Aceh Selatan Hj. Agustinur S.H. dan Kabid Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Gampong, Masrizal S.E. Pemanggilan itu dilakukan sebagai respons atas ramainya pemberitaan di media massa mengenai proyek website desa digital dengan anggaran Rp6 juta per gampong, yang dalam pelaksanaannya diduga tidak sesuai spesifikasi teknis.

“Dihadapan pejabat DPMG, jaksa kabarnya meminta agar pembuatan website desa tersebut diperbaiki kembali benar-benar sesuai spesifikasi teknis. Jika tak diindahkan tak menutup kemungkinan jaksa akan mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik),” ujar sumber tersebut di Tapaktuan, Senin pekan lalu.

Hingga kini, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Aceh Selatan R. Indra Senjaya, S.H., M.H., belum berhasil dimintai konfirmasi terkait persoalan tersebut. Upaya konfirmasi akan terus dilakukan kepada yang bersangkutan pada kesempatan berikutnya.

Sementara itu, Kepala DPMG Aceh Selatan Hj. Agustinur S.H. membenarkan bahwa dirinya bersama Kabid Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Gampong, Masrizal S.E., telah memenuhi panggilan jaksa. Saat ditemui di kantornya pada Kamis (16/10/2025), Agustinur tampak kesal dengan pihak vendor proyek website desa digital.

“Saya telah memanggil pihak vendor, tapi yang datang hanya pihak perusahaan (PT. MKM-red),” tegas Agustinur seraya mengaku nyaris mengusir yang bersangkutan karena kesal.

Agustinur menjelaskan, pihaknya menolak desain website desa digital yang telah disiapkan vendor karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Menurutnya, pembuatan website tidak boleh hanya dengan membeli template siap pakai, tetapi harus melalui proses rancang bangun yang sesuai ketentuan teknis.

“Tidak, tidak, tidak, kami menolak jika tak sesuai spesifikasi teknis yang telah ditetapkan. Tetap harus rancang bangun,” tegasnya.

Ia juga menyebutkan bahwa sebagian desa yang belum menyetorkan dana telah diminta untuk menghentikan kerja sama dengan pihak vendor.

“Proyek pembuatan website desa digital itu sudah kami stop, sudah kami beritahukan ke desa-desa untuk dihentikan,” pungkasnya.

Kapolda Aceh Kunjungi Nagan Raya, Dapat Tongkat Komando Batu Giok dari Bupati TRK

0
Kapolda Aceh Kunjungi Nagan Raya, Dapat Tongkat Komando Batu Giok dari Bupati TRK. (Foto: DINAS KOMINFO KAB. NAGAN RAYA)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh, Irjen Pol Drs. Marzuki Ali Basyah, M.M., melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Nagan Raya, Jumat (17/10/2025) sore. Kunjungan ini disambut langsung oleh Bupati Nagan Raya, Dr. TR. Keumangan, S.H., M.H., bersama jajaran pemerintah daerah di Anjungan Pendopo Bupati, Kompleks Perkantoran Suka Makmue.

Setibanya di lokasi, Kapolda Aceh dan rombongan disambut hangat dengan tarian Ranup Lampuan serta prosesi peusijuek oleh Said Kamaruddin, pemegang amanah keluarga besar Habib Muda Seunagan — simbol penghormatan adat khas Aceh.

Dalam kesempatan itu, Bupati TR. Keumangan menyerahkan cenderamata berupa Tongkat Komando yang dibuat dari batu giok khas Nagan Raya, sebagai tanda kehormatan kepada Kapolda Aceh.

Kapolda hadir didampingi Irwasda Polda Aceh Kombes Pol Djoko Susilo, S.I.K., S.H., Dirintelkam Polda Aceh Kombes Pol Said Anna Fauza, S.I.K., M.M., Kapolres Nagan Raya AKBP Dr. Benny Bathara, S.I.K., M.I.K., serta sejumlah pejabat utama Polda dan Polres Nagan Raya.

Dalam sambutannya, Bupati yang akrab disapa TRK mengucapkan selamat datang kepada Kapolda beserta rombongan di “Bumoe Meutuwah Nagan Raya” — daerah yang kini dikenal luas dengan ikon Masjid Giok.

“Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002. Saat ini, Nagan Raya terdiri dari 10 kecamatan, 30 kemukiman, dan 222 gampong,” ungkap TRK.

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Nagan Raya berprofesi sebagai petani, pekebun, nelayan, ASN, dan pelaku usaha di bidang perkebunan kelapa sawit. Kabupaten ini juga memiliki infrastruktur penting, seperti bandara, dan ke depan diharapkan dapat memiliki pelabuhan laut untuk mendukung aktivitas ekspor CPO (Crude Palm Oil).

“Kita berharap ke depan ada pelabuhan laut di Nagan Raya agar CPO bisa diekspor langsung tanpa harus melalui Medan. Dengan begitu, akan memberi dampak positif bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat,” harap TRK.

Selain potensi perkebunan, TRK juga menyoroti kekayaan sumber daya alam Nagan Raya seperti emas, batu bara, dan batu giok — yang disebutnya sebagai kekhasan tersendiri daerah tersebut.

“Kami sudah berkomitmen melapisi Masjid Agung Baitul A’la dengan batu giok, baik bagian dalam maupun luar. Kami mohon dukungan dari Bapak Kapolda agar masjid giok ini dapat menjadi ikon nasional bahkan internasional, karena hanya di Nagan Raya terdapat masjid yang terbuat dari batu giok,” pungkasnya.

Sementara itu, Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Basyah mengapresiasi sambutan hangat dari Pemerintah Kabupaten Nagan Raya serta menyambut baik berbagai aspirasi yang disampaikan Bupati.

“Kami siap membantu Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, baik dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, maupun dalam mendukung iklim investasi yang kondusif bagi para investor,” ujarnya.

Kapolda juga berpesan kepada Kapolres Nagan Raya agar terus memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah.

“Mohon kepada Kapolres agar dapat membantu dengan semangat kolaborasi bersama Pemkab Nagan Raya. Jika ada kendala, mari diselesaikan dengan komunikasi yang baik demi kemajuan Nagan Raya,” tutur Marzuki Ali Basyah.

Acara silaturahmi tersebut turut dihadiri unsur Forkopimda Nagan Raya, Wakil Bupati Raja Sayang, para asisten Sekda, staf ahli bupati, kepala SKPK, camat, serta sejumlah pejabat lainnya.

Editor: Akil

Aceh Raya Selangkah Lagi Jadi Kabupaten Baru, Tunggu Pencabutan Moratorium Awal 2026

0
Tim pemekaran Aceh Raya saat menghadiri pertemuan dengan Kemendagri di Jakarta beberapa waktu lalu. (FOTO: DOKUMEN TIM PEMEKARAN ACEH RAYA).

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Proses panjang pembentukan Kabupaten Aceh Raya akhirnya mendekati babak akhir. Setelah bertahun-tahun diperjuangkan, daerah otonomi baru (DOB) yang diusulkan dari wilayah Aceh Besar itu kini telah memenuhi seluruh persyaratan administratif dan resmi terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Sekretaris Jenderal Panitia Aceh Raya, Teungku Helmi, SE., MM, menyebutkan bahwa pihaknya kini hanya menunggu satu langkah terakhir—pencabutan moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah pusat.

“Aceh Raya sudah masuk dalam daftar usulan Mendagri untuk menjadi kabupaten baru. Saat ini kita berada pada tahapan akhir, tinggal menunggu pencabutan moratorium oleh pemerintah pusat,” ujar Teungku Helmi, Sabtu (18/10/2025).

Menurutnya, perkembangan signifikan terjadi setelah tim pemekaran Aceh Raya yang dipimpin Drs. H. Abdurraman Ahmad diundang ke Jakarta untuk mengikuti pertemuan bersama pihak Kemendagri. Dalam pertemuan itu, pemerintah pusat memberikan sinyal positif: moratorium pemekaran daerah yang telah lama diberlakukan akan segera dicabut.

“Informasi resmi yang kami terima, hasil kesepakatan antara Komisi II DPR RI dan Dirjen OTDA Kemendagri menetapkan pencabutan moratorium akan dilakukan di awal Januari 2026. Ini kabar baik yang sangat dinanti masyarakat Aceh Raya,” ungkapnya.

Helmi mengatakan, pencabutan moratorium tersebut menjadi penentu utama bagi lahirnya Kabupaten Aceh Raya sebagai daerah otonom baru di Provinsi Aceh. Jika semua berjalan sesuai jadwal, Aceh Raya akan menjadi salah satu DOB yang disetujui pemerintah pada gelombang pertama setelah pencabutan moratorium.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang selama ini mendukung perjuangan tersebut—mulai dari masyarakat, tokoh daerah, hingga pemerintah kabupaten dan provinsi.

“Pemekaran ini adalah amanah rakyat dan wujud komitmen bersama untuk memperkuat pelayanan publik serta mempercepat kesejahteraan masyarakat,” pungkas Helmi.

Pemekaran Kabupaten Aceh Raya selama ini dianggap sebagai langkah strategis untuk mempercepat pemerataan pembangunan di wilayah barat-selatan Aceh, sekaligus mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yang selama ini berada cukup jauh dari pusat administrasi Kabupaten Aceh Besar.

Dengan seluruh syarat administratif telah dipenuhi dan dukungan politik terus menguat, harapan masyarakat Aceh Raya kini tertuju pada awal tahun depan—saat keputusan pencabutan moratorium akan menjadi penentu lahirnya kabupaten baru di Tanah Rencong tersebut.

Banjir Rendam 11 Desa di Aceh Selatan, Akses Antar­desa Lumpuh Total

0
Banjir melanda Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. (Foto: Dokumentasi BPBD Aceh Selatan)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Hujan deras yang mengguyur wilayah Kabupaten Aceh Selatan sejak Kamis malam menyebabkan banjir di dua kecamatan, yakni Labuhan Haji dan Labuhan Haji Barat. Air dengan ketinggian mencapai 70 sentimeter merendam permukiman warga serta melumpuhkan akses jalan lintas antar­desa.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Selatan, Zainal, membenarkan peristiwa tersebut. Ia mengatakan pihaknya langsung menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan pendataan dan penanganan awal terhadap dampak banjir.

“Banjir melanda dua kecamatan yaitu di Kecamatan Labuhan Haji dan Labuhan Haji Barat,” ujar Zainal, Jumat (18/10/2025).

Menurut Zainal, enam desa di Kecamatan Labuhan Haji terdampak genangan air, termasuk Desa Padang Bakau, Desa Apha, dan Desa Ujung Batu. Sementara itu, di Kecamatan Labuhan Haji Barat, lima desa lainnya juga ikut terendam, seperti Desa Tutong, Desa Tengoeh Iboeh, dan Desa Medak Paya.

“Curah hujan tinggi menyebabkan air sungai di kedua kecamatan meluap dan menggenangi permukiman warga,” jelasnya. Ketinggian air dilaporkan bervariasi antara 40 hingga 70 sentimeter di sejumlah titik.

Hingga Jumat pagi, air masih menutupi sebagian besar wilayah permukiman dan jalan lintas desa, sehingga aktivitas warga terganggu.

“Kondisi terakhir, air masih menggenangi permukiman penduduk dan jalan lintas desa di wilayah terdampak,” kata Zainal menambahkan.

Meski demikian, tidak ada laporan korban jiwa dalam peristiwa ini. Tim BPBD bersama pemerintah kabupaten terus melakukan pemantauan dan pendataan terhadap kerugian material serta warga terdampak untuk memastikan bantuan segera disalurkan.

Zainal mengatakan, pihaknya juga mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap potensi hujan dengan intensitas tinggi yang masih berpeluang terjadi di wilayah Aceh Selatan dalam beberapa hari ke depan.

Editor: Akil

Polda Aceh Perketat Pengawasan di Selat Malaka untuk Cegah Penyelundupan Narkotika

0
Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah. (Foto: RRI)

NUKILAN.ID | MEULABOH – Kepolisian Daerah (Polda) Aceh memperketat pengawasan di sepanjang jalur perairan Selat Malaka. Langkah ini dilakukan untuk menekan masuknya narkotika dari luar negeri ke wilayah Aceh, yang selama ini menjadi salah satu jalur utama penyelundupan barang haram tersebut.

“Pintu masuknya narkotika itu kan melalui jalan-jalan tikus,” kata Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Basyah kepada wartawan di Meulaboh, Aceh Barat, Sabtu (18/10/2025).

Menurut Kapolda, kawasan pantai utara Aceh menjadi titik rawan penyelundupan narkotika karena wilayah itu berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Transaksi atau peredaran sabu dari luar negeri kerap melibatkan warga lokal, termasuk nelayan.

“Para pelaku yang diduga memiliki jaringan internasional ini melibatkan warga lokal Aceh atau masyarakat kampung yang tidak mengerti dengan narkotika,” ujarnya.

Untuk mempersempit ruang gerak para pelaku, Polda Aceh memperkuat kerja sama lintas instansi, termasuk dengan Bea Cukai, TNI, TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), hingga lembaga adat panglima laut. Sinergi ini, kata Kapolda, penting untuk memastikan jalur laut tidak dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal.

Selain itu, kepolisian juga meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas nelayan di pantai utara Aceh. Pemeriksaan dilakukan mulai dari kelengkapan alat tangkap hingga tujuan keberangkatan.

“Kita juga mengecek nelayan yang berangkat melaut, dicek kembali kesiapan nya, kalau mereka tidak membawa peralatan melaut maka diyakinkan mereka menjadi kurir narkoba,” ujar Marzuki.

Kapolda mengungkapkan, jajarannya telah banyak mengungkap kasus penyelundupan narkotika di kawasan pantai utara. Sementara di wilayah pantai barat Aceh, kondisi geografis laut yang berbeda membuat peredaran narkoba dari jaringan internasional relatif jarang terjadi.

“Jadi kita yakinkan disini (pantai barat Aceh) bukan jalur transportasinya,” katanya.

Ia menegaskan, jaringan pemasok narkotika yang beroperasi di Aceh umumnya berasal dari luar negeri, namun para pelaku lapangan adalah warga lokal yang dimanfaatkan oleh sindikat internasional.

Sementara itu, kasus terbaru terjadi pada Rabu (15/10/2025) lalu. Satuan Reserse Narkoba Polres Aceh Utara menangkap seorang pria berinisial S (37), warga Bireuen, yang kedapatan menyimpan 1,87 kilogram sabu-sabu.

Tersangka yang merupakan mantan penyanyi Aceh dari grup band Birboy itu ditangkap di Gampong Beurawang, Bireuen. Barang bukti yang ditemukan berupa dua bungkus sabu dalam kemasan teh merek Guanyinwang.

Kasat Reserse Narkoba Polres Aceh Utara, AKP Erwinsyah Putra, mengatakan penangkapan dilakukan dengan metode penyamaran.

“Dua bungkusan barang bukti ditemukan di lokasi berbeda, satu di sepeda motor tersangka,” ujarnya.

Polda Aceh menegaskan akan terus memperkuat pengawasan dan mempersempit ruang gerak jaringan narkotika internasional yang memanfaatkan wilayah Aceh sebagai pintu masuk ke Indonesia.

Mahasiswa Aceh Selatan di Meulaboh Gelar Gotong Royong Rutin di Tanah Asrama yang Belum Dibangun

0
Mahasiswa Aceh Selatan yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Selatan (IPELMASEL) Aceh Barat kembali melaksanakan kegiatan gotong royong massal di lahan yang direncanakan menjadi lokasi pembangunan asrama mahasiswa Aceh Selatan di Meureubo, Aceh Barat. (Foto: For Nukilan)

NUKILAN.ID | MEULABOH – Mahasiswa Aceh Selatan yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Selatan (IPELMASEL) Aceh Barat kembali melaksanakan kegiatan gotong royong massal di lahan yang direncanakan menjadi lokasi pembangunan asrama mahasiswa Aceh Selatan di Meureubo, Aceh Barat.

Lahan tersebut merupakan aset Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan sejak tahun 2017, yang dibeli pada masa kepemimpinan Bupati Teuku Sama Indra. Meski telah delapan tahun berlalu, hingga kini di atas lahan itu belum berdiri satu bangunan pun sebagaimana rencana awal pembangunan asrama mahasiswa.

Ketua IPELMASEL Aceh Barat, Mullyanda, kepada Nukilan.id mengatakan kegiatan gotong royong ini sudah rutin dilakukan oleh mahasiswa maupun masyarakat Aceh Selatan di Aceh Barat. Tujuannya agar lahan tersebut tetap bersih dan terawat meskipun belum dibangun.

“Terkait pembersihan atau gotong royong pada lokasi tanah asrama alhamdulillah sudah beberapa kali kita lakukan baik pembersihan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun bersama ikatan masyarakat Aceh Selatan di Aceh Barat, hal itu rutin kita lakukan agar tanah ini tetap bersih dan terjaga,” jelas Mullyanda.

Lebih lanjut, Mullyanda menyampaikan bahwa pihaknya berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan memberikan perhatian serius terhadap kelanjutan pembangunan asrama mahasiswa tersebut. Menurutnya, keberadaan asrama akan sangat membantu mahasiswa asal Aceh Selatan yang tengah menempuh pendidikan di Aceh Barat.

“Tentunya saya dan mahasiswa Aceh Selatan yang berkuliah di Aceh Barat sangat berharap ada titik terang terkait pembangunan asrama mahasiswa Aceh Selatan di Aceh Barat sebab hal ini sudah sangat lama hanya menjadi sebuah rencana yang tak kunjung terealisasikan. Padahal kami mahasiswa Aceh Selatan di Aceh Barat ini akan sangat terbantu apabila asrama itu terbangun,” tegasnya.

Di akhir keterangannya, Mullyanda menuturkan bahwa pihaknya memiliki harapan besar agar kelak asrama tersebut tak hanya menjadi tempat tinggal mahasiswa, tetapi juga bisa difungsikan sebagai rumah singgah bagi masyarakat Aceh Selatan yang memiliki keperluan di Aceh Barat dan sekitarnya.

“Bila mana asrama sudah terbangun kami mahasiswa Aceh Selatan di Aceh Barat yang berhimpun dalam IPELMASEL akan menyediakan ruang yang peruntukannya adalah sebagai rumah singgah bagi seluruh masyarakat Aceh Selatan yang miliki keperluan di Aceh Barat terutama bagi yang kurang mampu agar masyarakat kita nantinya dapat melakukan penghematan saat melakukan perjalanan ke Aceh Barat dan sekitarnya,” tutup Mullyanda. (XRQ)

Reporter: Akil

Calon Keuchik Kalah dan Anaknya Diduga Keroyok Warga Usai Pilchiksung di Bireuen

0
Ilustrasi pengeroyokan. (Foto: Fin.co.id)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Suasana pasca Pemilihan Keuchik Serentak (Pilchiksung) di Kabupaten Bireuen kembali memanas. Seorang petani bernama Ismail Majdi, warga Desa Peunneulet Baroh, Kecamatan Simpang Mamplam, menjadi korban dugaan pengeroyokan yang dilakukan oleh seorang calon keuchik yang kalah bersama anaknya, Minggu (12/10/2025) pagi.

Peristiwa tersebut kini telah dilaporkan ke Polres Bireuen dengan nomor LP/B//381/X/2025/SPKT Polres Bireuen/Polda Aceh, Kamis (16/10/2025).

Kuasa hukum korban, Ishak, SH, menyampaikan bahwa insiden terjadi sekitar pukul 09.30 WIB di halaman rumah korban. Kedua terlapor datang dan diduga langsung melakukan pengeroyokan terhadap Ismail Majdi.

“Sebelum kejadian, terlapor sempat mengatakan bahwa korban mempengaruhi masyarakat sehingga terlapor kalah dalam pemilihan kepala desa (Pilchiksung),” ujar Ishak, SH.

Akibat pengeroyokan tersebut, Ismail mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh. Ia mengaku mendapat tendangan dan pukulan berulang kali hingga sempat tersungkur ke tanah. Korban kemudian dirawat di rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis.

Kuasa hukum lainnya, Saifuddin, SH, meminta agar Polres Bireuen segera menindak tegas para pelaku tanpa pandang bulu.

“Tindakan para pelaku ini merupakan aksi premanisme dan tidak dibenarkan oleh hukum Indonesia,” tegas Saifuddin.

Kasus ini menambah daftar gesekan sosial yang muncul usai pelaksanaan Pilchiksung di beberapa wilayah Aceh. Warga berharap aparat penegak hukum dapat memproses laporan tersebut secara profesional agar situasi di Simpang Mamplam tetap kondusif.