Beranda blog Halaman 19

Dugaan Titipan Timses di Disdik Aceh Selatan: For-PAS Ungkap Rekrutmen Honorer di Tengah Larangan UU

0
Dugaan Titipan Timses di Disdik Aceh Selatan: For-PAS Ungkap Rekrutmen Honorer di Tengah Larangan UU. (Foto: For-PAS)

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Aceh Selatan kembali diterpa isu tak sedap. Setelah sebelumnya ramai soal proyek mobiler yang menyeret nama ajudan Bupati H. Mirwan, kini muncul dugaan baru: perekrutan tenaga honorer yang diduga merupakan titipan tim sukses (timses) kepala daerah.

Forum Peduli Aceh Selatan (For-PAS) mengungkap adanya indikasi perekrutan empat tenaga honorer di lingkungan Disdikbud Aceh Selatan tahun 2025. Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 yang secara tegas melarang pengangkatan tenaga honorer atau bakti oleh instansi pemerintah.

Koordinator For-PAS, T. Sukandi, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan penelusuran dan investigasi terkait kabar tersebut.

“Berdasarkan hasil penelurusan dan investigasi pihak kami, ada 4 orang tenaga honorer direkrut Dinas Pendidikan Aceh Selatan tahun 2025. Dengan rincian 2 orang di bagian TU (Sekretariat) berasal dari Kecamatan Samadua, 1 orang di bagian Bendahara berasal dari Kluet, dan 1 orang lagi di bagian SD dari Samadua,” ujar Sukandi dikutip dari Waspada.co.id di Tapaktuan, Kamis (30/10).

Menurutnya, informasi itu pertama kali muncul setelah beredarnya surat kaleng yang disebar di warung-warung kopi dan viral di media sosial.

“Investigasi ini kami lakukan menindaklanjuti beredarnya surat kaleng yang beredar luas di pojok warung-warung kopi dan viral di medsos dan media online. Hasilnya ternyata bukan ‘kaleng-kaleng’, benar adanya informasi dari surat kaleng tersebut,” tambahnya.

Sukandi juga menuturkan bahwa dua tenaga honorer asal Samadua tersebut diduga kuat merupakan rekomendasi dari salah satu petinggi tim sukses pasangan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Selatan, yang dikenal dengan sebutan pasangan “MANIS”.

“Secara administrasi tata kelola pemerintahan, kami meyakini bahwa perekrutan tenaga honorer ini tak terlepas dari persetujuan pimpinan daerah. Kami menduga permohonan perekrutannya telah mendapat disposisi Bupati H. Mirwan, atau Wabup Baital Mukadis atau minimal Plt. Sekda. Tak mungkin pihak Disdik berani berjalan sendiri,” bebernya.

Surat Kaleng yang Menguak Masalah

Isu ini mencuat setelah beredarnya surat anonim tanpa kop resmi yang ditujukan kepada para wartawan di Aceh Selatan. Surat tersebut berisi keluhan para tenaga honorer lama yang merasa tersisih akibat masuknya pegawai baru.

Surat yang ditandatangani dengan nama samaran Agam/Inong itu ditulis dengan nada sopan namun sarat emosi. Mereka mengaku masih aktif bekerja di Disdik Aceh Selatan, namun tidak termasuk dalam daftar pengangkatan baru.

Dalam surat itu, mereka mengutip UU Nomor 20 Tahun 2023 sebagai dasar larangan pengangkatan tenaga honorer oleh pemerintah, seraya meminta perhatian media untuk menyoroti persoalan tersebut.

“Kami memohon kepada Bapak-bapak wartawan agar sudi kiranya meninjau pegawai honor yang baru dimasukkan oleh timses pada Dinas Pendidikan yang bertentangan dengan Undang-undang tersebut,” tulis mereka.

Nada surat itu kemudian berubah lirih, menggambarkan kekecewaan dan ketimpangan sosial yang mereka rasakan.

“Seandainya daerah kita begini terus, bagaimana nasib anak-anak yang telah memegang ijazah Sarjana beberapa tahun lulus karena mereka tidak mempunyai saudara seorang Bupati atau timses,” lanjut surat itu.

“Kami memohon kepada Bapak Wartawan, tolong bantu kami untuk masa depan anak Aceh Selatan. Tunjukkanlah keadilan Aceh Selatan kita ini agar menjadi Aceh Selatan yang Adil dan Bermartabat.”

Pihak Dinas Membantah

Upaya konfirmasi kepada Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Selatan, Zikri S.Pd, belum membuahkan hasil. Saat didatangi ke kantornya, yang bersangkutan tidak berada di tempat. Panggilan telepon yang dilakukan juga tidak diangkat, dan pesan singkat yang dikirim via WhatsApp belum mendapat jawaban.

Sementara itu, Sekretaris Disdikbud Aceh Selatan, Ridha Nisfu S.Pd, menegaskan bahwa tidak ada perekrutan tenaga honorer di instansinya.

“Kalau honorer tegas kami sampaikan tidak ada, tidak benar informasi itu. Yang ada hanya tenaga bhakti, itupun tidak banyak, yang saya tahu hanya dua orang. Dengan syarat tidak menuntut gaji karena memang tak tersedia atau tak dialokasikan dalam DPA dinas,” ujarnya.

Ia juga menyatakan tidak mengetahui apakah perekrutan tenaga bhakti tersebut berkaitan dengan rekomendasi dari tim sukses bupati.

“Terkait dengan timses saya tak tahu, yang pasti mereka datang secara suka rela tanpa menuntut gaji, namun demikian jika ada honor kegiatan tertentu yang melibatkan jerih payah keringat tenaga bhakti dimaksud tentu akan disisihkan sebagian tanpa dipatok,” tandasnya.

Wabup Pidie Jaya Minta Maaf Usai Pukuli Kepala SPPG di Lokasi Dapur MBG

0
Video Wakil Bupati Pidie Jaya Hasan Basri diduga menghajar kepala SPPG Muhammad Reza viral di medsos. (Foto: screenshot video viral)

NUKILAN.ID | MEUREDU – Wakil Bupati (Wabup) Pidie Jaya, Hasan Basri, menyampaikan permintaan maaf secara terbuka usai aksinya memukul Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kecamatan Trienggadeng, Muhammad Reza, viral di media sosial. Permintaan maaf itu disampaikannya melalui sebuah video yang kini juga beredar luas.

Dalam video berdurasi singkat tersebut, Hasan tampak mengenakan peci, kemeja, dan kain sarung. Ia mengawali pernyataannya dengan memperkenalkan diri sebelum menyampaikan permohonan maaf kepada korban, keluarga korban, dan jajaran SPPG di Kecamatan Trienggadeng.

“Saya memohon maaf atas kesilapan dan keteledoran saya terhadap perlakuan saya tadi pagi kepada Ananda Reza menyangkut terjadi pemukulan di SPPG Desa Sagoe Kecamatan Trienggadeng,” ujar Hasan dalam video yang dilihat Nukilan.id, Kamis (30/10/2025).

Hasan juga menegaskan bahwa video permintaan maaf tersebut dibuat olehnya secara pribadi. Ia berharap publik dan pihak terkait dapat memaafkan tindakannya yang dinilai mencoreng etika seorang pejabat publik.

“Dalam hal ini saya selaku pribadi memohon sangat untuk diperbanyak maaf,”
tambahnya.

Sebelumnya, insiden pemukulan terjadi saat Hasan meninjau dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Desa Sagoe, Kecamatan Trienggadeng, pada Kamis pagi (30/10). Dalam rekaman video yang beredar, Hasan terlihat memarahi seorang pria di halaman luar bangunan dapur yang disaksikan sejumlah orang, termasuk pekerja perempuan.

Tak lama kemudian, Muhammad Reza datang ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor. Setelah memarkirkan kendaraannya, Reza berjalan ke arah Hasan. Tanpa banyak bicara, Hasan tampak melayangkan beberapa kali pukulan ke arah wajah Reza.

Peristiwa tersebut menimbulkan reaksi beragam di masyarakat dan media sosial. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga dikabarkan akan memanggil Hasan Basri untuk dimintai klarifikasi terkait tindakannya yang melanggar etika pemerintahan.

Sementara itu, Muhammad Reza melalui kuasa hukumnya telah melaporkan kasus pemukulan tersebut ke pihak kepolisian. Laporan itu kini sedang diproses oleh aparat penegak hukum.

Meski telah menyampaikan permintaan maaf, publik menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apa pun, apalagi di tengah sorotan publik terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis yang sedang berjalan di berbagai daerah. (XRQ)

Reporter: Akil

Pendapatan Negara di Aceh Capai Rp3,88 Triliun, Realisasi Belanja Masih Rendah

0
Ilustrasi uang baru. (Foto: Detik

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Satu Aceh mencatat realisasi pendapatan negara di Provinsi Aceh hingga akhir September 2025 mencapai Rp3,88 triliun atau 55,92 persen dari target yang ditetapkan. Capaian tersebut terdiri dari tiga sumber utama, yakni penerimaan pajak, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Total pendapatan negara di Provinsi Aceh dalam rentang waktu Januari hingga 30 September 2025 tercatat sebanyak Rp3,88 triliun atau 55,92 persen,” kata Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Satu Aceh, Paryan, di Banda Aceh, Jumat (31/10/2025).

Pernyataan itu disampaikan Paryan usai memimpin rapat Asset & Liabilities Committee (ALCo) Regional Aceh, kegiatan rutin bulanan yang membahas realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tingkat daerah.

Perwakilan Kemenkeu Satu Aceh meliputi empat instansi vertikal, yakni Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Menurut Paryan, dari total pendapatan negara tersebut, penerimaan pajak menyumbang Rp2,51 triliun atau terealisasi sebesar 42,56 persen dari target. Sementara itu, penerimaan bea dan cukai mencapai Rp403,35 miliar dengan tingkat realisasi 140,54 persen, serta PNBP sebesar Rp962,45 miliar atau 129,06 persen.

Di sisi lain, realisasi belanja negara di Aceh hingga 30 September 2025 tercatat sebesar Rp32,74 triliun. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp9,65 triliun dan belanja transfer ke daerah Rp23,09 triliun.

Paryan menjelaskan bahwa belanja pemerintah pusat secara year on year (YoY) mengalami penurunan sebesar 25,6 persen akibat turunnya pagu anggaran, meskipun persentase realisasi belanja tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, yakni 65,43 persen.

“Realisasi belanja barang dan modal, masing-masing baru 54,64 persen dan 35,14 persen,” ujarnya. Ia menambahkan, belanja transfer ke daerah juga mengalami kontraksi sebesar 5,83 persen, disebabkan menurunnya penyaluran dana alokasi khusus (DAK) fisik, dana desa, dan dana alokasi umum (DAU).

Melalui rapat ALCo Regional Aceh, jajaran Kemenkeu Satu Aceh berupaya memperkuat koordinasi antarinstansi agar pengelolaan fiskal daerah dapat berjalan lebih efektif. Evaluasi rutin ini juga menjadi sarana untuk memantau kinerja pendapatan dan belanja negara di Aceh, sekaligus memastikan APBN memberikan dampak nyata bagi pembangunan daerah.

Abiya Kuta Krueng Pimpin Peusijuek Gedung Utama MTQ Aceh ke-37 di Pidie Jaya

0
Abiya Kuta Krueng Pimpin Peusijuek Gedung Utama MTQ Aceh ke-37 di Pidie Jaya. (Foto: For Nukilan)

NUKILAN.ID | MEUREUDU – Menjelang pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Aceh ke-XXXVII, Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya meresmikan Gedung Utama MTQ melalui prosesi peusijuek yang dipimpin oleh ulama kharismatik, Abiya Kuta Krueng Tgk. H. Anwar Usman, pada Kamis (30/10/2025).

Kegiatan yang berlangsung khidmat itu turut dihadiri oleh Bupati Pidie Jaya, H. Sibral Malasyi MA, S.Sos, ME, bersama jajaran Forkompinda, para asisten dan staf ahli bupati, kepala SKPK terkait, serta Kabag Prokopim Sekdakab Pidie Jaya. Sejumlah anak yatim dan piatu juga diundang untuk mengikuti doa bersama serta menerima santunan dari bupati.

Dalam sambutannya, Bupati Sibral Malasyi menegaskan bahwa acara peusijuek bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan bagian dari warisan budaya Aceh yang sarat makna.

“Kegiatan pesijuek dan peresmian ini bukan sekadar seremonial, melainkan bagian dari tradisi Aceh untuk memohon doa dan restu agar seluruh rangkaian kegiatan MTQ berjalan dengan selamat dan sukses, dan semoga MTQ Aceh ke-37 ini menjadi momentum mempererat ukhuwah Islamiyah dan menumbuhkan semangat kecintaan terhadap Al-Qur’an, bukan hanya di Pidie Jaya, tapi juga di seluruh Aceh,” kata Sibral Malasyi.

Peusijuek yang dilakukan Abiya Kuta Krueng menjadi simbol permohonan keberkahan sekaligus penanda kesiapan Pidie Jaya sebagai tuan rumah MTQ tingkat provinsi tahun ini.

Dengan rampungnya pembangunan Gedung Utama dan Panggung Utama MTQ, pemerintah daerah memastikan seluruh fasilitas telah siap menyambut kafilah dari 23 kabupaten/kota se-Aceh.

MTQ Aceh ke-37 dijadwalkan berlangsung pada 1–8 November 2025, dan diharapkan menjadi ajang pemersatu umat sekaligus wadah melahirkan qari-qariah terbaik dari Tanah Rencong.

YARA Nilai Kebijakan Migas Terbaru Kementerian ESDM Langkah Mundur bagi Aceh

0
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, Safaruddin. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | MEULABOH – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia terkait pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) di Aceh. Ia menilai kebijakan tersebut sebagai langkah mundur yang melemahkan posisi Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus.

Kritik itu merespons surat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, yang memberi peluang bagi Aceh untuk terlibat dalam pengelolaan migas di wilayah laut sejauh 12 hingga 200 mil dari garis pantai.

Dalam surat yang ditujukan kepada Gubernur Aceh tersebut, disebutkan bahwa keterlibatan Aceh akan dilakukan melalui kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Namun bagi Safaruddin, kebijakan itu justru menunjukkan kemunduran dalam pelaksanaan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam regulasi khusus.

“Ini langkah mundur yang tidak hanya melemahkan posisi Aceh, tetapi juga tidak memperhatikan posisi Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus dan sejarah Aceh sampai menuju MoU Helsinki yang secara filosofis bertujuan untuk akselerasi pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh,” ujarnya dikutip dari RRI, Kamis (30/10/2025).

Menurutnya, pengelolaan migas bersama antara Aceh dan pemerintah pusat melalui BPMA seharusnya diberikan kewenangan penuh, bukan sekadar keterlibatan terbatas. Ia menegaskan bahwa BPMA semestinya memiliki otoritas penuh hingga wilayah laut 200 mil dari garis pantai.

Safar juga menyoroti lemahnya sikap Pemerintah Aceh dalam menegakkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang mewajibkan seluruh perusahaan migas di Aceh untuk berkontrak dengan BPMA. Faktanya, kata dia, Pertamina masih menandatangani kontrak dengan SKK Migas untuk blok migas Rantau Perlak dan Kuala Simpang, bukan dengan BPMA sebagaimana diperintahkan dalam PP tersebut.

“Seharusnya Pemerintah Aceh dan DPRA fokus pada implementasi PP 23/2018 dalam pengelolaan Blok Migas di Rantau Perlak dan Kuala Simpang, yang skemanya juga sudah disetujui oleh Pemerintah Aceh dan Kementerian ESDM, namun belum dilaksanakan sampai saat ini. Pertamina masih berkontak dengan SKK Migas bukan dengan BPMA, yang sudah tegas diperintah oleh Peraturan Pemerintah masih tidak dilaksanakan, apalagi menghiba berharap dilibatkan oleh SKK Migas yang tidak punya landasan hukum,” tegas Safar.

YARA sendiri, lanjutnya, telah mengirim surat kepada Menteri ESDM pada April lalu agar pemerintah pusat menyerahkan penuh pengelolaan migas hingga 200 mil garis pantai kepada BPMA. Langkah tersebut, menurutnya, merupakan bentuk dukungan konkret terhadap percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

“Untuk saat ini dan kedepannya Aceh masih membutuhkan banyak uang untuk membangun setelah didera konflik panjang beberapa dekade yang membuat Aceh banyak tertinggal dalam pembangunannya dan tidak sesuai dengan sumber daya alam yang dihasilkannya. Sementara dana Otsus akan segera berakhir, dan sektor strategis seperti pengentasan kemiskinan, penguatan layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, peningkatan investasi dan penyediaan beasiswa bagi generasi muda Aceh membutuhkan anggaran yang besar yang berjenjang,” ucapnya.

Ia menambahkan, permintaan agar BPMA diberi kewenangan penuh bukan tanpa alasan. Aceh, kata Safar, membutuhkan sumber pendapatan baru yang berkelanjutan seiring berakhirnya dana otonomi khusus.

“Pada April lalu kami telah menyurati Menteri ESDM meminta agar pengelolaan Migas di Aceh sampai dengan 200 mil garis pantai diberikan kepada BPMA. Karena menurut kami, Aceh yang akan kehilangan dana Otsus kedepannya, walaupun akan dibahas dalam revisi UUPA, membutuhkan banyak uang pembangunan, terutama dalam sektor strategis seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur dasar yang layak, penyediaan beasiswa bagi generasi muda Aceh, yang semuanya membutuhkan dukungan anggaran yang besar dan berjenjang setiap tahunnya,” tambahnya.

Sebagai bentuk konkret komitmen pemerintah pusat terhadap penguatan perdamaian dan pembangunan di Aceh, YARA mendesak agar Menteri ESDM merevisi kebijakan tersebut.

“Kami meminta kepada Menteri ESDM agar merevisi suratnya tersebut, memberikan pengelolaan secara penuh kepada BPMA untuk pengelolaan migas sampai dengan 200 mil, bukan ‘dilibatkan’ dengan ‘belas kasihan’ SKK Migas,” tutup Safar.

Bahlil Perluas Kewenangan Migas Aceh, Kini Bisa Kelola Hingga 200 Mil Laut

0
Ilustrasi Blok Migas. (Foto: Pertamina)

NUKILAN.ID | Banda Aceh — Pemerintah Aceh kini memiliki ruang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi (migas). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi memperluas kewenangan Pemerintah Daerah Aceh hingga ke wilayah kerja laut 12 hingga 200 mil dari garis pantai.

Kebijakan ini tertuang dalam surat resmi bernomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tentang Pengelolaan Migas pada Wilayah Laut 12 Sampai 200 Mil dari Wilayah Kewenangan Aceh yang ditandatangani Bahlil pada 23 Oktober 2025. Surat tersebut ditujukan langsung kepada Gubernur Aceh dan menjadi tonggak baru dalam hubungan kerja sama Aceh–Pemerintah Pusat di sektor energi.

Selama ini, kewenangan Aceh dalam pengelolaan migas hanya mencakup wilayah laut hingga 12 mil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dengan adanya surat baru ini, ruang koordinasi dan kerja sama diperluas, memungkinkan Aceh ikut berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya migas di luar batas sebelumnya.

“Alhamdulillah, ini buah dari usaha bersama seluruh elemen Pemerintah Aceh, DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh), serta dukungan masyarakat Aceh,” kata Sekretaris Daerah Aceh, M Nasir, di Banda Aceh, Kamis (30/10), dikutip dari Antara.

Surat Menteri ESDM itu merupakan tindak lanjut dari surat Gubernur Aceh bertanggal 11 Maret 2025 yang berisi rekomendasi mengenai pengelolaan dan pengendalian kegiatan operasi hulu migas di atas 12 mil laut.

Melalui surat tersebut, Menteri ESDM menegaskan bahwa keikutsertaan Aceh dalam pengelolaan migas dapat dilakukan melalui kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

M Nasir menyebut keputusan ini sebagai capaian penting hasil perjuangan panjang Pemerintah Aceh dalam memperjuangkan hak daerah atas pengelolaan sumber daya alam.

“Ini berkat usaha bersama dan dukungan masyarakat Aceh yang terus mendorong agar kewenangan migas di luar 12 hingga 200 mil dapat menjadi bagian dari tanggung jawab bersama Aceh dan pusat,” ujarnya.

Langkah ini, lanjut Nasir, menjadi babak baru bagi Aceh dalam memperkuat peran daerah di sektor energi. Melalui mekanisme kerja sama dengan SKK Migas, Pemerintah Aceh melalui BPMA akan berperan dalam tiga bidang utama, yakni:

  1. Koordinasi dan penyampaian laporan kegiatan usaha hulu migas secara berkala.

  2. Keikutsertaan dalam kegiatan kehumasan dan fasilitasi perizinan.

  3. Penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD).

“Kami akan segera menindaklanjuti arahan Bapak Menteri ESDM untuk berkoordinasi dengan SKK Migas. Ini langkah maju yang tidak hanya memperkuat posisi Aceh, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas bagi pembangunan nasional,” ujar Nasir.

Ia menambahkan, seluruh pelaksanaan kerja sama tersebut akan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh.

“Ke depan, kami berharap sinergi ini dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui optimalisasi potensi migas,” tutupnya.

Dalam surat Menteri ESDM itu juga ditegaskan, kerja sama antara BPMA dan SKK Migas dilakukan sepanjang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kegiatan hulu migas serta mendukung peningkatan produksi nasional.

Mengatasi “Gagap Data” Perusahaan Indonesia dengan Six Sigma: Jalan Menuju Keunggulan Operasional

0
Zulfikri Dwi Sahputra - Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | OPINI – Berdasarkan riset Forrester Consulting untuk Dell Technologies yang diulas oleh media nasional, sebagian besar perusahaan di Indonesia kewalahan menangani perkembangan data yang sangat cepat. Alih-alih menjadi aset kompetitif, data justru menjadi beban. Hal ini memunculkan Paradoks Persepsi, dimana sekitar 69% responden Indonesia menyatakan perusahaan mereka mengutamakan data (data-driven), namun hanya 22% yang telah memanfaatkan data sebagai modal dan memprioritaskan penggunaannya di seluruh lini bisnis.

Disamping itu Kesiapan Digitalisasi Perusahaan di Indonesia cukup rendah, hal ini ditunjukan oleh 88% perusahaan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan signifikan, baik dari sisi teknologi, pemrosesan data, maupun budaya dan kemampuan mengelola data. Hanya 12% perusahaan yang masuk kategori “Data Champion” (perusahaan yang aktif dan memiliki budaya serta kemampuan mengelola data).

Masalah “Gagap Data” ini secara langsung memengaruhi kualitas operasional, mulai dari ketidakakuratan peramalan pasar, inefisiensi rantai pasok, hingga kegagalan dalam personalisasi layanan pelanggan. Intinya, proses bisnis perusahaan memiliki variasi yang tinggi dalam input data, analisis, dan output keputusan, yang berujung pada tingginya tingkat “cacat” atau kesalahan dalam operasional. Inilah mengapa metodologi Six Sigma menjadi solusi yang sangat relevan dan strategis.

Solusi Six Sigma: Mendefinisikan Ulang Kualitas Proses

Six Sigma adalah sebuah metodologi perbaikan proses yang terstruktur, didorong oleh data, dan berfokus pada upaya pengurangan variasi (kesalahan/cacat) dalam proses operasional bisnis untuk mencapai hasil yang hampir sempurna (hanya 3,4 cacat per satu juta peluang, atau Defects Per Million OpportunitiesDPMO).

Penerapan Six Sigma secara holistik dapat memberikan manfaat signifikan, terutama dalam konteks masalah data. Six Sigma secara intensif menggunakan alat statistik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan akar penyebab kesalahan dalam proses data, sehingga meningkatkan akurasi dan keandalan data serta keputusan yang dihasilkan.

Penyelesaian Masalah dengan Six Sigma (Metode DMAIC)

Untuk meningkatkan kualitas proses yang sudah ada, seperti proses pengelolaan data dan pengambilan keputusan, Six Sigma menggunakan kerangka kerja DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control).

Penyelesaian dapat dimulai dengan mendefinisikan (Define) secara spesifik “cacat” data, misalnya: “Tingginya persentase kesalahan data pelanggan yang menyebabkan kampanye pemasaran tidak efektif” atau “Keterlambatan 48 jam dalam pelaporan keuangan karena proses pengumpulan data manual.” Kemudian lakukan pengukuran (Measure) data aktual tentang cacat yang terdefinisi, dengan cara menghitung DPMO (Defects Per Million Opportunities) awal dari proses pengelolaan data.

Misalnya, mengukur berapa banyak data transaksi yang tidak akurat dari total data yang masuk (menghitung tingkat Sigma saat ini). Lalu lakukan analisis (Aanalyze) dengan menggunakan alat seperti Diagram Ishikawa (Fishbone), Peta Proses, dan analisis statistik untuk mengungkap mengapa data silo terjadi, mengapa ada skill gap, atau mengapa proses manual menyebabkan penundaan dan kesalahan. Misalnya, menemukan bahwa akar masalahnya adalah kurangnya Standar Operasional Prosedur (SOP) input data di berbagai departemen.

Kemudian lakukan peningkatan (Improve) dengan menerapkan solusi terstruktur. Contohnya seperti membuat standarisasi format dan protokol input data di seluruh departemen (menghilangkan silo), Mengimplementasikan pelatihan khusus Six Sigma dan data literacy untuk mengatasi skill gap, dan mengautomasi proses pengumpulan data yang sebelumnya manual (mengurangi variasi yang disebabkan manusia). Terakhir lakukan mekanisme kontrol (Control) dengan membuat sistem pengendalian. Contohnya seperti Menerapkan Control Chart untuk memantau tingkat akurasi data secara real-time, menetapkan SOP baru yang wajib dan prosedur audit data secara berkala dan Mentransfer tanggung jawab pemantauan proses yang diperbaiki kepada pemilik proses, memastikan keberlanjutan.

Six Sigma, Jembatan Menuju Kepemimpinan Data

Masalah “Gagap Data” yang dialami sebagian besar perusahaan Indonesia adalah cerminan dari inefisiensi operasional dan kurangnya kematangan dalam pengelolaan proses. Data-data sekunder menunjukkan bahwa tantangan ini adalah masalah sistemik, bukan sekadar masalah teknologi.

Metodologi Six Sigma, dengan pendekatan DMAIC yang sistematis dan berorientasi data, menawarkan peta jalan yang jelas untuk mengubah tantangan ini menjadi keunggulan kompetitif. Dengan memaksa perusahaan untuk mendefinisikan kualitas data yang kritikal, mengukur cacat saat ini, menganalisis akar masalah seperti skill gap dan data silo, meningkatkan dengan solusi terstruktur, dan mengontrol hasil perbaikan.

Six Sigma tidak hanya mengurangi variasi dan kesalahan data, tetapi juga menumbuhkan budaya keunggulan operasional yang diperlukan agar perusahaan Indonesia mampu bertransformasi menjadi “Data Champion” sejati di era digital. Kepemimpinan data, yang diawali dengan perbaikan proses melalui Six Sigma, adalah masa depan bisnis yang berkelanjutan.

Oleh: Zulfikri Dwi Sahputra dan Rahab (Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman)

Alumni IPB Aceh Gelar Musda 2025, Teguhkan Komitmen Bangun Aceh Berkelanjutan

0
Ir. M. Nasir, S. Hut, M. Si, Ketua Pelaksana MUSDA Himpunan Alumni IPB Aceh 2025. (Foto: For Nukilan)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) Wilayah Aceh akan menggelar Musyawarah Daerah (Musda) Tahun 2025 pada Sabtu, 1 November 2025, di Gedung Landmark BSI Aceh, Banda Aceh.

Agenda lima tahunan ini menjadi momentum penting bagi para alumni IPB di seluruh Aceh untuk memperkuat jejaring, memperbarui kepengurusan, dan merumuskan arah strategis kontribusi mereka terhadap pembangunan daerah.

Ketua Panitia Pelaksana, Ir. M. Nasir, S.Hut, M.Si, mengatakan bahwa Musda kali ini mengusung semangat kebersamaan dan kolaborasi lintas sektor.

“Alumni IPB memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan Aceh, terutama di bidang pertanian, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Melalui Musda ini, kita ingin memperkuat sinergi dan meneguhkan komitmen bersama untuk berkontribusi nyata bagi daerah,” ujar M. Nasir.

Musda 2025 juga akan dihadiri berbagai tokoh alumni yang kini berkiprah di beragam bidang, mulai dari pemerintahan, akademik, profesional, hingga sektor swasta dan politik.

Selain pembahasan laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya, agenda penting lainnya mencakup diskusi strategis tentang pembangunan Aceh berbasis sumber daya lokal, serta pemilihan pengurus baru HA IPB Wilayah Aceh periode 2025–2030.

Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat posisi alumni IPB sebagai mitra strategis pemerintah daerah dan masyarakat, khususnya dalam mewujudkan Aceh yang berdaya saing, mandiri, dan berkelanjutan.

Tonicko Anggara: Sumpah Pemuda Harus Jadi Spirit Persatuan Membangun Aceh Selatan

0
Tokoh muda Aceh Selatan, Tonicko Anggara. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97 tahun 2025, tokoh muda Aceh Selatan, Tonicko Anggara, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meneladani semangat persatuan yang diwariskan para pemuda 1928 dalam membangun daerah.

Menurutnya, Sumpah Pemuda merupakan “mahakarya monumental” yang melahirkan kesadaran kebangsaan dan menjadi titik awal perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

“Dari peristiwa itulah kita belajar, bahwa persatuan mampu mengantarkan bangsa ini mencapai cita-cita besarnya,” ujar Tonicko kepada Nukilan.id, Kamis (30/10/2025).

Tonicko menilai, semangat yang sama seharusnya juga hadir dalam konteks pembangunan di Aceh Selatan. Ia menyebut daerah ini memiliki keragaman lanskap, adat, sosial, dan budaya yang luar biasa, namun justru bisa menjadi potensi besar bila dikelola dalam bingkai persatuan.

“Aceh Selatan baru saja melewati masa politik dengan empat kandidat kepala daerah. Dalam situasi seperti ini, keberagaman pandangan itu wajar. Tapi kalau tidak dibarengi dengan persatuan yang konkret, justru bisa menjadi penghambat pembangunan,” tegasnya.

Tonicko mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh politik “pecah belah” yang sering dimanfaatkan pihak-pihak berkepentingan. Ia menilai stabilitas adalah kunci penting agar proses pembangunan dapat berjalan fokus dan lancar.

“Dengan stabilitas yang terjaga, kesejahteraan di Aceh Selatan bisa lebih mudah kita raih,” ujarnya menambahkan.

Lebih lanjut, ia mengajak seluruh elemen masyarakat — mulai dari pemerintah, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil — untuk bersama-sama mewujudkan Aceh Selatan Sejahtera. Persatuan, katanya, bukan berarti menghapus perbedaan, melainkan menyatukan keberagaman demi tujuan yang sama.

“Misalnya, mahasiswa bisa berperan aktif di sektor pendidikan, masyarakat membangun potensi ekonomi lokal, dan pemerintah memperkuat tata kelola pembangunan. Semua elemen harus bergerak bersama,” ungkapnya.

Tonicko juga menegaskan bahwa semangat persatuan tidak boleh dimaknai sebagai pengekangan terhadap oposisi. Dalam pandangannya, oposisi tetap dibutuhkan, asalkan bersifat konstruktif dan berorientasi pada kepentingan publik.

“Spirit Sumpah Pemuda mengajarkan kita untuk bersatu dalam perbedaan. Oposisi yang sehat justru memperkaya demokrasi, bukan menghancurkan cita-cita pembangunan Aceh Selatan,” kata Tonicko.

Menutup refleksinya, ia mengingatkan kembali bahwa sejarah Sumpah Pemuda telah membuktikan kekuatan persatuan mampu mengubah hal yang dulu dianggap mustahil.

“Jika pemuda 1928 bisa melahirkan kemerdekaan, maka generasi hari ini juga bisa melahirkan Aceh Selatan yang sejahtera, asalkan kita bersatu,” pungkasnya. (XRQ)

Reporter: Akil

Wagub Fadhlullah Cari Solusi Buntu Pembebasan Lahan Tol Sigli–Banda Aceh

0
Ilustrasi jalan tol Sigli-Banda Aceh. (Foto: Dok. Hutama Karya)

NUKILAN.ID | SIGLI – Proyek pembangunan Jalan Tol Sigli–Banda Aceh kembali menemui hambatan. Kali ini, persoalan muncul di seksi Padang Tiji–Seulimuem yang hingga kini belum sepenuhnya terbebas akibat belum tuntasnya pembayaran ganti rugi lahan dan tanam tumbuh masyarakat.

Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, turun langsung ke lapangan pada Rabu (29/10/2025) untuk meninjau sejumlah titik kawasan garapan warga yang masih bermasalah. Peninjauan itu dilakukan sebelum ia menggelar pertemuan bersama pemilik lahan di Warkop SPBU Gintong, Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie.

Dalam kunjungannya, Fadhlullah mendapati berbagai informasi baru terkait kendala pembebasan lahan yang sebelumnya belum pernah dilaporkan kepadanya. Ia kemudian mendengarkan langsung keluhan masyarakat yang merasa belum memperoleh keadilan dalam proses ganti rugi.

“Hari ini kami hadir lengkap dengan semua pihak terkait, kami ingin mencari solusi terbaik agar pembangunan tol di seksi Padang Tiji–Seulimuem yang sudah terkendala selama dua tahun bisa segera terselesaikan,” ujar Fadhlullah.

Usai dialog dengan masyarakat, Fadhlullah menegaskan akan menindaklanjuti persoalan tersebut melalui rapat lanjutan bersama pemerintah pusat. Ia berencana mempertemukan langsung masyarakat dengan perwakilan Kementerian Kehutanan, Kementerian PUPR, Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta melibatkan Kejaksaan Agung. Rapat dijadwalkan berlangsung pada Kamis (30/10/2025).

Sementara itu, Project Director Tol Sibanceh PT Hutama Karya, Slamet, menjelaskan, tol seksi Padang Tiji–Seulimuem masih menyisakan pekerjaan berupa pembangunan empat akses perlintasan tidak sebidang dan perbaikan tiga lereng tegak untuk memenuhi uji kelayakan fungsional.

“Pekerjaan itu berada di 22 bidang tanah prioritas yang belum selesai ganti rugi tanam tumbuhnya,” ungkap Slamet.

Camat Padang Tiji, Asriadi, merinci, kawasan tanaman tumbuh yang dilintasi proyek tol berada di dua gampong, yakni Pulo Hagu dan Jurong Cot Paloh. Di Gampong Pulo Hagu, dari 191 persil tanah, 23 di antaranya sudah dibayar, 60 telah menandatangani berkas namun belum menerima pembayaran, sementara sisanya menolak. Di Gampong Jurong Cot Paloh, dari 49 persil, 19 telah dibayar, 15 sudah teken namun belum dibayar, dan sisanya belum menyetujui pembebasan.

Salah satu pemilik lahan, Ayah Musa Ibrahim, mengaku menolak pembebasan karena harga yang ditawarkan pemerintah dinilai terlalu rendah.

“Harga per meter tanah kami dihargai Rp10 ribu, Rp7 ribu per meter bahkan ada yang satu persil dinilai hanya Rp17 ribu,” keluh Ayah Musa.

Ia menambahkan, dirinya telah mengelola lahan tersebut sejak tahun 1980-an. “Kami punya peta yang diteken Bupati Diah Ibrahim yang saat itu kawasan tersebut kami gunakan untuk peternakan,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Kejaksaan Negeri Pidie, Suhendra, menegaskan bahwa penetapan harga tanaman tumbuh tidak dilakukan secara asal.

“Penetapan harga tanaman tumbuh oleh pemerintah bukan berdasarkan kira-kira. Tapi ada draft ketentuan harganya yang didasari lokasi tanah dan jenis tanaman tumbuh,” jelasnya.

Pertemuan yang digagas oleh Wakil Gubernur Aceh itu juga dihadiri oleh Pangdam Iskandar Muda Mayjen Joko Hadi Susilo, Wakil Bupati Pidie Alzaizi, unsur Forkopimda Aceh dan Pidie, Danrem Lilawangsa, Asisten I Sekda Aceh, para kepala SKPA, Kepala Biro terkait, serta Kepala BPN Pidie.

Dua geuchik dari gampong yang terdampak proyek juga turut hadir, yakni Geuchik Pulo Hagu Edi Safriadi dan Geuchik Jurong Cot Paloh Anwar. Kehadiran mereka diharapkan dapat mempercepat penyelesaian konflik lahan yang telah menghambat proyek strategis nasional tersebut selama dua tahun terakhir.