Beranda blog Halaman 187

Remaja di Meulaboh Diserang Buaya saat Berenang di Sungai Krueng Meureubo

0
Ilustrasi Buaya. (Foto: Republika)

NUKILAN.ID | MEULABOH – Seorang remaja berusia 15 tahun bernama Rafa mengalami luka serius setelah diserang seekor buaya saat sedang berenang bersama teman-temannya di Sungai Krueng Meureubo, Desa Pasi Teungoh, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat, Rabu, 25 Juni 2025.

Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 17.40 WIB. Tanpa diduga, seekor buaya muncul dari sungai dan langsung menerkam Rafa. Teman-temannya yang panik segera menyelamatkan diri ke daratan, sementara Rafa harus berjuang keras melepaskan diri dari cengkeraman buaya tersebut.

Beruntung, Rafa berhasil lolos meski mengalami luka cukup parah. Ia segera dievakuasi dan mendapatkan perawatan intensif di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh. Luka-luka terlihat jelas pada betis kanan dan bagian pinggang akibat gigitan buaya.

“Luka-luka pada betis kanan dan di bagian pinggang. Insyaallah kini mulai membaik. Semoga cepat sembuh,” ujar Kepala Desa Pasi Teungoh, Irwandi, pada Minggu, 29 Juni 2025.

Warga setempat mengungkapkan bahwa buaya memang kerap terlihat di aliran Sungai Krueng Meureubo. Setidaknya terdapat empat ekor buaya yang sering muncul dan menimbulkan kekhawatiran warga.

Saat ini, warga menjadi takut untuk mendekati sungai, meski sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut menggantungkan hidupnya dari aktivitas di sekitar sungai, seperti mencari ikan atau mandi.

Masyarakat berharap agar pemerintah dan pihak berwenang dapat segera mengambil langkah untuk menangani keberadaan buaya liar tersebut, guna mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.

Editor: AKil

Menteri Abdul Mu’ti Soroti Kesenjangan dan Ajak Aceh Jadi Pelopor Pendidikan Berbasis Karakter

0
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd, didampingi Kadisdik Aceh, Marthunis ST DEA dan Plt Sekda Aceh, M Nasir SIP MPA saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. (Foto: Disdik)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, menekankan pentingnya pemerataan akses pendidikan dan penguatan karakter dalam sistem pendidikan, khususnya di Aceh. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Aceh yang digelar di Aula Dinas Pendidikan Aceh, Sabtu malam, 28 Juni 2025.

Dalam paparannya, Mu’ti menyebut bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, ia menegaskan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan bermutu, tanpa terkecuali.

“Tidak boleh ada satu pun anak Indonesia yang tidak mendapat pendidikan hanya karena miskin atau tinggal di pelosok. Keadilan akses dan kualitas adalah dua fondasi utama yang harus diwujudkan,” tegas Mu’ti di hadapan para kepala dinas, pimpinan lembaga pendidikan, hingga perwakilan organisasi profesi.

Mu’ti turut menyoroti kesenjangan mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Aceh. Menurutnya, transformasi pembelajaran harus dilakukan, bukan hanya untuk mengejar nilai semata, tetapi juga demi membentuk pemahaman yang mendalam.

“Anak-anak kita hari ini menghadapi distraksi tinggi. Mereka butuh metode belajar yang melibatkan emosi, kebiasaan, dan kedekatan sosial,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Mu’ti juga memperkenalkan konsep tujuh kebiasaan baik yang dapat diterapkan oleh para pelajar untuk membangun karakter dan kesehatan mental. Ketujuh kebiasaan tersebut adalah: tidur tepat waktu, bangun pagi, ibadah rutin, olahraga, makan sehat, rajin belajar, dan aktif bersosialisasi.

“Budaya malas gerak dan kecanduan gawai harus dilawan dengan pembiasaan hidup sehat dan aktif,” tambahnya.

Ia juga menekankan peran strategis guru dalam membangun karakter siswa, termasuk guru bimbingan konseling (BK) yang selama ini kerap disalahartikan.

“Selama ini guru BK sering dimaknai sebagai ‘guru hukuman’. Padahal mereka harus menjadi pembimbing yang dekat dan menginspirasi siswa,” jelasnya.

Selain itu, Mu’ti juga menyampaikan sejumlah agenda nasional yang tengah disiapkan Kementerian, seperti penguatan kurikulum, pelatihan guru, pengembangan teknologi pembelajaran interaktif, hingga program revitalisasi sekolah.

Ia optimistis Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor pendidikan berbasis karakter, mengingat kekayaan budaya dan nilai-nilai religius yang kuat.

“Saya yakin Aceh mampu menjadi pelopor pendidikan berbasis karakter, karena daerah ini punya akar budaya dan nilai religius yang kuat. Tinggal bagaimana kita bersama-sama menyusun langkah dan komitmen nyata,” pungkasnya.

Seminar berlangsung dalam suasana interaktif, dengan sesi tanya jawab yang membuka ruang diskusi antara peserta dan Menteri Mu’ti. Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, S.T., D.E.A., turut memfasilitasi jalannya dialog tersebut.

Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, antara lain Plt. Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, S.IP, para pejabat Eselon III dan IV, serta kepala lembaga pendidikan seperti BPMP, BGTK, dan Balai Bahasa. Turut hadir pula kepala dinas pendidikan kabupaten/kota se-Aceh, anggota legislatif, dan perwakilan organisasi profesi seperti PGRI, IGI, KOBAR-GB, MKKS, dan MKPS dari seluruh Aceh.

Editor: AKil

Pemerintah Aceh Dorong Transformasi Pendidikan Lewat Sekolah Unggulan dan Regulasi Sosial

0
Plt. Sekda Aceh, M. Nasir, S.IP. MPA, menyampaikan sambutan pada Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Aceh di Aula Dinas Pendidikan Aceh. (Foto: Disdik).

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Komitmen Pemerintah Aceh dalam meningkatkan mutu pendidikan kembali ditegaskan melalui penyelenggaraan Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Aceh yang berlangsung di Aula Dinas Pendidikan Aceh, Sabtu (28/6/2025).

Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, S.IP., MPA., dalam sambutannya menyampaikan bahwa pemerintah daerah tengah menggagas pembangunan Sekolah Keunggulan Garuda di Kecamatan Kota Malaka, Aceh Besar. Lahan seluas 25 hektar telah disiapkan untuk mewujudkan sekolah berbasis kecerdasan intelektual, karakter, serta nilai-nilai kebangsaan dan keislaman.

“Saya sudah melihat konsep Sekolah Garuda, sangat luar biasa. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal integritas pendidik dan ekosistem pendidikan yang sehat,” ujar M. Nasir di hadapan peserta seminar.

Selain membahas pengembangan infrastruktur pendidikan, M. Nasir juga menyinggung persoalan sosial yang dinilai memengaruhi kualitas pendidikan, salah satunya kebiasaan pelajar nongkrong di warung kopi hingga larut malam. Ia menyebut perlunya regulasi yang lebih tegas guna menjaga pelajar dari lingkungan yang tidak kondusif.

“Pelajar di bawah umur yang ngopi di kedai pukul 2 pagi itu sangat meresahkan. Kami sedang menjajaki penguatan regulasi, mungkin dalam bentuk ingub (intruksi gubernur),” tegasnya.

Seminar ini turut menghadirkan narasumber utama, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. M. Nasir berharap kegiatan ini menjadi momentum mempererat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan di Aceh.

“Kami terbuka terhadap arahan dan dukungan kementerian agar transformasi pendidikan benar-benar menyentuh hingga ke pelosok-pelosok Aceh,” pungkasnya.

Acara ini dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, S.T., D.E.A., bersama jajaran pejabat eselon III dan IV. Hadir pula sejumlah kepala lembaga seperti BPMP, BGTK, dan Balai Bahasa, serta para Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota se-Aceh. Tak ketinggalan perwakilan legislatif dan organisasi profesi seperti Ketua Komisi VI DPRA, Ketua PGRI, IGI, KOBAR-GB, MKKS, dan MKPS dari seluruh wilayah Aceh.

EDITOR: AKIL

Ketum Asprindo Ingatkan: Pengusaha Bumiputera Jangan Ditinggalkan!

0
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo), Jose Rizal. (Foto: For Nukilan)

NUKILAN.ID | PALU – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo), Jose Rizal, menegaskan pentingnya peran serta pengusaha lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah. Menurutnya, lima tahun ke depan merupakan periode krusial bagi kiprah pengusaha Bumiputera dalam menghadapi dinamika ekonomi dan politik nasional.

Hal itu disampaikan Jose seusai melantik pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asprindo Provinsi Sulawesi Tengah periode 2025–2030, di Swiss-Belhotel Palu, Kamis (27/6/2025).

Jose menyoroti maraknya dominasi pengusaha besar dan asing dalam penguasaan sumber daya alam di daerah, yang menurutnya menyingkirkan peran pengusaha lokal.

“Soal isu sumber daya alam yang dikeruk oleh pengusaha pendatang, soal ketenagakerjaan, dan hal-hal lainnya yang seluruhnya menempatkan masyarakat setempat sekadar sebagai penonton,” ujarnya.

Menurut Jose, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi besar, khususnya di sektor pertambangan seperti nikel, emas, tembaga, dan bauksit. Karena itu, ia mendorong agar anggota Asprindo tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga mampu mengambil peran aktif dalam industri yang berkembang di wilayahnya.

“Jika hingga lima tahun ke depan, pengusaha lokal tidak bisa menjadi bagian dari industri di wilayahnya, maka mungkin selamanya tidak akan pernah bisa,” tegasnya.

Namun demikian, Jose menilai pengusaha lokal membutuhkan dukungan konkret dari pemerintah, terutama dari sisi kebijakan dan keberpihakan politik. Ia menekankan perlunya antitesis terhadap kebijakan ekonomi yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu.

“Pemerintah juga mestinya memanfaatkan momentum ini untuk menciptakan antitesis dari kebijakan ekonomi sebelumnya. Saatnya pemerintah menunjukkan kesungguhan dan keberpihakan pada pengusaha Bumiputera, dan membuktikan bahwa mereka tidak sedang bekerja untuk oligarki,” katanya.

Ia menambahkan bahwa Asprindo tidak memusuhi kehadiran pengusaha besar maupun asing. Namun, menurutnya, kolaborasi dan keterlibatan pengusaha lokal harus menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah.

“Tapi saya ingin mereka tidak meninggalkan pengusaha lokal. Saya memimpikan pemilik tambang di sini bukan hanya perusahaan asing atau pengusaha-pengusaha kakap dari Jakarta. Pengusaha lokal juga harus menjadi pemilik tambang. Atau minimal anggota Asprindo diajak bekerjasama dengan perusahaan pendatang,” imbuhnya.

Dalam pelantikan yang turut dihadiri Ketua Dewan Pembina Asprindo, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jose Rizal secara resmi melantik Shisy Usharnaningsih sebagai Ketua DPW Asprindo Sulawesi Tengah untuk masa bakti 2025–2030.

Editor: Akil

Dr. Masrizal Tekankan Peran Negara dan Masyarakat dalam Mengawal Dunia Pendidikan

0
Sosiolog Beberkan Alasan
Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK, Dr. Masrizal. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Beberapa waktu lalu, kasus yang menimpa Khairul Halim, seorang petani cabai di Banda Aceh yang gagal menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah negeri karena diminta membayar biaya daftar ulang, tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga membuka ruang refleksi sosial yang sangat luas.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang relasi negara, struktur pendidikan, serta peran masyarakat sipil dalam menjamin keadilan akses pendidikan.

Untuk menggali berbagai dimensi di balik peristiwa ini, pada Minggu (29/6/2025) Nukilan.id mewawancarai Dr. Masrizal, seorang sosiolog dari Aceh. Ia menyoroti pentingnya kehadiran negara secara aktif dalam menjamin hak pendidikan warga, bukan hanya saat muncul masalah.

“Negara tidak boleh hadir hanya ketika ada persoalan, namun negara harus hadir secara aktif. Jangan hanya muncul ketika ada masalah,” kata Dr. Masrizal dengan nada kritis.

Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki mekanisme pencegahan yang sistematis dan berkelanjutan, bukan hanya reaktif. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan oleh instansi terkait seperti Dinas Pendidikan.

“Pemerintah, dalam hal ini seperti dinas pendidikan, seharusnya rutin melakukan edukasi ke sekolah-sekolah dan membuat aturan yang jelas sebagai acuan. Jadi, sekolah tidak sembarangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut dana,” ujarnya.

Namun, tidak hanya negara yang bertanggung jawab. Dr. Masrizal juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan dan praktik-praktik pendidikan. Menurutnya, masyarakat tidak boleh diam ketika melihat ketimpangan terjadi.

“Di sisi lain, masyarakat sipil juga punya peran penting. Dalam kasus seperti yang dialami Khairul Halim, misalnya, perlu ada upaya advokasi bersama untuk melawan praktik pungutan liar di sekolah,” katanya lagi.

Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK tersebut menambahkan, di era digital seperti saat ini, masyarakat memiliki lebih banyak kanal untuk menyuarakan ketidakadilan. Petisi daring, kampanye media sosial, dan platform pengaduan publik bisa menjadi alat perjuangan yang efektif.

“Sekarang ini, bisa juga lewat jalur digital seperti membuat petisi online agar praktik-praktik semacam itu bisa dikontrol dan diawasi,” tambahnya.

Lebih jauh, sosiolog ini menggarisbawahi bahwa perjuangan bersama harus diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil, transparan, dan melindungi hak-hak peserta didik serta wali murid.

“Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa tidak ada penyelewengan, dan hak-hak siswa maupun wali murid terlindungi,” ujarnya tegas.

Ia menutup pernyataannya dengan penegasan bahwa kehadiran masyarakat sipil bukan pelengkap, melainkan elemen krusial dalam menciptakan sistem pendidikan yang berpihak kepada rakyat kecil.

“Kehadiran masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa akses pendidikan benar-benar merata dan bebas dari pungutan yang tidak dibenarkan,” pungkasnya.

Pernyataan Dr. Masrizal ini memberikan gambaran bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang adil, diperlukan kolaborasi aktif antara negara dan masyarakat.

Kasus Khairul Halim bukanlah sekadar kisah individu, melainkan refleksi dari sistem yang harus terus diperbaiki agar tidak semakin menjauhkan rakyat kecil dari hak dasar mereka: pendidikan. (XRQ)

Reporter: Akil

Sosiolog Aceh: Budaya ‘Nrimo’ Jadi Pemicu Suburnya Pungli di Sekolah

0
sisiolog aceh
Sosiolog Aceh, Dr. Masrizal. (Foto: Dok. Pribadi)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Kasus yang menimpa Khairul Halim, seorang petani cabai di Banda Aceh, bukan hanya menyita perhatian publik, tetapi juga memantik diskusi panjang tentang akses pendidikan yang adil dan bersih dari praktik pungutan liar.

Khairul menjadi sorotan setelah ia gagal menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah negeri lantaran diminta membayar biaya daftar ulang. Padahal, sebagai petani kecil, penghasilan Khairul sangat terbatas dan tidak cukup untuk menutupi biaya tersebut.

Setelah kasus ini viral di media sosial, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh mencatat lonjakan laporan serupa dari masyarakat. Tercatat, sebanyak 49 aduan dugaan pungutan liar diterima dari sejumlah madrasah di Banda Aceh, baik di tingkat ibtidaiyah maupun tsanawiyah.

Sebagai respon atas sorotan publik, beberapa madrasah akhirnya mengambil langkah korektif. Mereka mulai mengembalikan uang pungutan kepada para wali murid, sebuah tindakan yang diharapkan menjadi awal dari perbaikan tata kelola pendidikan negeri.

Kasus ini membuka ruang refleksi sosial yang lebih luas tentang bagaimana pungutan yang seharusnya tidak terjadi di institusi pendidikan negeri masih terus berlangsung dan bahkan dianggap hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat.

Menanggapi kasus ini, Dr. Masrizal, seorang sosiolog Aceh, menyoroti masih adanya budaya ‘nrimo’ atau pasrah di tengah masyarakat yang kerap kali menjadi penghalang lahirnya keberanian untuk menolak praktik pungutan liar.

“Soal budaya ‘nrimo’ atau menerima saja tanpa banyak protes, saya pikir bisa jadi masih ada dalam masyarakat kita. Tapi ini tidak berlaku bagi keluarga miskin,” ungkapnya kepada Nukilan.id pada Minggu (29/6/2025).

Menurutnya, keluarga dengan kondisi ekonomi lemah tidak punya ruang untuk sekadar “nrimo”. Pungutan liar yang dilakukan oleh sekolah-sekolah justru menjadi beban berat yang memperparah ketimpangan akses pendidikan bagi kelompok miskin.

“Bagaimana mungkin mereka bisa ‘nrimo’, sementara untuk makan saja mereka kesulitan? Justru di kalangan masyarakat kurang mampu, pungutan seperti itu menjadi beban berat,” lanjut Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK tersebut.

Dalam kasus ini, ia menekankan pentingnya peran komite sekolah dalam menjaga transparansi dan keadilan dalam setiap kebijakan yang menyangkut dana pendidikan. Komite sekolah semestinya bukan sekadar formalitas, melainkan benar-benar menjadi jembatan yang efektif antara pihak sekolah dan para wali murid.

“Di sinilah fungsi komite sekolah menjadi krusial, sebagai jembatan antara sekolah dan orang tua. Jangan sampai sekolah bertindak sepihak, tanpa melibatkan komite,” tegasnya.

Lebih jauh, ia juga mengingatkan bahwa komite sekolah tidak boleh pasif. Komite harus aktif dalam menyampaikan informasi dan melakukan sosialisasi kepada para wali murid, terutama terkait tujuan dan penggunaan dana yang dikumpulkan.

“Komite juga harus aktif mensosialisasikan kepada para orang tua mengenai tujuan dan kegunaan dana tersebut,” pungkasnya.

Ia menambahkan, komunikasi terbuka dan edukasi kepada pihak sekolah sangat diperlukan agar tidak timbul kesan negatif di tengah masyarakat.

“Itulah sebabnya, komite sekolah juga harus mengedukasi pihak sekolah agar transparan dan akuntabel dalam mengelola dana. Jangan sampai ada kesan bahwa uang wali murid tidak dikelola dengan baik,” tutupnya.

Fenomena seperti yang dialami Khairul Halim semestinya menjadi momentum bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh ekosistem pendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh.

Pendidikan negeri, yang seharusnya menjadi ruang pemerataan kesempatan, justru tidak boleh menjadi ladang diskriminasi sosial yang terselubung dalam bentuk pungutan yang tidak jelas dasar hukumnya. (XRQ)

Reporter: Akil

Kasus Petani Cabai dan Pungutan PPDBM: Bukti Kesenjangan Akses Pendidikan

0
petani cabai
Ilustrasi. (Foto: AI)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kasus yang menimpa Khairul Halim, seorang petani cabai di Banda Aceh, menyita perhatian publik setelah ia gagal menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah negeri lantaran diminta membayar biaya daftar ulang oleh pihak sekolah. Kisah Khairul yang viral di media sosial ini pun memantik reaksi keras dari Ombudsman Republik Indonesia (RI) Perwakilan Aceh.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, menegaskan bahwa madrasah negeri dilarang memungut biaya dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru Madrasah (PPDBM) maupun saat daftar ulang.

Ia menjelaskan bahwa seluruh biaya pendidikan pada tahap tersebut seharusnya ditanggung melalui anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) yang sudah dialokasikan dalam DIPA tahun anggaran berjalan.

Tak hanya itu, Dian juga menyoroti peran Komite Madrasah yang menurut aturan tidak dibenarkan melakukan pungutan tertentu, termasuk praktik penjualan buku dan seragam sekolah kepada wali murid.

Kasus Khairul ini rupanya menjadi pemantik bagi para orang tua murid lain untuk bersuara. Sejak mencuat ke publik, Ombudsman RI Perwakilan Aceh menerima setidaknya 49 laporan dugaan pungutan liar di sejumlah madrasah negeri di Banda Aceh, baik di tingkat ibtidaiyah maupun tsanawiyah. Sebagai dampak dari tekanan publik dan evaluasi Ombudsman, sejumlah madrasah mulai mengembalikan uang pungutan kepada wali murid.

Namun, di balik polemik tersebut, ada pertanyaan yang lebih dalam, mengapa praktik pungutan masih terjadi meski sudah dilarang oleh regulasi? Untuk menggali aspek sosial dan struktural dari fenomena ini, Nukilan.id mewawancarai Dr. Masrizal, seorang sosiolog Aceh dari Universitas Syiah Kuala.

Menurutnya, persoalan seperti ini tidak bisa hanya dilihat sebagai pelanggaran administratif, tetapi perlu diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu hubungan antara pendidikan dan kemiskinan.

“Pendidikan itu merupakan jalan untuk mengubah status sosial seseorang, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin. Mengapa? Karena melalui pendidikan, seseorang punya peluang untuk meningkatkan taraf hidupnya,” ungkap Dr. Masrizal pada Minggu (29/6/2025)

Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK ini juga menegaskan bahwa pendidikan adalah kunci mobilitas sosial, namun jalan menuju ke sana sering kali dihambat oleh realitas sistemik yang belum sepenuhnya berpihak pada kelompok miskin.

“Namun, akses pendidikan sering kali terganjal oleh hal-hal seperti pungutan di sekolah, padahal sekarang sudah ada aturan negara yang melarang pungutan tersebut,” lanjutnya.

Meski regulasi telah disusun dengan tujuan untuk melindungi siswa dari keluarga tidak mampu, dalam praktiknya banyak kebijakan pendidikan yang belum menyentuh akar persoalan di lapangan. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan atau budaya yang sudah lama terbentuk dalam sistem sekolah.

“Tapi, dalam praktiknya, perubahan seperti ini tidak bisa langsung terjadi, karena ada kebiasaan—habit—yang sudah terbentuk di sekolah,” jelasnya.

Menurut Masrizal, pungutan tidak serta-merta harus dianggap salah secara mutlak. Namun, kuncinya terletak pada transparansi dan komunikasi yang sehat antara pihak sekolah dan orang tua siswa.

“Menurut saya, sebetulnya pungutan itu bukan sesuatu yang sepenuhnya salah atau berlebihan. Yang paling penting justru transparansi dari pihak sekolah kepada wali murid,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa ketika pihak sekolah memberikan penjelasan yang logis, rasional, dan proporsional mengenai keperluan dana tambahan tersebut, masyarakat umumnya dapat memahami dan menerima.

“Sekolah perlu menjelaskan dengan terbuka untuk apa dana itu digunakan, dan bagaimana proporsionalitasnya. Yang tidak boleh adalah membebani wali siswa secara sepihak, tanpa penjelasan yang logis,” katanya.

Ia yakin bahwa apabila sekolah mampu membangun komunikasi yang rasional dan jujur, masyarakat akan memberikan pengertian. Warga, terutama dari kalangan ekonomi lemah, pada dasarnya memiliki kesadaran kolektif terhadap pentingnya pendidikan.

“Kalau penjelasannya rasional dan masuk akal, orang tua siswa umumnya bisa menerima. Secara sosiologis, mereka akan memahami. Karena itu, penting bagi sekolah untuk terbuka,” tegasnya.

Kasus Khairul Halim tidak sekadar menjadi kabar viral di media sosial, tetapi juga menjadi cermin ketimpangan akses pendidikan di tengah semangat pemerataan yang terus digaungkan.

Negara, sekolah, dan masyarakat dituntut untuk bersinergi—bukan hanya dalam bentuk kebijakan, tetapi juga dalam empati sosial—agar tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan kesempatan pendidikan hanya karena tak mampu membayar daftar ulang. (XRQ).

Reporter: Akil

Tanah Blang Padang di Persimpangan Sejarah

0
Tanah Blang Padang. (Foto: Kabar Aceh)

Nukilan | Banda Aceh – Di tengah hamparan hijau yang luas di pusat Kota Banda Aceh, Lapangan Blang Padang berdiri sebagai salah satu ruang terbuka paling ikonik di ibu kota provinsi Aceh. Namun, di balik fungsi publik dan seremonialnya, lapangan ini menyimpan persoalan panjang yang belum kunjung usai: konflik status tanah antara Pemerintah Aceh dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Di tahun 2025 ini, polemik itu mencuat kembali. Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem, secara resmi menyurati Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, meminta agar tanah Blang Padang dikembalikan sebagai tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman, sesuai dengan sejarah panjang yang tercatat sejak era Kesultanan Aceh.

Surat permohonan resmi itu tertuang dalam dokumen bernomor 400.8/7180, tertanggal 17 Juni 2025. Dalam surat tersebut, Gubernur Mualem secara tegas menyatakan bahwa status tanah Blang Padang semestinya dikembalikan kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman, karena tanah tersebut merupakan bagian dari wakaf Sultan Iskandar Muda yang telah ada sejak abad ke-17.

Tanah Wakaf dalam Sejarah Aceh

Polemik tanah Blang Padang tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Kesultanan Aceh. Tanah ini dikenal dalam tradisi lokal dengan sebutan Umong Meusara, yang berarti sawah atau ladang wakaf untuk kepentingan masjid. Dalam sistem pemerintahan Islam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M), tanah ini diperuntukkan untuk menopang operasional Masjid Raya Baiturrahman, termasuk gaji bagi imam, khatib, dan muazin.

“Tulisan van Langen dan Snouck Hurgronje menjadi bukti historis yang kuat bagi klaim bahwa Blang Padang (dan Blang Punge) secara historis adalah tanah wakaf Kesultanan Aceh untuk Masjid Raya Baiturrahman,” ujar Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, dosen antropologi dari Universitas Malikussaleh (Unimal), Lhokseumawe, dalam keterangannya kepada Acehlive, Jumat (27/6/2025).

Al Chaidar mengacu pada buku sejarah klasik karya K.F.H. Van Langen (1888) berjudul De Inrichting Van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat, yang menyebut bahwa Sultan Iskandar Muda mewakafkan Blang Padang bersama Blang Punge untuk kepentingan Masjid Raya Baiturrahman.

Bukti Peta dan Arsip Kolonial

Sejumlah arsip dan dokumen kuno mendukung klaim Pemerintah Aceh atas status tanah ini. Peta Koetaradja tahun 1915 serta Peta Blad Nomor 310 tahun 1906 menunjukkan bahwa Blang Padang adalah bagian dari aloen-aloen atau alun-alun Kesultanan Aceh, bukan area militer kolonial.

Bahkan dalam peta militer Belanda bertajuk Kaart Van Onze Tegenwoorddige Positie Op Atjeh tahun 1875—yang menggambarkan posisi Belanda di wilayah Aceh—ditunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Banda Aceh kala itu sudah ditandai bendera Belanda, kecuali tiga titik: reruntuhan Masjid Raya Baiturrahman, Blang Padang, dan Blang Punge.

Selain dokumen sejarah, laporan audit resmi dari negara turut memperkuat klaim wakaf tersebut. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh Nomor 22.A/LHP/XVIII.BAC/05/2024 menyatakan bahwa tanah Blang Padang dulunya dibeli oleh Sultan dari rakyat, kemudian diwakafkan kepada Masjid Raya Baiturrahman.

Menariknya, sebagian dari tanah wakaf Sultan Iskandar Muda di lokasi Blang Punge telah memiliki sertifikat tanah wakaf resmi seluas 7.784 meter persegi. Di atasnya kini berdiri rumah imam Masjid Raya, lembaga pendidikan (MAS dan MTsS Darus Syariah), dan fasilitas siaran dakwah Radio Baiturrahman. Sertifikat ini menjadi preseden hukum yang bisa dijadikan rujukan untuk memperjelas status Blang Padang.

Di sisi lain, pihak TNI AD, khususnya Kodam Iskandar Muda, menyatakan bahwa Lapangan Blang Padang adalah area dengan hak pakai TNI berdasarkan Surat Keputusan Presiden dari era 1960-an. Pernyataan ini dikutip dari laporan Acehtrend, dan menjadi dasar legalitas militer atas tanah yang kini digunakan untuk berbagai kegiatan negara, termasuk upacara HUT RI, latihan militer, dan kegiatan lainnya.

Menteri Agama RI, Prof Nazaruddin Umar, memberikan pernyataan yang menjadi angin segar bagi masyarakat Aceh. Dalam pertemuan dengan Pembina Sekber Gabungan Prabowo–Mualem–Dek Fadh, Tgk Zulfikar Syihabuddin, Sabtu (28/6/2025), ia menegaskan bahwa pengelolaan tanah wakaf hanya sah jika dilakukan oleh nazir yang sah menurut hukum Islam dan negara.

Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Gubernur Aceh. Ia mengatakan DPR Aceh siap mengambil langkah-langkah lanjutan jika pemerintah pusat tidak merespons secara cepat.

“Sudah pasti langkah itu kita dukung. Bisa jadi, nantinya ada opsi dan respon politik dari DPR Aceh untuk memperkuat rencana Mualem,” ujar Zulfadhli, dikutip Anterokini, Jumat, (27/6/2025).

Senada dengan itu, mantan anggota DPRA Fraksi Partai Aceh, Tgk Muhammad Yunus pada 2022 lalu mengatakan bahwa pengabaian terhadap status tanah ini dapat memicu keresahan sosial.

“Dalam sejarah, Blang Padang itu disebut dengan Umong Meusara. Umong Meusara dalam bahasa Aceh itu tanah wakaf yang dikhususkan untuk Masjid Raya Baiturrahman, untuk kepentingan khatib masjid, imam masjid, dan muazin,” ungkap Tgk Muhammad Yunus dalam sidang paripurna beragendakan pendapat akhir Gubernur Aceh, dikutip dari Acehinfo, Jumat (23/9/2022).

Dalam surat resminya, Gubernur Aceh menyampaikan empat permintaan kepada Presiden Prabowo untuk mengembalikan status Blang Padang sebagai tanah wakaf Masjid Raya, menyerahkan pengelolaannya kepada nazir yang sah, memfasilitasi proses sertifikasi wakaf, dan mendorong koordinasi antar instansi secara bermartabat dan transparan. Mualem juga menekankan bahwa permintaan ini tidak semata-mata untuk kepentingan birokratis, melainkan demi menjaga keutuhan sejarah dan marwah umat Islam di Aceh.

Dosen Antropologi Unimal, Lhokseumawe, Al Chaidar Abdurrahman Puteh optimis tanah wakaf Blang Padang akan Kembali kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hal tersebut berdasarkan lampu hijau yang diberikan oleh Menteri Agama sendiri, Prof Nazaruddin Umar.

“Ini ada proses berikutnya yang harus dilakukan oleh gubernur, yaitu bagaimana keputusan dari Presiden Prabowo Subianto nantinya. Jika presiden sudah memutuskan misalnya tanah tersebut kembali kepada Masjid Raya atau tidak. Kalau presiden yang mengeluarkan titah (dikembalikan), itu sudah pasti akan diikuti oleh TNI,” ujar Al Chaidar saat dihubungi Nukilan, Minggu (29/6/2025).

Dia menambahkan, tanah tersebut bagaimana pun merupakan tanah wakaf, sehingga memiliki dasar hukum yang kuat untuk dikembalikan kepada Masjid Raya Baiturrahman, sehingga masyarakat Aceh tak menggugat lagi perihal kepemilikan tanah tersebut dan status tanah tersebut menjadi jelas.

Polemik Blang Padang mencerminkan betapa kompleksnya benturan antara narasi sejarah, legitimasi hukum, dan kepentingan kekuasaan negara—sebuah konflik yang berpotensi berlangsung lama jika tak diselesaikan dengan pendekatan yang adil dan berpijak pada nilai-nilai historis.

Bagi masyarakat Aceh, Blang Padang bukan sekadar hamparan rumput di tengah kota. Ia adalah simbol kejayaan peradaban Islam, warisan agung Sultan Iskandar Muda, serta bagian dari identitas kolektif atas otonomi dan kehormatan Aceh. Mengabaikan nilai sejarah dan makna spiritual yang melekat padanya sama artinya dengan mengingkari warisan leluhur yang telah bertahan selama lebih dari empat abad. []

Reporter: Sammy

Akademisi Unimal Optimis Tanah Wakaf Blang Padang akan Kembali ke Masjid Raya Baiturrahman

0
Surat Gubernur Aceh, Mualem kepada Presiden RI. (Foto: tangkapan layar).

Nukilan | Banda Aceh – Akademisi dan dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Dr Al Chaidar Abdurrahman Puteh, MSi optimis tanah wakaf Blang Padang akan Kembali kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hal tersebut berdasarkan lampu hijau yang diberikan oleh Menteri Agama sendiri, Prof Nazaruddin Umar.

“Insya Allah akan kembali ke Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Menteri agama sudah setuju untuk menyerahkan lapangan Blang Padang ke Masjid Raya Baiturrahman,” ujar Al Chaidar saat dihubungi Nukilan, Minggu (29/6/2025).

Dia menambahkan, tanah tersebut bagaimana pun merupakan tanah wakaf, sehingga memiliki dasar hukum yang kuat untuk dikembalikan kepada Masjid Raya Baiturrahman. Hal ini juga untuk memberikan kepastian kepada masyarakat Aceh yang sebelumnya menggugat perihal kepemilikan tanah tersebut.

Namun demikian, Al Chaidar tak menampik adanya potensi konflik kepentingan dalam permasalahan ini walaupun Menag RI sudah memberikan pernyataan mendukung agar tanah tersebut dikembalikan kepada Masjid Raya.

“Ini ada proses berikutnya yang harus dilakukan oleh gubernur, yaitu bagaimana keputusan dari Presiden Prabowo Subianto nantinya. Jika presiden sudah memutuskan misalnya tanah tersebut Kembali kepada Masjid Raya atau tidak. Kalau presiden yang mengeluarkan titah (untuk dikembalikan), itu sudah pasti akan diikuti oleh TNI,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Agama RI, Prof Nazaruddin Umar menegaskan bahwa pengelolaan wakaf harus dilakukan oleh nazir yang sah menurut syariat Islam. Penegasan ini disampaikan langsung kepada Pembina Relawan Sekber Gabungan Prabowo-Mualem-Dek Fadh, Tgk Zulfikar Syihabuddin, Sabtu (28/6/2025) malam, usai menerima dan menelaah surat dari Gubernur Aceh kepada Presiden RI terkait polemik tanah wakaf Sultan Blang Padang di Banda Aceh. []

Reporter: Sammy

Gubernur Aceh Janji Selesaikan Konflik Lahan HGU di Singkil

0
Gubernur Aceh Muzakir Manaf, melakukan silaturahmi dengan masyarakat di kediaman Yakarim Munir, tokoh masyarakat Aceh Singkil, Jumat (27/6/2025) (Foto: Humas Pemerintah Aceh)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, berjanji akan menuntaskan persoalan sengketa lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di Aceh Singkil.

Hal tersebut disampaikan Mualem saat bersilaturahmi ke kediaman tokoh masyarakat Aceh Singkil, Yakarim Munir, di Desa Lae Butar, Kecamatan Gunung Meriah, Jumat malam (27/6/2025). Kedatangan Mualem disambut antusias oleh ratusan warga yang telah menanti.

Dalam pertemuan yang berlangsung hangat itu, masyarakat secara bergiliran menyampaikan berbagai keluhan, terutama terkait sengketa lahan HGU. Warga meminta agar pemerintah melakukan pengukuran ulang terhadap lahan HGU yang berada di sekitar kawasan pemukiman.

Selain itu, mereka juga mengeluhkan persoalan batas wilayah darat antara Aceh dan Sumatra Utara yang dinilai belum jelas hingga kini.

Menanggapi hal itu, Mualem menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen menyelesaikan masalah tersebut secara adil dan terbuka.

“Biarlah alat ukur yang akan mengatakan yang mana hak perusahaan dan yang mana hak masyarakat. Ini kita ukur ulang nanti. Bapak ibu jangan ribut-ribut, akan kita kembalikan sesuai yang punya haknya,” kata Mualem di hadapan warga.

Ia mengakui bahwa konflik lahan di Aceh Singkil merupakan persoalan lama yang cukup kompleks. Namun demikian, ia memastikan pemerintah sudah menyiapkan tim ahli untuk menangani persoalan tersebut secara serius.

“Memang terdengar rumit di sini. Ini PR saya. Saya sudah siap dengan pakar-pakar untuk kami tindak lanjuti keluhan Bapak Ibu,” ujarnya.

Mualem juga meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi selama proses penyelesaian berlangsung. Ia menegaskan bahwa setiap langkah yang diambil akan berdasarkan data serta hasil pengukuran resmi di lapangan.

Editor: AKil