Beranda blog Halaman 110

Pengamat USK: Rencana Royalti Musik Tidak Wajar dan Bebani UMKM

0
Ilustrasi musik. (Foto: Freepik)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Pengamat bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Fakhrurrazi, menilai rencana pemerintah untuk menerapkan royalti musik kepada masyarakat, termasuk pelaku usaha, tidak wajar dan berpotensi menambah beban Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Menurutnya, masyarakat selama ini sudah berkontribusi terhadap industri musik melalui layanan berbayar. Fakhrurrazi menekankan bahwa ketika seseorang menggunakan aplikasi streaming seperti Apple Music, Spotify, atau Joox, sebenarnya mereka sudah membayar biaya lisensi untuk mendengarkan musik. Karena itu, jika pemerintah kembali membebankan royalti, maka hal tersebut dianggap sebagai pungutan ganda yang tidak masuk akal.

“Iya maksudnya nggak wajar aja pemerintah mencoba untuk menarik royalti dari masyarakat, jadi pemerintah itu zalim. Karena masalah hak cipta itu kita sudah beli streaming, masyarakat ada beli streaming, kenapa kena lagi. Apple Music, Spotify, Joox, itu kan sewa, kenapa kena lagi, maksudnya itu apa,” ujarnya kepada Nukilan, Kamis (21/8/2025).

Ia menilai, masyarakat pada dasarnya tidak keberatan jika hak cipta musisi dilindungi, namun mekanisme yang diambil pemerintah tidak boleh memberatkan konsumen dan pelaku usaha kecil.

Dalam pandangannya, kebijakan ini lebih terkesan mencari keuntungan tambahan dari publik, alih-alih memberikan perlindungan yang adil kepada para pencipta karya.

Fakhrurrazi juga menyoroti kondisi perpajakan di Indonesia yang menurutnya sudah cukup memberatkan. Hampir semua sektor terkena pajak, mulai dari kebutuhan dasar, produk konsumsi, hingga layanan digital.

Jika ditambah dengan royalti musik, ia menilai kebijakan tersebut akan semakin menekan masyarakat kecil yang saat ini masih berjuang di tengah keterbatasan ekonomi.

“Sekarang semua kena pajak, jadi nggak tahulah saya, maksudnya, maunya pemerintah itu gimana,” katanya.

Apalagi, kata dia, UMKM saat ini menghadapi penurunan daya beli. Kondisi ekonomi yang belum stabil membuat pelaku usaha sulit meningkatkan pendapatan. Jika pemerintah menambah beban baru berupa kewajiban royalti, maka risiko yang muncul adalah semakin turunnya daya beli masyarakat dan naiknya harga barang serta jasa. Situasi ini, menurutnya, dapat berkontribusi terhadap lonjakan inflasi dalam waktu dekat.

“UMKM daya belinya semakin berkurang, lagi nggak ada duit, jadi kemungkinan ya jadi inflasi ke depan,” ujarnya.

Karena itu, Fakhrurrazi menekankan pentingnya kehati-hatian pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berdampak luas. Ia menilai, aturan yang menyangkut masyarakat kecil seharusnya melalui kajian mendalam, termasuk analisis terhadap dampak sosial dan ekonomi.

Jika tidak, kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta justru dapat menimbulkan keresahan baru di tengah publik.

“Jadi kita harapkan pemerintah lebih bijaksana dalam menerapkan sesuatu aturan,” tutupnya. []

Reporter: Sammy

Hotel Kupula Disegel, Keuchik Lambaro Skep: Sudah Meresahkan Masyarakat

0
Penyegelan kos dan hotel Kupula. (Foto: Nukilan/Rezi)

NUKILAN.id | Banda Aceh – Keuchik Lambaro Skep, Zamzami, menyatakan apresiasinya terhadap tindakan tegas Pemerintah Kota Banda Aceh yang melakukan penyegelan sementara terhadap Kupula Kos dan Hotel (kostel) di Gampong Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Rabu (20/8/2025). 

Penyegelan dilakukan karena penginapan tersebut beroperasi tanpa izin usaha dan berulang kali melanggar ketentuan syariat Islam.

Menurut Zamzami, keberadaan pelanggaran syariat di kostel Kupula sudah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Ia menilai penginapan tersebut kerap dijadikan tempat mesum.

“Karena ini kan ada pelanggaran syariat, ya jelas sangat meresahkan masyarakat. Sebelumnya juga sudah pernah terjadi, jadi memang timbul keresahan di sini,” ujar Zamzami kepada Nukilan, Rabu (20/8/2025).

Ia menjelaskan, dalam setiap temuan pelanggaran, kewenangan terhadap pemilik usaha berada di tangan Pemerintah Kota Banda Aceh. Sementara untuk para pelanggar, kasusnya langsung ditangani oleh Satpol PP dan WH.

“Kalau terhadap pemilik itu regulasinya ada di Pemko. Tapi untuk pelanggar kita serahkan ke Satpol PP,” tegasnya.

Zamzami mengakui, pelanggaran di kostel Kupula bukan kali pertama terjadi. Bahkan, menurut laporan yang disampaikan Wali Kota Banda Aceh, setidaknya sudah tiga kali ditemukan kasus serupa. 

Saat operasi penyegelan sementara, petugas kembali menemukan sejumlah alat kontrasepsi berupa kondom, yang menguatkan dugaan praktik khalwat dan zina di lokasi tersebut.

“Seperti yang disampaikan Ibu Wali tadi, ditemukan alat kontrasepsi di kamar maupun mobil tamu. Jadi jelas ini bentuk pelanggaran syariat, yaitu khalwat dan zina,” tambahnya.

Reporter: Rezi

Pemilik Kafe di Banda Aceh Khawatirkan Rencana Penerapan Royalti Musik

0
Kafe Kopi dari Hati, Lamnyong, Kamis (21/8/2025). (Foto: Nukilan/Sammy)

NUKILAN.ID | Banda Aceh – Sejumlah pemilik warung kopi, kafe, dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Banda Aceh menyatakan keberatan terhadap rencana pemerintah terkait penerapan royalti musik. Mereka menilai kebijakan tersebut akan semakin menambah beban di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.

Pemilik kafe Kopi dari Hati di kawasan Lamnyong, Banda Aceh, Malik Akmal, menyebut penerapan royalti musik tidak masuk akal bagi pelaku usaha kecil. Menurutnya, musik merupakan hiburan publik yang seharusnya bisa diakses secara bebas. Ia menilai pemberlakuan royalti untuk pemutaran musik di warung kopi atau kafe justru menyalahi fungsi utama musik sebagai sarana hiburan masyarakat.

“Masalah royalti nggak masuk akal menurut saya, karena musik diciptakan buat kita dengar. Kalau misalkan apa yang kita dengar harus bayar, aneh juga kebijakan negara seperti itu,” ujarnya kepada Nukilan, Kamis (21/8/2025).

Malik menjelaskan, perbedaan antara konser dengan pemutaran musik di warung kopi sangat jelas. Dalam konser, penonton memang membayar tiket karena ada biaya besar yang dikeluarkan penyelenggara. Namun, dalam usaha kecil seperti kafe, musik hanya sekadar pelengkap suasana. Karena itu, menurutnya tidak tepat jika pemerintah membebankan royalti kepada pelaku UMKM. Ia juga menilai kebijakan ini akan memberatkan konsumen yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya daya tarik kafe dan warung kopi.

“Beda sama konser, itu menghabiskan biaya. Ini royalti, udah habis kuota internet, kena royalti lagi, jadinya kena dua kali lipat. Emang nggak logis. Nggak tahu sih kebijakan negara gimana mengambil sikap dengan penolakan yang seperti ini,” tambahnya.

Sejak isu penerapan royalti mencuat, Malik memilih untuk tidak lagi memutar musik di kafenya. Ia menilai keputusan itu lebih aman daripada harus berurusan dengan aturan yang masih belum jelas. Keputusan tersebut membuat suasana kafenya berubah. Jika sebelumnya musik menjadi pengiring aktivitas pengunjung, kini hanya terdengar percakapan mahasiswa atau suara lalu lintas di sekitar lokasi.

“Jadinya kami nggak pernah lagi hidupin musik sejak isu kena royalti. Nggak pernah lagi hidupin musik, menghindari masalah saja,” kata Malik.

Sebagai pengganti, Malik membeli dua ekor burung untuk menghadirkan suasana berbeda di kafenya. Menurutnya, suara burung yang berkicau bisa sedikit mengisi ruang hening yang sebelumnya ditempati alunan musik.

“Nggak ada musik sama sekali. Makanya ini saya beli burung dua ekor sejak ada isu royalti itu, dengar-dengar siul burung saja. Mau gimana lagi. Jadi lebih senyap. Untung mahasiswa sini fokus buat tugas, jadi nggak keganggu,” ungkapnya.

Malik menilai kebijakan tersebut berpotensi menekan ekonomi pelaku UMKM yang sudah terbebani biaya operasional lain, seperti pajak, listrik, dan sewa tempat. Jika ditambah dengan kewajiban membayar royalti, ia khawatir banyak usaha kecil yang tidak akan mampu bertahan. Hal ini, menurutnya, justru akan memukul perekonomian masyarakat di tingkat bawah.

“Gimana pemikirannya ambil royalti dari pelaku UMKM. Belum lagi bayar pajak toko, dikenakan royalti lagi. Beban kali masyarakat kita seperti ini, hancur kali ekonomi kita,” katanya.

Ia berharap pemerintah tidak serta-merta memberlakukan kebijakan tanpa memperhatikan kondisi nyata di lapangan. Menurutnya, perlu ada kajian ulang agar kebijakan royalti tidak justru menimbulkan ketidakadilan bagi usaha kecil yang hanya menjadikan musik sebagai hiburan tambahan.

“Seharusnya royalti itu coba dikaji ulanglah. Masak dengar musik saja harus bayar. Dari YouTube dia dapat, dari platform musik dia dapat, dari masyarakat dia dapat,” pungkas Malik. []

Reporter: Sammy

Warga Lamreung Keluhkan Jalan Berlubang yang Bahayakan Pengendara Jalan

0
Jalan rusak dan berlubang di Desa Lamreung, Kamis (21/8/2025). (Foto: Nukilan/Sammy)

NUKILAN.ID | Banda Aceh – Masyarakat Desa Lamreung, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar mengeluhkan kondisi jalan rusak yang berlubang di pinggir jalan desa mereka. Kondisi ini sangat membahayakan bagi pengendara jalan, terutama di malam hari karena lubangnya sangat dalam.

Warga Desa Lamreung, Samsudin mengatakan kondisi ini sudah terjadi sekitar setahun terakhir. Pemerintah desa setempat sudah pernah mencoba menutupi lubang tersebut dengan semen beberapa kali, namun jalan tersebut kembali rusak dan berlubang.

“Ini bahaya sekali bagi pengendara jalan. Apalagi kalau musim hujan, kalau sudah tergenang tak nampak dilihat lagi dan membuat jalan semakin rusak,” ujar Samsudin kepada Nukilan, Kamis (21/8/2025).

Dia menyebutkan pernah ada kasus pengendara yang kehilangan keseimbangan dan tangannya terlepas dari setang motor gara-gara lubang tersebut. Dia berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memperbaiki jalan tersebut dengan aspal sehingga tak membahayakan pengendara jalan lagi, terutama di malam hari.

“Kalau bisa diperbaikilah dengan aspal sehingga nggak rusak-rusak lagi ke depannya,” kata Samsudin. []

Reporter: Sammy

Perambahan Ilegal, 500 Hektare Lahan Mangrove di Aceh Dibuka untuk Sawit

0
Lahan hutan mangrove di Aceh dibuka secara ilegal untuk ditanami kelapa sawit. (Foto: Dok. KEMENHUT)

NUKILAN.ID | JAKARTA – Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sumatera mengungkap praktik perambahan hutan mangrove seluas 500 hektare di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Lahan tersebut diduga dibuka secara ilegal untuk ditanami kelapa sawit.

Kepala Balai Gakkum Kehutanan Sumatera, Hari Novianto, menyebut aktivitas pembukaan lahan berlangsung sejak 2020 hingga 2025. Perambahan itu terungkap setelah petugas menghentikan kegiatan pembukaan hutan mangrove di Desa Kuala Genting, Aceh Tamiang, pada Juni-Agustus 2025.

“Berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi dan analisa tutupan hutan untuk kebun sawit, aktivitas perambahan untuk kebun sawit ini seluas 500 ha dan dilakukan sejak tahun 2020-2025. Dengan modus operandi penguasaan lahan dengan menggunakan koperasi dan Surat Pernyataan Penguasan Fisik Bidang Tanah,” ungkap Hari dalam keterangannya, Kamis (21/8/2025).

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang resah atas maraknya perambahan dan kerusakan ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Saat ini, pihak Gakkum telah mengantongi nama terduga pelaku seiring dengan pemeriksaan saksi.

Untuk mencegah perluasan lahan, petugas juga menyegel area hutan mangrove yang telah dibuka.

“Selain itu kami telah berkoordinasi dengan KPH III Aceh Timur, Pemerintah Daerah Aceh Tamiang dan aparat penegak hukum setempat untuk menghentikan aktivitas perambahan hutan mangrove tersebut,” jelas Hari.

Sementara itu, Dirjen Gakkum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menegaskan bahwa hutan mangrove di Aceh Tamiang memiliki peran vital bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat.

“Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, erosi, intrusi air laut, habitat berbagai jenis satwa dan biota laut, serta penyerap karbon yang efektif,” ujar Dwi.

Menurutnya, ekosistem mangrove tidak hanya penting dari sisi lingkungan, tetapi juga bernilai ekonomi. Mangrove bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat, objek wisata, hingga bahan baku produk turunan.

“Negara akan selalu hadir dalam menjamin kelestarian dan keberlanjutan keberadaan kawasan hutan di Provinsi Aceh,” tegas Dwi.

Kabiro Isra Setda Aceh: MQK Aceh Lahirkan Generasi Santri Berilmu dan Berakhlak

0
Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Isra) Setda Aceh, Dr. Drs. Yusrizal, M.Si, secara resmi menutup kegiatan MQK IV Aceh di Hotel Grand Aceh Syariah, Lamdom, Banda Aceh, Kamis (21/8/2025) malam. (Foto: For Nukilan)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Isra) Setda Aceh, Dr. Drs. Yusrizal, M.Si, menegaskan bahwa Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) IV Provinsi Aceh Tahun 2025 merupakan ajang penting dalam memperkuat tradisi keilmuan Islam di kalangan santri.

Hal tersebut disampaikan Yusrizal saat menutup secara resmi kegiatan MQK IV Aceh di Hotel Grand Aceh Syariah, Lamdom, Banda Aceh, Kamis (21/8/2025) malam. Ia hadir mewakili Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dalam acara yang diikuti oleh 175 peserta dari 20 kabupaten/kota di seluruh Aceh.

Menurut Yusrizal, MQK bukan sekadar perlombaan membaca kitab kuning, tetapi juga wadah pembentukan karakter generasi muda Aceh yang cinta ilmu dan berakhlak mulia.

“Kegiatan ini merupakan bentuk nyata dari semangat Aceh dalam menjaga dan mengembangkan khazanah keilmuan Islam melalui kajian kitab kuning,” ujarnya.

“Semoga para peserta terus menjadi generasi yang berilmu, berakhlak, dan berperan dalam membangun masyarakat Islami di Aceh,” tambah Yusrizal.

Pada kesempatan tersebut, Yusrizal juga mengumumkan para juara umum MQK IV Aceh Tahun 2025. Kabupaten Aceh Besar berhasil meraih peringkat pertama, disusul Aceh Utara di posisi kedua, dan Nagan Raya di posisi ketiga.

Ia memberikan apresiasi khusus kepada kafilah Nagan Raya yang mampu menunjukkan kemajuan signifikan dibandingkan tahun 2023. Menurutnya, peningkatan tersebut menjadi bukti bahwa pembinaan santri di tingkat daerah semakin baik dan terarah.

“Peningkatan prestasi Nagan Raya ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan kesungguhan pemerintah daerah dan para pembina dayah dalam membangun generasi santri yang unggul,” ujar Yusrizal.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Pemerintah Aceh melalui Biro Isra akan terus memberikan dukungan terhadap kegiatan keagamaan dan penguatan pendidikan dayah di seluruh Aceh.

“MQK bukan hanya tentang lomba, tetapi tentang menjaga warisan keilmuan Islam agar tetap hidup di tengah masyarakat. Pemerintah Aceh berkomitmen untuk terus mendukung kegiatan semacam ini,” tegasnya.

Sebagai informasi, MQK IV Aceh mempertandingkan lima cabang utama, yaitu Tafsir, Tauhid, Nahwu, Ushul Fiqh, dan Akhlak. Kegiatan ini berlangsung sejak 19 hingga 22 Agustus 2025 dan melibatkan santri terbaik dari berbagai dayah dan pesantren di Aceh.

Daftar Peringkat MQK IV Aceh Tahun 2025:

  1. Aceh Besar

  2. Aceh Utara

  3. Nagan Raya

  4. Bireuen

  5. Banda Aceh

  6. Aceh Selatan

  7. Lhokseumawe

  8. Aceh Jaya

  9. Pidie

  10. Aceh Tamiang

Dengan semangat yang dibawa melalui MQK, Yusrizal berharap Aceh terus melahirkan generasi santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu menjadi agen perubahan positif bagi pembangunan daerah.

Petugas Temukan Kondom di Mobil Tamu Kostel Kupula

0
Penggeledahan mobil milik salah seorang tamu Kostel Kupula. (Foto: Nukilan/Rezi)

NUKILAN.id | Banda Aceh – Sejumlah kondom ditemukan petugas di dalam mobil tamu yang menginap di kos sekaligus hotel (kostel) Kupula, Gampong Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Rabu (20/8/2025).

Penemuan itu terjadi saat penyegelan sementara penginapan Kupula yang dipimpin langsung Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, bersama Satpol PP dan WH, Kepolisian Sektor Kuta Alam dan perangkat Gampong setempat.

“Tadi juga kita sempat melihat di kamar-kamar yang pernah kami lakukan penertiban, ternyata masih terdapat kondom yang berserakan. Bahkan, di mobil yang terparkir di dalamnya juga ditemukan kondom,” ungkap Illiza kepada wartawan, termasuk Nukilan.

Dalam operasi tersebut, petugas mengetahui bahwa pemilik kendaraan adalah seorang perempuan yang sedang menginap di salah satu kamar kostel. Saat dimintai keterangan, perempuan tersebut mengaku bahwa mobilnya disewakan atau dirental kepada orang lain.

Illiza juga mengungkapkan kondisi kamar yang ditempati perempuan tersebut dalam keadaan tidak terawat dengan banyak puntung rokok berserakan.

“Saya lihat di kamarnya banyak puntung rokok dan berantakan. Saya bilang, Jadi saya hanya mengingatkan dan menelepon orangtuanya untuk menyampaikan bahwasanya kondisi anaknya seperti ini,” katanya.

Sebagai informasi, penyegelan sementara kos dan hotel Kupula dilakukan karena penginapan tersebut beroperasi tanpa izin usaha dan berulang kali melanggar ketentuan syariat Islam.

Reporter: Rezi

Ancaman Lingkungan di Balik 20 Tahun Perdamaian Aceh

0
Ilustrasi Deforestasi (Foto: Ilustrasi/proxsisgroup)

NUKILAN.ID | OPINI – Perjanjian Damai Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menandai babak baru bagi Aceh, mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah melanda provinsi ini selama puluhan tahun.

Era perdamaian ini membawa serta harapan besar akan pembangunan, pemulihan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik optimisme tersebut, Aceh juga dihadapkan pada tantangan serius yang tak kalah kompleks, yaitu isu kerusakan lingkungan.

Konflik bersenjata, meskipun telah usai, meninggalkan jejak yang mendalam pada ekosistem Aceh, dan proses pembangunan pasca-damai, jika tidak dikelola dengan bijak, berpotensi memperparah kondisi lingkungan yang sudah rentan.

Deforestasi: Ancaman Senyap di Balik Perdamaian

Perdamaian di Aceh, alih-alih membawa pemulihan bagi hutan, justru diiringi dengan laju deforestasi yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, hilangnya tutupan hutan di Aceh telah menjadi pemicu berantai yang mempercepat degradasi lingkungan dan memperparah frekuensi bencana alam.

Pada periode awal pasca-damai, yaitu antara tahun 2005 hingga 2006, setidaknya 266.000 hektare hutan di Provinsi Aceh mengalami kerusakan berat. Angka ini menunjukkan betapa cepatnya kerusakan hutan terjadi bahkan di tahun-tahun pertama setelah konflik berakhir. Tren ini terus berlanjut.

Selama lima tahun, Aceh kehilangan tutupan hutan hingga 71.552 hektare, yang berpotensi memicu bencana alam. Secara lebih luas, dari tahun 2001 hingga 2024, Aceh telah kehilangan 857 ribu hektare tutupan pohon, setara dengan 17% dari total luas tutupan pohon pada tahun 2000.

Penyebab utama deforestasi di Aceh sangat kompleks dan saling terkait. Salah satu faktor dominan adalah aktivitas illegal logging yang marak terjadi, seringkali didorong oleh permintaan pasar gelap dan lemahnya penegakan hukum.

Selain itu, ekspansi perkebunan, terutama kelapa sawit, menjadi pendorong utama lainnya. Pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar seringkali dilakukan dengan mengorbankan kawasan hutan primer yang kaya keanekaragaman hayati.

Dampak dari deforestasi ini sangat nyata dan merugikan. Peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor menjadi konsekuensi langsung dari hilangnya tutupan hutan.

Perubahan iklim lokal juga terjadi, dengan peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan yang berdampak pada sektor pertanian dan kehidupan masyarakat.

Pencemaran Lingkungan: Beban yang Terus Bertambah

Selain deforestasi, masalah pencemaran lingkungan juga menjadi beban serius bagi Aceh di masa perdamaian. Berbagai jenis pencemaran, mulai dari logam berat hingga sampah, terus mengancam kesehatan ekosistem dan masyarakat.

Pasca-tsunami pada tahun 2004, Aceh dihadapkan pada masalah baru yang tak terduga. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menemukan bahwa lima kabupaten di Aceh tercemar logam berat, sebuah kondisi yang sangat membahayakan. Pencemaran ini kemungkinan besar berasal dari material sisa tsunami atau aktivitas pasca-bencana yang tidak terkontrol.

Selain itu, seiring dengan kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih, kasus-kasus pencemaran lingkungan cenderung meningkat .

Aktivitas pertambangan, baik yang legal maupun ilegal, juga menjadi sumber pencemaran lingkungan yang signifikan. Pertambangan ilegal, khususnya, seringkali tidak memperhatikan standar lingkungan, menyebabkan kerusakan ekosistem dan pencemaran air serta tanah oleh limbah tambang . Meskipun ada upaya untuk mengatur dan mengendalikan, tantangan dalam penegakan hukum dan pengawasan masih sangat besar.

Dampak dari pencemaran lingkungan ini sangat luas. Kesehatan masyarakat menjadi taruhan utama, dengan potensi penyakit yang disebabkan oleh paparan logam berat, bakteri dari sampah, dan zat berbahaya lainnya.

Ekosistem air, seperti sungai dan laut, juga terancam, mengganggu kehidupan akuatik dan sumber daya perikanan yang menjadi mata pencaharian banyak masyarakat Aceh. Pencemaran tanah mengurangi kesuburan dan produktivitas lahan pertanian.

Selain deforestasi dan pencemaran, Aceh juga tidak luput dari dampak isu lingkungan global, terutama perubahan iklim. Meskipun bukan penyebab utama, perubahan iklim memperparah kerentanan ekosistem Aceh yang sudah tertekan.

Peningkatan suhu global dan perubahan pola curah hujan dapat memicu kekeringan di satu sisi dan banjir di sisi lain, mengancam sektor pertanian dan ketersediaan air bersih.

Ekosistem pesisir Aceh, yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati laut, juga menghadapi degradasi. Meskipun data spesifik mengenai tingkat degradasi pasca-2005 tidak selalu tersedia secara terpusat, ancaman terhadap hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun terus ada.

Aktivitas penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, pembangunan di wilayah pesisir, dan dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut dan pengasaman laut, semuanya berkontribusi pada kerusakan ekosistem ini.

Kerusakan ekosistem pesisir tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatkan kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana alam seperti abrasi dan gelombang pasang.

Tantangan dan Harapan

Perdamaian yang telah dinikmati Aceh sejak tahun 2005 adalah anugerah yang harus dijaga. Namun, di balik ketenangan pasca-konflik, lingkungan Aceh menghadapi tantangan serius yang tidak boleh diabaikan. Deforestasi yang masif dan pencemaran lingkungan yang terus meningkat menjadi bukti nyata bahwa pembangunan yang tidak berkelanjutan dapat mengikis fondasi ekologis yang vital bagi kehidupan.

Menatap lingkungan Aceh di masa perdamaian berarti mengakui bahwa tantangan lingkungan yang ada sangatlah besar, namun juga menyadari adanya peluang untuk perubahan positif. Keberlanjutan lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan peran aktif dari seluruh elemen.

Menatap lingkungan Aceh di masa perdamaian adalah sebuah panggilan untuk bertindak. Diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, partisipasi aktif masyarakat, dan tanggung jawab dari sektor swasta untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam.

Penguatan regulasi, penegakan hukum yang tegas, edukasi lingkungan, dan adopsi praktik pembangunan berkelanjutan adalah langkah-langkah krusial yang harus diambil. Hanya dengan upaya kolektif dan sinergi yang kuat, Aceh dapat memastikan bahwa perdamaian yang telah diraih tidak hanya membawa kemakmuran bagi manusianya, tetapi juga keberlanjutan bagi lingkungannya, demi generasi mendatang. [hrs]

Penulis: Haris

Tiga Kali Langgar Syariat, Pemko Segel Hotel Kupula di Banda Aceh

0
Penyegelan kos dan hotel Kupula. (Foto: Nukilan/Rezi)

NUKILAN.id | Banda Aceh – Pemerintah Kota Banda Aceh menyegel sementara kos sekaligus hotel Kupula yang berlokasi di Gampong Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Rabu (20/8/2025). 

Penyegelan dilakukan karena penginapan tersebut beroperasi tanpa izin usaha dan berulang kali melanggar ketentuan syariat Islam.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, yang memimpin langsung penyegelan mengatakan, izin usaha yang dimiliki Hotel Kupula sebenarnya untuk hunian residensial, bukan penginapan komersial.

“Ya, izin usahanya untuk residen tempat tinggal rumah, tapi kemudian dijadikan penginapan. Jadi betul-betul ilegal tanpa izin,” kata Illiza kepada awak media, termasuk Nukilan.

Illiza menyebutkan, hotel tersebut sudah tiga kali kedapatan melakukan pelanggaran syariat. Saat razia, pihaknya juga menemukan barang-barang yang mengindikasikan perbuatan maksiat.

“Tadi juga kita sempat melihat di kamar -kamar yang pernah kami lakukan juga penertiban, pengawasan ternyata masih juga terdapat kondom yang berserakan,” ungkapnya.

Terkait sanksi untuk pemilik hotel, Illiza menyampaikan, hal itu akan dibahas lebih lanjut sesuai dengan qanun yang berlaku. Namun, ia memastikan jika penyegelan dilanggar, maka konsekuensinya bisa lebih berat.

“Kalau setelah disegel masih dibuka kembali, maka sanksi terberatnya adalah penutupan permanen. Pemilik tidak akan bisa lagi mengurus izin usaha apapun di Banda Aceh,” ujarnya.

Ia menegaskan komitmennya untuk terus melakukan penertiban dan pengawasan terhadap hotel-hotel di wilayahnya, baik hotel kecil maupun besar.

“Di Banda Aceh ini kita terus akan melakukan penertiban, pengawasan, karena ini memang menjadi tugas kita. Dan seluruhnya juga akan berlaku sama, baik hotel kecil maupun besar,” pungkas Illiza.

Reporter: Rezi

Kejari dan Kemenag Aceh Besar Serahkan 80 Sertifikat Tanah Wakaf kepada Nazir

0
Kejari dan Kemenag Aceh Besar Serahkan 80 Sertifikat Tanah Wakaf kepada Nazir. (Foto: Kemenag Aceh Besar)

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar bersama Kantor Kementerian Agama (Kemenag), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar menyerahkan sebanyak 80 sertifikat tanah wakaf kepada para nazir di daerah setempat. Penyerahan dilakukan di Kantor Kejari Aceh Besar, Jantho, Rabu (20/8/2025).

Kepala Kankemenag Aceh Besar, Saifuddin, menyebut program percepatan pensertifikatan tanah wakaf ini menjadi langkah nyata dalam menjaga dan mengamankan harta agama agar memiliki kepastian hukum serta dapat dimanfaatkan secara optimal.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada Kajari atas inisiasinya dalam menjaga harta agama yaitu mempercepat pensertifikatan tanah wakaf, karena memang secara muslim, itu tugas kita bersama untuk menjaga harta agama,” ujar Saifuddin.

Ia menilai, Aceh Besar menunjukkan kemajuan signifikan dalam penyelesaian sertifikasi tanah wakaf dan bisa menjadi contoh bagi kabupaten lain di Aceh. Tahun 2024, target 100 persil tanah wakaf berhasil tercapai. Sementara pada 2025, targetnya meningkat menjadi 150 persil.

“Tahun 2024 lalu, kita target pensertifikatan tanah wakaf 100 persil dan Alhamdulillah tercapai. Tahun ini, kita target 150 persil, semoga ini cepat terselesaikan dengan baik,” katanya.

Menurut Saifuddin, 80 persil tanah wakaf yang diserahkan kali ini dapat terselesaikan hanya dalam beberapa bulan. Ia juga mengingatkan para kepala Kantor Urusan Agama (KUA) agar lebih proaktif dalam mendata seluruh tanah wakaf yang ada di wilayahnya.

“Wakaf di desa itu kebanyakan secara lisan, tapi tidak tercatat. Maka karena itu kita harapkan kepala KUA aktif agar semua tanah wakaf tercatat, terdata supaya bisa kita usulkan untuk bisa seluruhnya bersertifikat,” ujarnya.

Saat ini, terdapat 104 berkas tanah wakaf lain di Kemenag Aceh Besar yang sedang diproses untuk kemudian diserahkan ke BPN guna pengukuran dan pengusulan pensertifikatan.

Saifuddin juga menekankan pentingnya mengelola tanah wakaf agar bisa produktif dan memberi manfaat lebih luas bagi masyarakat.

“Kita harapkan juga agar tanah wakaf ini bukan hanya cukup dengan sertifikat, tetapi juga kita inginkan tanah wakaf ini produktif. Nazir harus bisa mengoptimalkan penggunaannya sehingga tanah wakaf bisa berkembang,” kata Saifuddin.

Sementara itu, Kepala Kejari Aceh Besar, Jemmy N Tirayudi, mengapresiasi seluruh pihak yang terlibat dalam program percepatan sertifikasi tanah wakaf.

“Kami mengapresiasi seluruh pihak yang bekerjasama dalam percepatan pensertifikatan tanah wakaf di Aceh Besar,” ujar Jemmy.

Ia menyebutkan, hingga kini pihaknya bersama lintas sektor telah menuntaskan 97 sertifikat tanah wakaf, terdiri dari 17 sertifikat pada tahap pertama dan 80 sertifikat pada tahap kedua. Jumlah ini mendekati target 150 persil pada tahun 2025.

“Insya Allah dengan ikhtiar kita bersama, sisa daripada target ini dengan dukungan seluruh stakeholder akan terealisasi dengan baik sesuai target. Kalau bisa lebih, alhamdulillah,” kata Jemmy.