NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Isu ketahanan pangan tengah menjadi sorotan publik, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat serta stabilitas negara. Dalam konteks ini, bioteknologi pertanian dinilai memiliki peran penting dalam meningkatkan produktivitas, ketahanan, dan kualitas tanaman. Teknologi ini juga diyakini mampu menjawab berbagai tantangan sektor pertanian, mulai dari lonjakan kebutuhan pangan hingga dampak perubahan iklim.
Untuk menggali lebih dalam mengenai peran dan tantangan bioteknologi pertanian di tingkat lokal, khususnya di Aceh, Nukilan.id pada Senin (30/6/2025) mewawancarai Andriy Anta Kacaribu, S.Si., M.T., mahasiswa program doktoral Bioteknologi Pertanian di Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh.
Ketika ditanya mengenai tantangan terbesar dalam menerapkan bioteknologi di sektor pertanian lokal Aceh serta peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para petani, Andriy menjelaskan bahwa beberapa bentuk bioteknologi sebenarnya sudah mulai diterapkan secara mandiri oleh petani.
“Untuk bioteknologi konvensional, sebenarnya relatif mudah diterapkan di Aceh. Contohnya adalah pembuatan pupuk organik melalui metode fermentasi, yang kini mulai banyak dilakukan oleh petani secara mandiri,” ungkapnya.
Meski demikian, tantangan yang lebih kompleks muncul ketika bicara tentang penerapan bioteknologi modern. Andriy menekankan bahwa permasalahan struktural dan keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan serius bagi pengembangan teknologi tingkat lanjut.
“Namun, kalau berbicara tentang bioteknologi lanjutan atau modern—seperti kultur jaringan, rekayasa genetika, atau pemanfaatan mikroorganisme spesifik—tantangannya memang cukup besar,” lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa tantangan terbesar dalam implementasi bioteknologi modern adalah keterbatasan teknologi, sarana, dan prasarana di lapangan. Hal ini menjadi kendala utama yang menghambat proses transformasi teknologi dari ruang laboratorium menuju lahan pertanian.
“Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan teknologi, sarana, dan prasarana, terutama di tingkat lapangan. Selain itu, meskipun kita memiliki cukup banyak ahli dan peneliti, misalnya di Universitas Syiah Kuala, transfer teknologi dari laboratorium ke petani sering belum berjalan optimal,” paparnya.
Menurutnya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesenjangan antara hasil riset dengan penerapan nyata di lapangan. Kesenjangan ini tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan biaya, tetapi juga minimnya pelatihan serta rendahnya literasi teknologi di kalangan petani.
“Ada jarak antara hasil riset dan implementasi nyata di lahan pertanian, baik karena persoalan biaya, keterbatasan pelatihan, maupun rendahnya literasi teknologi di kalangan petani,” terang Andriy.
Meskipun demikian, ia tetap optimistis terhadap masa depan bioteknologi pertanian di Aceh. Ia melihat adanya peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan.
“Meski begitu, peluangnya sangat besar. Selain pembuatan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimia, bioteknologi berpotensi besar dalam menghasilkan benih unggul yang lebih tahan penyakit atau adaptif terhadap perubahan iklim,” katanya.
Salah satu contoh konkret yang menurutnya sangat relevan untuk kondisi geografis Aceh adalah pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap salinitas. Ini sangat penting untuk mengoptimalkan lahan pesisir yang terdampak intrusi air laut.
“Misalnya, pengembangan varietas padi yang tahan salinitas akan sangat relevan untuk lahan pesisir Aceh yang terdampak intrusi air laut,” jelasnya.
Selain itu, pendekatan bioteknologi juga dapat digunakan untuk mengembangkan mikroba lokal sebagai biofertilizer dan biopestisida. Inovasi ini dinilai mampu meningkatkan hasil pertanian tanpa merusak lingkungan.
“Selain itu, pemanfaatan mikroba lokal sebagai biofertilizer atau biopestisida juga sangat potensial untuk meningkatkan hasil pertanian secara berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tambahnya.
Di akhir wawancara, Andriy menekankan bahwa dengan strategi yang tepat dan dukungan yang memadai, bioteknologi bisa menjadi kunci penting dalam meningkatkan ketahanan pangan Aceh sekaligus menjaga ekosistem alam yang ada.
“Dengan pendekatan yang tepat, bioteknologi bisa menjadi solusi penting untuk meningkatkan ketahanan pangan di Aceh sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” tutupnya.
Wawancara ini menggambarkan bahwa di tengah berbagai tantangan, masa depan pertanian Aceh masih menyimpan harapan besar jika mampu memanfaatkan kemajuan bioteknologi secara inklusif dan berkelanjutan. (XRQ)
Reporter: AKil