Nukilan | Jakarta – Pabrik tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi berhenti beroperasi per Sabtu (1/3/2025). Sehari sebelumnya, Jumat (28/2/2025), menjadi momen terakhir ribuan buruh memasuki area pabrik yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.
Penutupan ini menjadi akhir dari rangkaian krisis yang telah berlangsung lebih dari setahun. Dikutip Nukilan dari Detik.com (28/2/2025), keputusan tersebut tak lepas dari hasil rapat kreditur di Pengadilan Niaga Semarang, di mana hakim memutuskan bahwa PT Sritex tidak lagi memiliki prospek kelangsungan usaha (going concern). Perusahaan pun dinyatakan pailit, dan sekitar 11 ribu buruh terpaksa di-PHK secara massal.
Kredit Raksasa dan Utang Menggunung
Sritex bukan sekadar perusahaan tekstil biasa. Ia pernah menjadi kebanggaan nasional, mengekspor seragam militer ke lebih dari 30 negara. Namun sejak 2020, perusahaan mulai kesulitan membayar utang. Total pinjaman dari berbagai bank mencapai Rp3,58 triliun.
Mengutip Tempo.co (23/6/2025), kredit yang diperoleh berasal dari sejumlah bank besar dan daerah, yaitu Bank BJB & Bank DKI (Rp692 miliar), Bank Jateng (Rp395,7 miliar), serta sindikasi dari BNI, BRI, dan LPEI senilai total Rp2,5 triliun. Di tengah tekanan likuiditas dan gagal bayar bunga, perusahaan akhirnya kolaps.
Sejumlah bank disebut tetap mencairkan pinjaman meski Sritex sudah tergolong perusahaan dengan risiko gagal bayar tinggi. Inilah yang kemudian menjadi perhatian serius aparat penegak hukum.
Kejagung Cegah Iwan Kurniawan ke Luar Negeri
Pada 19 Mei 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi mengajukan pencekalan terhadap Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto (IKL), ke luar negeri. “Benar terhadap Iwan Kurniawan Lukminto telah dilakukan pencegahan ke luar negeri sejak 19 Mei 2025 dan akan berlaku untuk enam bulan ke depan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada Kompas (7/6/2025).
Harli menjelaskan, status IKL masih sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit yang melibatkan perusahaan tekstil itu dan entitas anak usahanya.
Empat Kali Pemeriksaan dalam Tiga Pekan
Dilansir dari Antaranews (2/6/2025), pemeriksaan pertama terhadap Iwan dilakukan pada 2 Juni 2025. Ia mengaku dicecar 20 pertanyaan selama hampir 10 jam. Pemeriksaan ini difokuskan pada keterlibatannya dalam proses pengajuan kredit selama periode 2020–2021.
Sepekan kemudian, pada 10 Juni 2025, Iwan kembali diperiksa. Ia datang ke Gedung Bundar Kejagung pukul 09.25 WIB dan menjalani sesi tanya-jawab maraton selama hampir 12 jam.
Pemeriksaan ketiga berlangsung pada 18 Juni 2025. Iwan hadir bersama tim kuasa hukum dan mengaku memenuhi permintaan penyidik untuk melengkapi dokumen.
Pemeriksaan keempat dilakukan pada 23 Juni 2025. Tempo (23/6/2025) melaporkan, Iwan menjawab 25 pertanyaan dan menjalani sesi selama 11 jam. “Pemeriksaan tentang operasional perusahaan, bagaimana saya me-manage perusahaan setelah jadi dirut,” ujarnya.
Dalam sesi itu, ia menyatakan bahwa seluruh kredit yang dicairkan digunakan untuk kebutuhan operasional. Namun, versi ini bertolak belakang dengan temuan penyidik.
Dana Kredit dan Penggunaan Tidak Sesuai
Menurut Kejagung, sebagaimana dilaporkan Antaranews dan Kompas, dana yang dicairkan dari berbagai bank tidak digunakan untuk modal kerja sebagaimana mestinya. Jaksa menduga, dana digunakan untuk membayar utang-utang lama dan membeli aset yang tidak produktif.
Lebih jauh, sejumlah bank disebut mencairkan kredit dengan mengabaikan status keuangan Sritex yang kala itu sudah berada di ambang krisis. Penyidik mendalami apakah terdapat unsur persekongkolan antara pihak bank dan manajemen Sritex.
Dalam berbagai keterangan, jaksa juga menyebut bahwa proses analisis risiko yang seharusnya menjadi standar dalam pencairan kredit, justru tidak dijalankan dengan baik. Dalam sejumlah dokumen perbankan yang dikantongi penyidik, ditemukan sejumlah rekomendasi yang diduga dimanipulasi.
Tidak hanya itu, penyidik juga mulai menelusuri keterlibatan pihak lain di luar korporasi, termasuk konsultan hukum, auditor independen, serta perusahaan pemeringkat yang turut memberikan nilai layak pinjam kepada Sritex. Peran pihak-pihak ini menjadi penting untuk mengetahui apakah proses due diligence dilakukan secara sahih atau justru bersifat formalitas semata.
Dalam perkembangan terakhir, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka, yaitu Dicky Syahbandinata dari Bank BJB, Zainuddin Mappa dari Bank DKI, dan Iwan Setiawan Lukminto, mantan Dirut Sritex periode 2005–2022 dan kakak kandung IKL.
IKL belum berstatus tersangka, namun penyidik menyebut perannya sangat penting dalam membuka skema pengajuan dan penggunaan kredit. Pemeriksaan terhadap dirinya masih berlanjut, dan publik menunggu apakah status hukumnya akan berubah.
PHK Massal dan Pekerja yang Terlantar
Sementara proses hukum berjalan, gelombang PHK menghantam keras ribuan keluarga. Dilansir Bisnis (11/3/2025), dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebut bahwa Sritex Group telah melakukan PHK terhadap 11.025 pekerja sejak Agustus 2024.
Para pekerja tersebar di pabrik utama dan anak usaha seperti PT Bitratex. Banyak dari mereka mengaku belum menerima pesangon atau program kompensasi dari perusahaan. Pemerintah menjanjikan bantuan berupa pelatihan ulang dan jaminan sosial, tetapi sebagian besar pekerja belum merasakan dampaknya secara langsung.
Lembaga bantuan hukum dan serikat buruh mulai turun tangan mendampingi para pekerja menuntut hak-hak mereka. Sebagian dari mereka bahkan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Situasi ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja ketika korporasi tumbang.
Di sisi lain, para buruh yang terkena PHK menghadapi tantangan berat dalam mencari pekerjaan baru. Kompetisi yang ketat di sektor industri, ditambah dengan keterbatasan keterampilan di era otomatisasi, menjadikan situasi makin pelik. Beberapa di antara mereka kini beralih menjadi pekerja sektor informal atau membuka usaha kecil-kecilan tanpa sokongan modal dan pelatihan memadai.
Menantikan Ujung Penyelidikan
Pemeriksaan terhadap IKL masih berlangsung. Penyidik kini menelusuri aliran dana kredit, komunikasi antarbank, hingga dokumen internal anak usaha Sritex. Pemeriksaan yang dilakukan berulang kali disebut sebagai strategi untuk membangun konstruksi hukum yang lebih kuat.
Kejagung menegaskan bahwa perubahan status dari saksi menjadi tersangka akan dilakukan jika ditemukan cukup bukti keterlibatan langsung. Jika hal ini terjadi, maka kasus Sritex akan menjadi salah satu skandal korporasi terbesar dalam sejarah tekstil Indonesia.
Publik kini menantikan hasil akhir penyidikan. Akankah seluruh pihak yang terlibat benar-benar dimintai pertanggungjawaban? Atau justru hanya berhenti pada aktor-aktor teknis tanpa menyentuh pihak yang lebih berpengaruh secara struktural?
Runtuhnya Sebuah Raksasa
Kisah Sritex menjadi cerminan dari kegagalan tata kelola perusahaan, pengawasan kredit, serta tanggung jawab sosial korporasi. Di satu sisi, manajemen menghadapi proses hukum, dan di sisi lain, ribuan buruh kehilangan pekerjaan tanpa kepastian masa depan.
Jika kasus ini bisa diselesaikan secara transparan, bukan hanya akan memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum, tetapi juga menjadi pelajaran penting bagi dunia usaha. Bahwa ekspansi agresif tanpa perhitungan risiko yang matang bisa berujung pada kehancuran total. []
Reporter: Sammy