Nukilan.id – Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melakukan kajian untuk menentukan fatwa halal atau haramnya bertransaksi aset cryptocurrency atau uang kripto. Kajian ini dilakukan dalam rangka merespons peningkatan perdagangan aset kripto di kalangan masyarakat.
Sekretaris Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI, Prof Jaih Mubarok, menjelaskan uang kripto merupakan mata uang digital yang dibuat melalui proses dengan teknik enkripsi yang dikelola jaringan peer to peer. Karenanya, hal ini termasuk dalam wilayah siyasah maliyyah (kebijakan politik ekonomi) yang eksistensinya bergantung pada ketentuan dan atau keputusan otoritas yang setidaknya memenuhi kriteria uang sebagaimana disampaikan Muhammad Rawas Qalāah Ji dalam kitab al-Muāamalat al-Maliyyah al-Muāashirah fi Dhauā al-Fiqh wa al-Syariāah.
āMengutip pendapat Qalāah Ji di atas yang menekankan aspek legalitas uang, Prof Jaih menjelaskan uang (nuqud) adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan lembaga pemegang otoritas. Atas dasar penjelasan tersebut, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta (atau kulit unta) sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang (nuqud), melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau āiwadh (imbalan); karena uang harus memenuhi dua kreiteria yaitu 1) substansi benda tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat dan 2) diterbitkan lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang (antara lain bank sentral),ā demikian kutip laman resmi MUI, Rabu (16/6/2021).
Prof Jaih juga mengatakan, Khalifah Umar Ibn al-Khaththab pada 18 Hijriyah menuliskan kata āBismillah,ā āal-Hamdu lillah,ā āBismi Rabbi,ā dan āMuhammad Rasulullahā (sebagai simbol-simbol Islam) terhadap dinar dan dirham yang berasal dari Bizantium dan Persia. Ia juga mengatakan, menurut ahli sejarah, orang pertama yang menerbitkan Dinar dan Dirham untuk diberlakukan di wilayah (Negara) Islam adalah Abd al-Malik Ibn Marwan (Khalifah Bani Umayah yang berkuasa setelah fase al-Khulafaā al-Rasyidun) pada tahun 74 H, sebagai respon terhadap para gubernurnya yang membuat mata uang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing.
Di antara mata uang itu antara lain al-Hajjaj pada tahun 75 H yang membuat dirham sendiri, yaitu Dirham Baghli. Abdullah Ibn Zubair membuat dinar sendiri dengan membubuhkan namanya pada dinar tersebut (yaitu Abdullah Amir al-Muāminin), dan Mushāab Ibn Zubair (Gubernur Irak) membuat dirham khusus.
Prof Jaih juga menyinggung mengenai kedudukan harta yang diakui sebagai alat tukar (uang), yang pada dasarnya berfungsi sebagai standar nilai dari harta-harta lainnya. Menurutnya, dalam sejarah (termasuk dalam sejarah Islam), emas dan perak diberlakukan sebagai uang (nuqud) yang bernama dinar (emas) dan dirham (perak). Fungsi uang (nuqud) dijelaskan ulama sebagai berikut:
Pertama, Imam Ghazali dalam kitab Ihyaā āUlum al-Din (4: 91) menyampaikan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim (pemutus) dan penengah atau mediator (mutawasith) terhadap harta-harta lain untuk mengetahui nilai (qimah)-nya;
Kedua, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah (680) menyatakan bahwa Allah menciptakan logam emas dan perak sebagai nilah (qimah) bagi semua harta lainnya; dan ketiga, Sarkhasi dalam kitab al-Mabsuth (2: 191) menyatakan bahwa emas dan perak dalam berbagai bentuk, diciptakan Allah sebagai substansi nilai (qimah) atau harga.
āUlama membedakan harta menjadi harta al-nuqud (secara harfiah berarti harga atau standar harga [al-tsamaniyyah) dan harta al-āurudh yang secara harfiah berarti barang,ā ujar Jaih.
Sementara itu kata dia, Al-naqd (al-nuqud; jamak) secara harfiah berarti al-kasyf (pengungkapan); yaitu mengungkapkan sesuatu dan penampakannya. Arti al-nuqud secara istilah adalah sesuatu yang diterima masyarakat umum sebagai media pertukaran dan standar/pengukur nilai atas barang dan jasa, baik terbuat dari barang tambang (logam) ataupun dari kulit.
Sedangkan harta āardh adalah harta yang disepakati dan/atau ditetapkan otoritas bukan sebagai alat tukar; al-āardh dapat berupa tumbuhan, hewan, dan benda-benda tidak bergerak serta semua benda yang termasuk harta.[hidayatullah.com]