8 Maret Jadi Tonggak Keadilan Bagi Perempuan Aceh

Share

Nukilan.id – Aktivis Perempuan dan Penjabat Kabid Perempuan dan Anak Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, ST., L.LM., MT, momentum Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, merupakan tonggak bagi perempuan Aceh untuk memastikan terpenuhinya rasa keadilan, terutama bagi perempuan korban kekerasan seksual.

“Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah persoalan serius. Dan sudah diperjuangkan bertahun-tahun, namun sampai hari ini, belum ada kebijakan komprehensif terkait pemenuhan hak perempuan korban kekerasan,” kata Suraiya saat dihubungi Nukilan.id, Senin (8/3/2021).

Baca juga: Hari Perempuan Internasional, Sri Mulyani: Perempuan Berhak Menjadi Apa Saja

Jadi, kata Suraiya – kita berharap bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan Kekerasan Seksual segera di sahkan, sehingga menjadi salah satu cara untuk terpenuhinya hak perempuan.

“Dan ini juga menjadi tantangan untuk perempuan yang bekerja di bidang politik,” katanya.

Tetapi, lanjutnya – kita jangan pernah menyerah, karena sebenarnya dalam darah perempuan Aceh itu mengalir semangat juang Cut Nyak Dien dan Siti Aisyah yang menjadi panutan kita. Dan mudah-mudahan semangat mereka itu menjadi penyemangat buat kita perempuan Aceh.

Baca juga: Perempuan Parlemen RI Gelar Pameran Foto dan Diskusi

Ia menceritakan, ketika konflik di Aceh, perempuan menjadi inisiator untuk mendorong proses perdamaian, hal itu dilakukan melalui kongres perempuan Aceh.

Maka hari ini, lanjutnya – ketika damai sudah terjadi, perempuan harus tetap semangat untuk memperjuangkan ruang-ruang publik, bukan hanya di ruang domestik, untuk mengaktualisasikan buah pikir mereka untuk membangun aceh yang lebih baik.

Selama ini, kata Suraiya – ada beberapa regulasi yang cukup baik yang sudah disahkan oleh pemerintah Aceh. Tetapi sampai sekarang belum bisa diterapkan dengan lengkap. Seperti Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Qanun tersebut sudah lama dan itu harus di evaluasi kembali. Dan perlu dibuat Peraturan Gubernur (Pergub) yang menjadi turunan sehingga Qanun itu bisa diterapkan.

Baca juga: Sarah Gilbert Pimpin Tim Vaksin Oxford, 66 Persen Perempuan

Ia mencontohkan, misalnya hak cuti untuk merawat istri yang melahir bagi laki-laki. di Aceh itu sudah duluan sebelum ada kebijakan nasional. Namun, sampai hari ini belum bisa diterapkan, karena belum ada pergub.

“Jadi kebijakan saja tidak cukup, tetapi implementasi lebih penting,” ujarnya

Terkait anggaran, lanjutnya – juga harus dipastikan bahwa anggarannya cukup. karena kalau cuma ada kebijakan, tetapi anggaran tidak cukup, tidak akan bisa jalan juga.

Suraiya menegaskan, bahwa persoalan perempuan bukan hanya tanggung jawab dari Dinas Pemberdayaan Perempuan. Namun, dinas-dinas lain juga harus ikut terlibat secara serius untuk menangani persoalan ini.

Baca juga: KPAI Minta Negara Hadir Cegah Anak Putus Sekolah

“karena ini persoalan semua orang, bukan persoalan Dinas Pemberdayaan Perempuan saja,” tegasnya

Sementara itu, Ia meminta pemerintah Aceh harus memastikan, bahwa tidak ada lagi peraturan apapun yang mendiskriminasikan perempuan baik itu dalam, Peraturan Walikota (Perwal), Peraturan Bupati (Perbup) dan Surat Edaran (SE).

“Pemerintah Aceh harus memastikan, tidak ada lagi, Perwal, Perbup dan SE apapun yang mendiskriminasikan perempuan,” pungkasnya.[red]

Reporter: Akhi Wanda
Baca juga: PKBI Aceh: Budaya Diam Salah Satu Sebab Kekerasan Pada Perempuan dan Anak

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News