Beranda blog Halaman 2189

Perempuan Indonesia Masih Minim Jadi Pemimpin

0
Menteri PPPA Bintang Puspayoga (NusaBali.com)

Nukilan.id – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyatakan, perempuan Indonesia masih sedikit menjadi pemimpin, yang secara tidak langsung berdampak pada rendahnya indeks kesetaraan gender.

“Kurangnya perempuan sebagai pemimpin membuat organisasi maupun institusi kurang memiliki sudut pandang perempuan, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada penyusunan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan berdampak pada rendahnya indeks kesetaraan gender,” katanya seperti dilansir dari Antara, Minggu (31/1).

Dia mengungkapkan, di sisi lain, Bank Dunia pada tahun 2012 sepakat bahwa saat perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan membuat berbagai keputusan dan kebijakan. Melalui kesempatan yang sama tersebut akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih representatif dan inklusif untuk mencapai pembangunan yang lebih baik.

Dalam kegiatan Rakernas Perempuan Pemimpin Indonesia (PPI) I Tahun 2021 dengan tema Kepemimpinan Perempuan Tangguh sebagai Pilar Bangsa Menuju Indonesia Emas Mercusuar Dunia secara virtual, Menteri Bintang mengatakan, kepemimpinan perempuan nyatanya sangat esensial bagi kesejahteraan bangsa.

“Perempuan adalah pihak yang paling mengetahui kebutuhan, permasalahan, dan solusi dari isu-isu yang dihadapi oleh kaumnya sendiri. Kepemimpinan dan pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada 2019 yang mengukur partisipasi aktif laki-laki dan perempuan pada kegiatan ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan baru menunjukkan angka 75,24.

Selain itu, Wakil Gubernur Provinsi Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati menambahkan, eksistensi perempuan dalam berbagai kehidupan tidak dapat dipandang sebelah mata. Kata dia, begitu juga dalam bidang ekonomi yang telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.

“Pemerintah Provinsi Bali selalu berupaya mengintegrasikan gender ke dalam arus pembangunan dengan cara memosisikan perempuan sebagai subjek pembangunan dan meminimalkan faktor kendala yang dihadapi perempuan, sehingga pengarusutamaan gender, khususnya dalam kepemimpinan perempuan dapat terwujud,” jelasnya.

Dia menegaskan, Pemerintah Provinsi Bali juga berupaya mengubah pandangan masyarakat yang bias gender, meningkatkan kapasitas, dan peningkatan produktivitas kerja perempuan di segala bidang. (merdeka.com)

Polemik Pilkada Serentak 2024 dan Pro Kontra RUU Pemilu

0
Polemik Pilkada Serentak 2024 dan Pro Kontra RUU Pemilu
Polemik Pilkada Serentak 2024 dan Pro Kontra RUU Pemilu

NUKILAN.ID | Jakarta – Draf Revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada menuai pro dan kontra di tengah masyarakat dan elite partai politik, termasuk pula pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam draf tersebut.

Draf RUU Pemilu dan Pilkada tersebut kini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR 2021.

Banyak elit partai politik yang saling silang pendapat terkait beberapa poin yang terkandung dalam substansi draf RUU Pemilu. Salah satu yang dipersoalkan adalah aturan baru terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinormalisasi dan diadakan pada 2022 atau 2023.

Aturan tersebut tidak ada dalam UU Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak pada 2024.

Beberapa fraksi menegaskan penolakannya terhadap usulan gelaran pilkada digelar pada 2022 dan 2023. PDIP dan PPP menyatakan menolak pilkada digelar pada 2022 dan 2023 sesuai draf RUU Pemilu. Mereka sepakat pilkada tetap digelar serentak pada 2024.

“Saya pikir di draf RUU Pemilu belum tentu dibahas dan kami Fraksi PPP berpendapat bahwa RUU [Pemilu] belum relevan untuk diubah,” kata politikus PPP Nurhayati Monoarfa kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).

Begitu pula Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Syaiful Hidayat yang menyatakan pilkada tak perlu digelar pada 2022 atau 2023. Menurutnya, pilkada serentak tetap harus dilaksanakan pada 2024 bersamaan dengan gelaran pemilihan legislatif dan presiden.

“Sebaiknya pilkada serentak tetap diadakan pada 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah,” ujar Djarot.

Meski demikian, banyak fraksi di parlemen yang mendukung usulan agar pilkada tetap digelar di tahun 2022 dan 2023 berdasarkan draf RUU Pemilu. Fraksi yang mendukung di antaranya Nasdem, Golkar hingga Demokrat.

Bahkan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berharap gelaran pemilihan pilkada dilaksanakan pada 2022.

“Tetapi kalau kita lihat periodisasinya, itu harusnya di tahun 2020 kemarin dan 2019 sudah ada pilkada, idealnya nanti gelombang kedua di tahun 2022,” kata Riza.

Tak hanya soal jadwal pilkada, salah satu poin dalam draf RUU Pemilu yakni pelarangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mencalonkan diri menjadi peserta pemilihan pemilu nasional dan daerah juga menjadi polemik. Beberapa pihak mendukung dan sebaliknya justru menolak keras.

Anggota Komisi II DPR RI dari PDIP, Junimart Girsang mengaku tidak setuju dengan usulan tersebut. Menurutnya, setiap orang berhak maju menjadi peserta pemilu sepanjang pengadilan tidak mencabut hak politiknya.

“Sepanjang pengadilan tidak memutuskan siapapun setiap orang yang tidak dicabut hak politiknya di pengadilan maka dia berhak untuk maju,” kata Junimart.

Pendapat yang berlawanan turut disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim. Luqman menilai HTI patut disetarakan dengan eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang selama ini sudah dilarang dalam UU Pemilu.

“Tujuan politik HTI sama persis dengan komunisme, yakni menciptakan kekuasaan politik internasional yang akan merobohkan bangunan negara-bangsa,” kata Luqman, Rabu (27/1).

Selain itu, poin lain yang menuai polemik terkait draf RUU Pemilu yakni soal ambang batas presiden. RUU Pemilu tetap mencantumkan ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Angka ini tak berubah dari ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Angka itu lantas ditolak dan didukung oleh beberapa pihak. Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra menjadi salah satu pihak yang menolak usulan tersebut. Putra mengusulkan ambang batas pencalonan presiden turun menjadi 0 persen.

Ia menerangkan, penurunan presidential threshold menjadi 0 persen akan membuat masyarakat memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin.

“Demokrat [mengusulkan] presidential threshold 0 persen,” kata Herzaky dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku tak mempersoalkan bila ambang batas pemilu menjadi 20 persen atau berapapun. Dasco mengatakan Gerindra menerima dan ikut ambang batas presiden yang diputuskan.

“Kalau presidential threshold juga kita sedang komunikasikan. Prinsipnya mau 20 persen, 25 persen kami (Gerindra) ikut saja,” ujar Dasco. (CNN Indonesia)