Mahasiswa Gugat UU Pemilu ke MK, Benarkah Caleg Pendatang Kurang Efektif?

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Sejumlah mahasiswa mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar syarat calon anggota legislatif (caleg) diperketat dengan mewajibkan hanya warga yang telah berdomisili di daerah pemilihan (dapil) yang boleh mencalonkan diri. Salah satu alasan utama gugatan ini adalah kekhawatiran bahwa caleg dari luar dapil tidak memahami isu-isu lokal dengan baik.

Namun, apakah benar caleg yang bukan warga asli dapil cenderung kurang efektif? Untuk mencari jawabannya, Nukilan.id menghubungi Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII).

Belum Ada Bukti Empiris

Saat ditanya apakah ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa caleg pendatang kurang efektif dibandingkan caleg asli daerah, Felia menegaskan bahwa hingga saat ini TII belum memiliki penelitian spesifik terkait hal tersebut.

“TII sendiri belum pernah secara spesifik meneliti efektivitas caleg ‘akamsi’ dibandingkan dengan caleg pendatang,” kata Felia pada Minggu (9/3/2025) lalu.

Meski begitu, menurutnya, efektivitas seorang legislator tidak hanya ditentukan oleh faktor domisili semata. Ada banyak faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap kinerja mereka setelah terpilih.

“Kalau bicara efektivitas, ada banyak faktor lain yang lebih menentukan, seperti kapasitas individu, rekam jejak politik, jaringan dengan pemerintah pusat, serta bagaimana mereka membangun komunikasi dengan konstituen setelah terpilih,” tambahnya.

Perlu Aturan yang Jelas

Selain itu, Felia juga menyoroti bahwa jika aturan domisili lima tahun diterapkan, klausulnya harus dirumuskan dengan jelas agar tidak menimbulkan multitafsir.

“Misalnya, apakah lima tahun berdomisili berarti caleg harus benar-benar menetap secara fisik di daerah tersebut? Bagaimana jika seseorang bekerja di luar dapilnya tetapi tetap memiliki keterikatan, seperti sering pulang, memiliki usaha, atau aktif di komunitas lokal?” jelasnya.

Ia juga mempertanyakan bagaimana mekanisme verifikasi domisili tersebut akan dijalankan agar tidak menjadi pasal yang justru menyulitkan proses seleksi caleg.

“Kemudian, bagaimana mekanisme verifikasinya? Apakah cukup dengan KTP atau harus ada bukti lain seperti keterlibatan sosial? Ini semua harus dipastikan agar tidak menjadi pasal yang multitafsir atau justru menyulitkan proses seleksi caleg secara administratif,” paparnya.

Lebih lanjut, Felia juga mengingatkan bahwa aturan domisili ini bisa saja memiliki konsekuensi lain yang tidak diinginkan, misalnya dimanfaatkan oleh elite politik lokal untuk mempertahankan dominasi kekuasaan mereka.

“Repot juga semisal secara KTP mereka adalah ‘akamsi’ tapi ternyata tidak pernah benar-benar tinggal di daerah tersebut,” ujarnya.

Ancaman Dinasti Politik dan Oligarki

Ketika ditanya apakah aturan domisili lima tahun bisa menjadi alat bagi elite politik untuk membatasi kompetisi dan memperkuat dinasti politik, Felia menilai bahwa privilege dalam politik memang tidak dapat dihindari. Namun, yang menjadi masalah adalah jika keistimewaan tersebut digunakan secara tidak adil untuk menguntungkan kelompok tertentu.

“Terkait dinasti politik, menurutnya itu privilege yang tak terhindarkan. Tidak ada yang salah dengan seseorang memiliki keuntungan tertentu,” katanya.

Ia menambahkan bahwa memiliki latar belakang keluarga politik atau sumber daya lebih banyak bukanlah suatu masalah, selama seseorang memiliki kapasitas yang terbukti mumpuni.

“Tidak masalah, misalnya karena berasal dari keluarga politik atau punya sumber daya lebih banyak, terlebih memang secara kapasitas terbukti mumpuni,” lanjutnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa privilege menjadi persoalan jika digunakan dengan cara-cara yang tidak sehat.

“Yang jadi masalah adalah jika privilege itu digunakan dengan serampangan, misalnya dengan mengatur regulasi agar hanya menguntungkan kelompok tertentu, mengambil jalan pintas, atau menghambat calon-calon potensial lainnya,” tegasnya.

Felia menekankan bahwa persoalan utama bukanlah sekadar domisili, melainkan bagaimana sistem politik di Indonesia dapat menjadi lebih transparan dan kompetitif.

“Jadi, menurut Felia kuncinya bukan sekadar soal domisili, tapi bagaimana sistem politik kita lebih transparan dan kompetitif,” ungkapnya.

Ia mencontohkan bahwa upaya perbaikan kualitas caleg seharusnya lebih difokuskan pada reformasi sistem kaderisasi partai, transparansi dana kampanye, serta mekanisme rekrutmen yang berbasis kapasitas.

“Misalnya, kalau kita ingin memperbaiki kualitas caleg, yang lebih krusial adalah pembenahan sistem kaderisasi partai, transparansi dana kampanye, serta mekanisme rekrutmen yang lebih berbasis kapasitas, bukan sekadar kedekatan atau asal-usul,” katanya.

Felia menutup pembicaraan dengan menegaskan bahwa tanpa reformasi sistem politik yang lebih menyeluruh, aturan seperti ini tetap bisa dimanfaatkan oleh elite politik yang sudah mapan untuk mempertahankan kekuasaannya.

“Jadi, tanpa perbaikan sistem yang lebih menyeluruh, aturan seperti ini tetap bisa dipelintir sesuai kepentingan elite politik yang sudah mapan,” pungkasnya. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News