NUKILAN.id | Banda Aceh – Tepat 150 tahun lalu, pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda berhasil merebut Istana Darud Donya, pusat pemerintahan Kesultanan Aceh. Peristiwa ini menjadi bagian dari agresi militer kedua yang dilakukan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Sebelumnya, mereka telah menguasai Masjid Raya Baiturrahman yang terbakar hebat saat perang berlangsung.
Dilansir Nukilan.id dari berbagai sumber, Pemerintah Kerajaan Belanda memulai perang dengan Aceh pada 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah. Deklarasi perang tersebut diumumkan dari atas kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di perairan Sabang. Sebulan setelahnya, pasukan Belanda di bawah komando Mayor Jenderal JHR Kohler mendarat di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, pada 6 April 1873.
Pasukan Aceh mempertahankan tanah mereka dengan gigih. Dalam pertempuran di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Mayor Jenderal Kohler tewas ditembak pada 14 April 1873, yang menjadi pukulan telak bagi moral tentara Belanda. Akibatnya, agresi militer pertama ini berakhir dengan kegagalan, dan pasukan Belanda mundur pada akhir April 1873.
Namun, kegagalan itu tidak menghentikan ambisi Belanda. Seperti yang ditulis Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-oorlog, pemerintah Hindia Belanda segera menyusun strategi baru untuk menjaga reputasi mereka di dunia internasional. Setelah menghimpun sekitar 13.000 tentara, Belanda kembali melancarkan serangan pada 9 Desember 1873 di tengah wabah kolera yang melanda.
Target utama agresi kedua ini adalah merebut Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Darud Donya, yang dianggap sebagai simbol kekuatan Kesultanan Aceh. Pada 6 Januari 1874, pasukan Belanda mengerahkan 1.400 personel untuk menyerang masjid tersebut. Meski berhasil merebutnya, masjid itu telah hangus terbakar, menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Aceh.
Perang berlanjut hingga puncaknya pada 24 Januari 1874, ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten berhasil menguasai Istana Darud Donya. Istana tersebut ditemukan dalam keadaan kosong setelah Sultan Alauddin Mahmudsyah, keluarganya, dan pengawal kerajaan mundur ke wilayah Lueng Bata, kemudian ke Samahani dan Indrapuri, sebelum akhirnya memindahkan pusat pemerintahan ke Keumala, Pidie.
Kabar keberhasilan ini segera disampaikan oleh Van Swieten melalui telegram ke Batavia dan Den Haag. Belanda kemudian mengumumkan kepada dunia bahwa Kesultanan Aceh telah ditaklukkan. Di Batavia dan Belanda, peristiwa ini dirayakan sebagai kemenangan besar.
Van Swieten mengadakan pesta di istana dengan menginstruksikan pasukan musiknya memainkan lagu “Wien Neerlandsch Bloed” sambil mengedarkan sampanye kepada para perwira. Namun, di sisi lain, rakyat Aceh tengah berduka atas wafatnya Sultan Alauddin pada 29 Januari 1874 akibat wabah kolera yang dibawa oleh pasukan Belanda.
Kendati istana telah jatuh, semangat perjuangan rakyat Aceh tetap berkobar. Perlawanan terus berlanjut di bawah pimpinan para ulama, seperti Tgk Imum Lueng Bata, Tuanku Hasyim Banta Muda, dan Panglima Polem. Perang ini berlangsung hingga Jepang masuk ke Aceh pada Maret 1942.
Paul van’t Veer menutup bukunya dengan menuliskan: “Aceh adalah daerah yang paling akhir dimasukkan dalam wilayah Pemerintahan Belanda, dan yang mula-mula sekali keluar dari padanya. Pengunduran diri Belanda pada 1942 adalah akhirnya.”
Peristiwa ini menjadi pengingat akan perjuangan rakyat Aceh yang tak kenal lelah melawan kolonialisme, sebuah warisan sejarah yang terus dikenang hingga kini. (XRQ)
Reporter: Akil