NUKILAN.id | Banda Aceh — Isu pemilihan kepala desa (Pilkades) menggunakan sistem partai politik kembali memanas setelah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengusulkan agar Pilkades mengadopsi sistem pencalonan seperti pemilihan kepala daerah hingga presiden. Doli menilai, sistem ini dapat memperkuat fondasi politik hingga ke tingkat akar rumput dan membuka partisipasi masyarakat dalam sistem politik yang lebih terstruktur.
Doli, politisi Fraksi Partai Golkar, mengungkapkan bahwa pola pencalonan di Pilkades sebenarnya telah memiliki kemiripan dengan sistem pilkada dan pilpres, meski masih dalam bentuk yang lebih sederhana. Menurutnya, sistem ini bisa menjadi jembatan bagi masyarakat desa untuk terlibat lebih dalam dalam proses politik formal dan pada akhirnya membawa stabilitas politik di tingkat desa.
Namun, gagasan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Banyak pihak khawatir bahwa penerapan sistem ini justru akan membuka pintu intervensi partai politik di desa, yang selama ini dikenal sebagai unit pemerintahan terkecil yang mandiri dan dekat dengan masyarakat.
Dalam wawancara dengan Nukilan.id, Benny Syuhada, seorang akademisi Universitas Terbuka, menekankan pentingnya menjaga netralitas dan independensi desa dari pengaruh politik partai. Benny mengingatkan bahwa kepala desa memiliki kewajiban untuk tetap independen dan tidak terlibat dalam politik praktis, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Desa adalah unit yang memiliki kearifan lokal dan potensi yang unik. Sebagai bagian dari pemerintahan terkecil di negara ini, desa harus mampu mengatur wilayahnya tanpa intervensi politik luar,” ujar Benny kepada Nukilan, Rabu (6/11/2024).
Ia juga menjelaskan bahwa dalam UU Desa secara tegas disebutkan larangan bagi kepala desa untuk terlibat dalam partai politik, termasuk menjadi pengurus atau berpartisipasi dalam kegiatan kampanye. Pasal 29 huruf g dan j secara spesifik mengatur bahwa kepala desa harus menjaga netralitasnya agar desa tidak terpolarisasi oleh kepentingan politik.
Lebih lanjut, Benny menegaskan bahwa partisipasi masyarakat desa dalam Pilkades seharusnya difokuskan pada pemilihan yang bebas dari tekanan partai politik.
“Pilkades adalah kesempatan bagi warga desa untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka tanpa adanya tekanan atau kepentingan dari luar,” tambahnya.
Usulan Pilkades menggunakan sistem partai politik ini masih menjadi perdebatan. Sejumlah pihak menilai bahwa penguatan partisipasi masyarakat dalam politik tidak harus melalui sistem partai di desa, tetapi bisa dilakukan dengan memperkuat kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan secara mandiri.
Apakah sistem politik partai akan masuk hingga ke level desa masih menjadi pertanyaan besar. Sementara itu, masyarakat desa berharap agar kearifan lokal dan independensi desa tetap dijaga sebagai ciri khas unit terkecil pemerintahan di Indonesia. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah