NUKILAN.id | Banda Aceh – Sejak dulu, micin atau monosodium glutamate (MSG) telah menjadi bahan perdebatan dalam dunia kuliner. Sebuah studi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 1995 menyimpulkan bahwa MSG, bentuk garam natrium dari asam amino glutamat, sebenarnya aman untuk dikonsumsi.
Menurut FDA, gejala yang terkait dengan MSG seperti sakit kepala atau kantuk hanya muncul pada orang yang sangat sensitif terhadap MSG, dan itu terjadi hanya jika dikonsumsi dalam jumlah besar, sekitar 3 gram atau lebih, tanpa makanan.
Tetapi, satu porsi makanan yang mengandung tambahan MSG hanya memiliki kurang dari 0,5 gram MSG, jauh di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan reaksi negatif tersebut.
Citra buruk micin dimulai dari tahun 1960-an, ketika sebuah surat dari seorang dokter Maryland memicu “Sindrom Restoran China,” yang menghubungkan gejala seperti mati rasa dan jantung berdebar dengan makanan yang mengandung MSG. Meskipun studi awal memiliki kelemahan metodologis, media waktu itu membesar-besarkan temuan tersebut, menambah stigma terhadap masakan China.
MSG sendiri, ditemukan pada awal abad ke-20 oleh ahli kimia Jepang Kikunae Ikeda, telah menjadi bahan tambahan umum dalam masakan Asia Timur dan makanan kaleng di Amerika Serikat.
Fred Cohen, seorang spesialis sakit kepala dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, menegaskan bahwa banyak penelitian yang mengaitkan MSG dengan sakit kepala menggunakan dosis yang jauh lebih tinggi dari yang biasanya dikonsumsi.
Meskipun beberapa orang dapat merasa sensitif terhadap MSG, seperti halnya dengan bahan lain seperti alkohol atau produk susu, penelitian yang jelas dan konsisten masih diperlukan untuk memahami dampak sebenarnya dari MSG pada kesehatan manusia.
Dengan begitu, sementara micin tetap menjadi bahan kontroversial, pemahaman yang lebih mendalam dan penelitian yang teliti diperlukan untuk menghilangkan stigma yang melekat padanya.
Editor: Akil
