Nukilan.id – Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Kamirzu. Atas hal itu, maka Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I dicabut dan dibatalkan.
Kasus bermula saat LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat Gubernur Aceh atas izin PLTA itu. Di mana proyek itu dipegang oleh PT Kamirzu.
Pada Agustus 2019, PTUN Banda Aceh memutuskan batal dan/atau tidak sah keputusan Gubernur Aceh No. 522.51/DPMPTSP/1499/2017, tanggal 09 Juni 2017 tentang Pemberian IPPKH dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik tenaga air Tampur-I (443 MW) seluas -+ 4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, beserta perubahannya.
Putusan itu dikuatkan di tingkat banding pada 7 Januari 2020 dan juga dikuatkan di tingkat kasasi pada 20 Juli 2020. PT Kamirzu tidak terima dan mengajukan PK. Apa kata MA?
“Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT Kamirzu,” demikian bunyi PK yang dilansir website MA, Jumat (12/11/2021).
Duduk sebagai ketua majelis Supandi dengan anggota Yosran dan Yulius. Apa alasan majelis PK? Berikut pertimbangannya:
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali II/Tergugat (Gubernur Aceh-red) telah melampaui batas kewenangan dalam menerbitkan keputusan tata usaha negara objek sengketa, karena batas maksimal luas areal izin pinjam pakai yang dilimpahkan menjadi kewenangan Termohon Peninjauan Kembali II/Tergugat adalah 5 (lima) ha.
Sedangkan luas area objek sengketa kurang-lebih 4.407 ha, sehingga seharusnya objek sengketa dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, bukan oleh Termohon Peninjauan Kembali II/Tergugat sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Bahwa secara substansi areal izin pada keputusan tata usaha negara objek sengketa terletak dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sedangkan waduk atau area genangan sebagian masuk dalam Hutan Lindung Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan sebagian lagi akan menggenangi Desa Lesten yang merupakan Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga penerbitan keputusan tata usaha negara objek sengketa bertentangan dengan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengamanatkan kepada Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk tidak mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), di mana dalam sengketa a quo pembangunan bendungan dan area genangan serta pembangunan jalan baru sebagian berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Pemohon Peninjauan Kembali juga telah mengajukan novum tapi bukti-bukti tersebut tidak bersifat menentukan karena tidak memiliki relevansi dengan fakta yuridis dalam sengketa ini. [detik]