Friday, April 26, 2024

Zona Resiko Warga Lokal Dibalik Industri Migas Aceh

*Akhsanul Khalis

Tersebarnya sebuah video di timeline media sosial yang menjelaskan keterangan beberapa warga Aceh Timur keracunan gas dan dalam kondisi kritis di rumah sakit. Isi video tersebut memperlihatkan seorang remaja perempuan meringis menahan kesakitan dan mengalami kejang-kejang akibat terhirup gas berbahaya. “Menurut investigasi sementara, limbah gas berbahaya disinyalir hasil pencucian sumur gas milik PT. Medco” (Merdeka.com, 10 April 2021).

Aktivitas produksi pertambangan yang ceroboh dan tidak terkendali sering berdampak buruk terhadap lingkungan masyarakat. Memang agak ironis, sepertinya pada kasus keracunan gas di Aceh Timur  terkesan biasa saja dan wajar (banalitas) dihadapan publik, tidak lebih seperti kecelakaan lalulintas biasa.

Pemerintah Aceh harusnya berani mengambil kebijakan jangka panjang mengurangi dampak resiko bagi warga lokal agar kasus yang sama tidak terulang lagi. Inti pembangunan tidak hanya memperhitungkan aspek efisiensi (untung rugi) ekonomi. Pemerintah sebagai regulator harus memberikan jaminan rasa aman kepada masyarakat lokal atas resiko aktivitas industri tambang atau migas.

Masyarakat resiko

Ulrich Beck dalam bukunya Risk society:Toward a New Modernity (1992), menjelaskan tantangan aspek resiko. Baginya, “dalam modernitas ada resiko yang berdampak pada semua kelas, baik itu kelompok industri atau masyarakat. Resiko pasti akan selalu muncul dari hal  berbeda-beda tetapi yang menjadi problematis terletak pada tanggung jawab resiko tersebut”.

Beck lebih lanjut menjelaskan tentang “konsep resiko sebagai sistem keamanan yang bertanggung jawab menangani bahaya akibat unsur eksploitasi di era modernisasi, karena resiko punya posisi sama tuanya dengan pembangunan itu sendiri. dan setiap periode waktu mempunyai resiko tersendiri, zaman pra- modern resikonya seperti ancaman binatang buas, bencana alam tetapi di zaman modern kontaminasi kimia, sampah nuklir, pencemaran tambang menjadi bahaya laten yang mengancam siklus kehidupan masa depan”.

Kasus polusi limbah yang mengakibatkan warga lokal mengalami keracunan gas di Aceh Timur bukanlah hal peristiwa yang wajar saja tetapi sebagai resiko serius industri pertambangan  migas dilihat pada aspek munculnya eksternalitas negatif. Masyarakat lokal terpaksa dan tidak berdaya menerima dampak langsung buruknya pengelolaan industri pertambangan migas.

Eksternalitas negatif bisa di analogikan dengan bahasa awam misalkan seorang yang membuka sebuah bisnis peternakan ayam di area padat penduduk, sudah pasti ayam mengeluarkan kotoran dan menghasilkan bau tidak sedap, bau inilah yang dikatakan sebagai polusi yang merugikan warga yang tidak punya kepentingan sama sekali dengan bisnis itu. 

Tentu ini menjadi sumber konflik antara masyarakat dan perusahaan, “ pabrik atau perusahaan terlanjur di desain tanpa konsep pengelolaan limbah sebagai bagian dari biaya internal produksi”(M.Baiquni & Susilawati, 2002). Fakta ini menunjukkan rantai pencemaran akan sulit diputuskan apabila tanpa langkah tegas, siapakah yang bertanggung jawab ?

Tanggung Jawab Pemerintah dan Perusahaan.

Sebuah film menarik berjudul Dark Waters yang alur ceritanya berdasarkan kisah nyata tentang keberanian seorang pengacara bernama Robert Bilot melawan perusahaan kimia DuPont atas kasus pencemaran senyawa kimia PFOA atau C-8 bagi lingkungan dan kesehatan warga lokal di Amerika Serikat. Robert Bilot tanpa lelah memberikan bantuan hukum untuk warga yang terdampak pencemaran selama rentang waktu 1998 sampai dengan 2017. Lebik kurang selama 20 tahun, Rob baru mampu memenangkan gugatan ganti rugi perusahaan kepada korban pencemaran.

Kisah nyata film tersebut perlu dijadikan contoh perjuangan masyarakat sipil untuk mendapatkan rasa keadilan dan memberikan sistem proteksi bagi warga lokal. Mengatasi  eksternalitas negatif  dari perusahaan pertambangan diperlukan peran pemerintah sebagai sistem legal untuk mengambil kebijakan tegas mengenai dampak buruk terhadap lingkungan dan keselamatan masyarakat.

Terkadang kebijakan lingkungan yang diambil oleh pemerintah cenderung paradoks seperti dijelaskan di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (2007) Cornelis lay. Nilai Strategis Isu lingkungan dalam Politik Indonesia.“antara logika politik dan logika lingkungan punya entitas yang saling meniadakan”.

Usaha proteksi dan intervensi pemerintah terhadap kebijakan sektor formal seperti pertambangan atau sejenisnya melalui mekanisme Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL seharusnya sebagai instrumen kontrol sekaligus komitmen Pemerintah untuk mengatur secara teknis masalah dampak lingkungan.

Namun Intervensi Pemerintah terkesan masih setengah hati dan rapuh bahkan pada jurnal yang sama, ” Pemerintah Daerah masih belum efektif mengfungsikan AMDAL lintas sektor, lintas disiplin dan lintas teritorial administrasi. Dokumen tentang AMDAL hanya dijadikan sebagai formalitas semata dan “asal jadi”.

Muncul kasus-kasus pencemaran lingkungan seperti warga yang mengalami keracunan gas di  Aceh Timur  menjadi sebuah ukuran pemerintah Aceh sebagai regulator belum siap dan tegas menyelesaikan masalah kebijakan di sektor industri pertambangan dan migas.

Upaya tanggung jawab menjaga lingkungan bukanlah perkara mudah dan butuh waktu relatif lama untuk diselesaikan, lagi pula disaat dibenturkan antara biaya produksi dengan aspek dampak lingkungan, tidak semua perusahaan sadar dan cenderung pragmatis akan aspek pertimbangan dampak lingkungan walaupun sudah melewati proses uji kelayakan seperti AMDAL.

 “Pandangan Ulrich Beck, tentang  resiko kerusakan lingkungan akibat proses produksi seharusnya menjadi hak preogratif perusahaan selain tanggung jawab pemerintah” (David Goldblatt, 2015). Karena perusahaan pertambangan pihak pertama yang mendapatkan keuntungan dari hasil eksploitasi sumber daya Alam, seperti migas.

Setiap kebijakan pembangunan pertambangan berpotensi  terhadap degradasi lingkungan, tidak mungkin berlaku secara ‘kedap air’. Semua punya kalkulasi plus dan minus ditinjau seberapa besar dampak sosial yang di timbulkan. Sehingga perlu analisis lebih lanjut antara resiko lingkungan manusia dengan konsekuensi ekonomi dan ketersediaan energi.

Sektor migas memang memberikan pemasukan daerah yang menguntungkan, sekaligus sebagai sumber energi. Apabila regulasi dalam menjamin keamanan  warga lokal atas resiko masih terabaikan sepatutnya perlu mengadopsi kebijakan alternatif yang strategis dan ramah lingkungan, sebagai langkah progresif perketat aturan atau kurangi dominasi industri di sektor energi fosil.

Penulis adalah Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img