Tak Hanya Cuaca, P2LH Sebut Deforestasi Jadi Pemicu Kekeringan Sawah di Aceh

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Musim kemarau yang telah berlangsung selama dua bulan menyebabkan ribuan hektare lahan sawah musim tanam gadu di berbagai wilayah di Provinsi Aceh mengalami kekeringan parah. Tanaman padi yang baru berusia antara satu pekan hingga dua bulan kini berada dalam kondisi kritis dan terancam puso atau gagal panen.

Laporan metrotvnews.com menyebutkan bahwa Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Selatan menjadi wilayah yang paling terdampak. Cuaca panas ekstrem dan krisis air yang melanda ketiga daerah tersebut makin memperparah kondisi tanaman padi yang sedang tumbuh.

Kondisi ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih luas, tidak hanya terhadap kehidupan ekonomi para petani, namun juga terhadap ketahanan pangan masyarakat Aceh. Jika tidak segera ditangani, ancaman ini dapat menggagalkan program swasembada pangan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah.

Menanggapi situasi tersebut, Muhammad Resqi, peneliti dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), dalam wawancara dengan redaksi Nukilan.id pada Minggu (6/7/2025), menyoroti akar permasalahan kekeringan yang kini melanda sektor pertanian di Aceh.

Resqi menjelaskan bahwa fenomena kekeringan yang terjadi saat ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Menurutnya, diperlukan pendekatan multidimensi dalam memahami bencana ekologis seperti ini.

“Pastinya dalam melihat suatu bencana ekologis seperti halnya kekeringan kami melihat dari berbagai paradigma faktor yg melatar belakangi bencana tersebut,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa kekeringan yang menyebabkan ancaman gagal panen pada musim tanam gadu tahun ini tak hanya disebabkan oleh faktor meteorologis, tetapi juga dipicu oleh kerusakan lingkungan yang kian meluas.

“Dalam hal kekeringan kami melihat adanya faktor lain yg menunjang dari kekeringan yg mengakibatkan gagal panen,” katanya.

Salah satu faktor penting yang turut memperparah krisis ini, menurut Resqi, adalah dampak dari pembangunan industri yang semakin mendekat ke lahan-lahan pertanian. Selain itu, krisis iklim global dan aktivitas deforestasi yang masif ikut berkontribusi besar dalam memperparah kondisi ekologis di Aceh.

“Disamping adanya industrialisasi di sekitar tanah persawahan, krisis iklim yg ditunjang oleh emisi gas rumah kaca dan penyerobotan hutan besar-besaran menjadi pengaruh kuat dari bencana ini,” terang Resqi.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa degradasi lingkungan, khususnya deforestasi dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), telah memicu krisis air yang serius. Menurutnya, fenomena ini bukan hal baru dan telah lama menjadi perhatian dalam berbagai kajian ilmiah.

“Banyak penelitian yang memberikan penjelasan terkait penggundulan hutan dan akibatnya pada intensitas bencana yg besar,” tambahnya.

Resqi mengungkapkan bahwa dari berbagai temuan dan analisis, dapat disimpulkan bahwa deforestasi tidak hanya merusak fungsi ekologis hutan sebagai penyimpan air dan penyeimbang iklim, namun juga meninggalkan konsekuensi jangka panjang berupa bencana ekologis yang semakin sering terjadi.

“Persoalan ini kemudian mengarah pada satu kesimpulan besar bahwa kerusakan yg terjadi akibat deforestasi memiliki konsekuensi bencana yg sangat besar dengan segala perbendaharaan jenis dan kerusakan,” pungkasnya.

Pernyataan tersebut menjadi pengingat bahwa krisis kekeringan yang melanda Aceh saat ini adalah hasil dari akumulasi kebijakan yang abai terhadap lingkungan. Penanganan darurat mungkin perlu dilakukan segera, tetapi tanpa upaya serius memperbaiki tata kelola hutan, air, dan ruang hidup, bencana serupa bisa terus berulang. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News