NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Ketua Ikatan Alumni Ilmu Pemerintahan USK, T. Auliya Rahman, menyampaikan kritik terhadap rencana Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal yang mendeklarasikan program menjadikan Banda Aceh sebagai “Kota Pusat Parfum Dunia”.
Melalui sebuah surat terbuka yang diterima Redaksi Nukilan.id, Auliya yang kini sedang menempuh Program Magister Islam Pembangunan dan Kebijakan Publik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut menyebut gagasan tersebut memiliki sejumlah persoalan mendasar.
“Surat terbuka ini saya tulis sebagai bentuk rasa hormat saya kepada ibu serta perhatian saya atas rencana program yang baru ibu deklarasikan, yaitu menjadikan Banda Aceh sebagai Kota Pusat Parfum Dunia,” tulisnya pada Selasa (9/9/2025).
Auliya menegaskan dirinya memahami mimpi besar untuk mengembalikan kegemilangan Nilam Aceh di masa lalu. Namun, menurutnya ada beberapa hal yang luput dari perhatian Illiza. Pertama, kata dia, program ini tidak memiliki akar sejarah yang kuat serta membutuhkan biaya branding yang besar.
“Pendeklarasian Banda Aceh sebagai Kota Parfum Dunia saya rasa tidak memiliki akar sejarah yang kuat, sehingga akan dibutuhkan banyak tenaga dan biaya untuk membrandingnya,” ujarnya.
Kedua, Auliya menilai Nilam Aceh bukanlah milik Banda Aceh. Ia menyebut, sejak masa kolonial Belanda hingga kini, perkebunan nilam justru berpusat di Tapaktuan, Calang, dan Lhokseumawe, bukan di Banda Aceh.
“Sehingga akan sangat lucu jika identitas baru tersebut dipaksakan,” tulisnya.
Ketiga, ia mengkhawatirkan monopoli harga nilam jika program tersebut benar-benar dijalankan. Hal ini menurutnya akan memudahkan adanya permainan kotor yang dilakukan oleh Toke-toke besar di Banda Aceh dalam mengontrol dan mempermainkan harga Nilam.
“Tentu saja jika monopoli ini terjadi yang sangat dirugikan adalah petani di daerah,” kata Auliya.
Keempat, ia mengingatkan agar pemerintah tidak latah dengan tren sesaat. Ia menyinggung program Pasar Batu Cincin di Ulee Lheue yang kini terbengkalai.
Adapun pada poin terakhir, Auliya menawarkan solusi alternatif. Menurutnya, branding Banda Aceh sebagai Kota 1000 Warung Kopi jauh lebih realistis.
“Dewasa ini kita melihat bahwa Warung Kopi di Aceh sudah tidak lagi dipandang negatif karena bukan lagi menjadi tempat orang buang-buang waktu tapi juga tempat orang-orang bersantai, rapat, bahkan tempat WFC,” tulisnya.
Auliya menambahkan, perputaran uang dari wisata warung kopi juga besar dan sudah dikenal luas oleh masyarakat lokal maupun luar. Pemerintah hanya perlu memperkuat regulasi ruang bebas rokok, jam kerja, zakat penghasilan, serta pelayanan ramah perempuan dan anak.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa meski bukan warga Banda Aceh, kota ini telah menjadi rumah keduanya.
“Besar harapan saya semoga tulisan ini sampai ke ibu, karena mengingat beberapa teman saya juga ada yang bersama ibu,” tulisnya.
Untuk diketahui, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, mendeklarasikan Banda Aceh sebagai produsen parfum dunia. Pernyataan tersebut ia sampaikan saat menjadi keynote speaker dalam Semiloka Banda Aceh Kota Parfum yang digelar di Universitas Syiah Kuala (USK), Sabtu (6/9/2025) lalu.
Sementara itu, Wakil Rektor I USK, Agussabti, menyambut baik deklarasi identitas baru Banda Aceh sebagai Kota Parfum. Ia menilai langkah tersebut mampu mengangkat kembali keunikan lokal Aceh yang sempat tenggelam.
“Dulu, komoditas nilam nyaris terlupakan, namun kini berhasil bangkit dan terkenal kembali. Kini, upaya ini tidak hanya menjadi concern USK, tetapi telah menjadi gerakan global yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah kota, pengusaha, jejaring bisnis, hingga masyarakat luas untuk menjadikan Banda Aceh sebagai ikon baru,” katanya.
Acara semiloka ini turut dihadiri Wakil Rektor I USK Agussabti, Kepala Atsiri Research Center (ARC)–PUTPT USK Syaifullah Muhammad, Direktur Utama PT Global Mandiri USK Rizalsyah, Chairman Iconpeori Iskandar Abdul Samad, Pembina Yayasan Razma Jayana Agrikultur Teungku Razuan, serta para mahasiswa. (XRQ)
Reporter: Akil