Nukilan.id – Pengamat Politik dan Ekonomi Taufik Abdur Rahim mengatakan, ekonomi politik anggaran dapat dipastikan mengabaikan efektifitas dan sangat tidak maksimal akibat dan program proyek dikendalikan oleh kepentingan politik dan ekonomi,”
“Ini semua berada dibawah kepentingan dan dikendalikan oleh pihak individu atau kelompok tertentu,” kata Taufik kepada Nukilan.id di Banda Aceh Kamis, (3/2/2022)
Taufik menyampaikan itu berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik, bahwa kemiskinan Aceh selama bulan Maret-September 2021 meningkat sebanyak lebih 16.000 orang, atau sebesar 15,33% menjadi 15,53%. Secara nasional berada diurutan kelima setelah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua.
Sedangkan untuk Sumatera–kata Taufik-Aceh Masih berada diposisi teratas sebagai daerah termiskin di Sumatera.
Menurut Taufik, kemiskinan ini adalah realitas kondisi makro ekonomi Aceh sedang dalam kondisi yang sangat buruk, meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2021 sebesar Rp 17,1 triliun dan sisa anggaran (SiLPA) pada akhir tahun ditekan secara paksa menjadi Rp 4,4 Triliun.
“Secara makro ekonomi masyarakat, dengan bertambahnya jumlah kemiskinan itu bermakna tidak adanya penambahan modal atau investasi yang mampu melakukan stimulus ekonomi rakyat atau masyarakat luas,” kata Taufik.
Dijelaskan, masyarakat Aceh tidak memegang uang kas/tunai untuk mempermudah transaksi ekonomi. Dengan kata lain, peredaran uang (velocity of money) pada masyarakat sangat rendah.
“Secara prinsip moneter, uang dikuasai oleh orang, pihak dan kekompok tertentu yang melakukan transaksi ekonomi atau jual-beli (demand-supply), sehingga tidak mendorong atau mendongkrak stimulus makro ekonomi masyarakat Aceh,” jelas Taufik.
Termasuk upaya irrasional uang Aceh dibawa keluar Aceh melalui investasi infrastruktur ekonomi di luar Aceh, termasuk berfikir untuk membuka operasional bank milik Pemerintah Aceh sebagai ekspansi bisnis. Sementara tidak perduli atau memikirkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat Aceh.
“Prinsip perbankan tetap bisnis dan “profit oriented”, mengejar keuntungan yang dinikmati para pengelola bisnis keuangan dan perbankan,” katanya.
Masih banyak hal yang menyebabkan Aceh semakin miskin, termamsuk infrastruktur keuangan dan perbankan yang tidak ramah dengan rakyat, juga tidak tersedia kredit usaha kecil dengan bunga rendah.
Katanya, secara prinsip rakyat Aceh pada skala akal rumput tidak memegang uang tunai. Secara makro ekonomi jelas, kemiskinan Aceh disebabkan banyak hal, termasuk Pemerintah Aceh di bawah pengelolaan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) gagal mengelola dan mengurus APBA, kebijakan anggaran atau politik anggaran yang dijalankan tidak pro rakyat.