Nukilan.id – Mantan Ketua Badan Reintegrasi Aceh Prof. Drs. Yusny Saby, Ph.D mengatakan, keberadaan lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) bersifat semntara (Ad hoc) yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah pasca konflik di Aceh, dan sebelumnya lembaga ini bernama Badan Reintegrasi Damai Aceh.
“Lembaga Ad hoc seperti Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, Komite Peralihan Aceh (KPA), dan Badan Reintegrasi Aceh, semua bersifat Lembaga sementara,” kata Prof. Yusny Saby kepada Nukilan.id di Ruang kerja Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Selasa (03/8/2021).
Kata Prof. Yusny, persoalan korban Konflik dan kombatan di BRA dianggap sudah selesai semua dalam jangka waktu 5 tahun selepas perdamaian Aceh.
“Lembaga seperti BRA ini, digunakan untuk masa transisi usai gawat darurat. Lembaga tersebut paling lama 5 tahun, seperti halnya BRR dulu 4 tahun, dan itu sama,” jelas Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dijelaskan Prof Yusny, semasa dirinya menjabat ketua BRA, sudah ada yang namanya exsit strategis dan harus selesai dengan jangka yang sudah di tentukan, yakni dalam jangka waktu 5 tahun.
Setelah itu, tugas-tugas atau pogram yang ada di BRA di alihkan ke dinas terkait, seperti dinas Sosial, Pendidikan, Ketenagakerjaan dan lain sebagainya, dibawah organ resmi Pemerintah Aceh.
“Sedangkan BRA adalah lembaga organ Cangkokan sementara, kemudian sekarang sudah menjadi alat politik, itu yang saya tidak paham,” ujar Prof. Yusny Saby.
Keberadaan BRA tersebut–kata Prof Yusny–dirinya kerap menjelaskan di setiap diskusi atau seminar, bahwa BRA dalam jangka waktu 5 tahun sudah selesai.
Menurutnya, jika masalah konflik yang selalu didengungkan, itu tidak akan menyelesaikan masalah, hanya memperpanjang masalah, atau membuat masalah. “Seharusnnya lembaga ini sudah tutup,” kata Prof Yusny Saby.
Lebih jauh Prof Yusny menjabarkan apabila sampai sekarang masih didengungkan terkait permasalahan korban konflik dan eks kombatan harus di kedepankan, berarti konflik itu sudah menjadi komoditi, bukan lagi solusi.
“Sekarang ini bukan berbicara masalah konflik lagi, akan tetapi bagaimana menyehatkan dan memakmurkan masyarakat secara merata dan menjadi satu untuk Aceh semuanya, tidak mungkin berbicara secara terus menurus itu,” jelas Prof Yusny.
Katanya, tidak ada lagi pembangunan diskriminasi, yang ada diskriminasi antara miskin dan kaya. Contoh, antara yang ada pendidikan dengan yang belum cukup pendidikan yang mana harus diprioritaskan, bukan melulu dengan alasan konflik atau tsunami, lihat saja dia miskin atau tidak.
Oleh karna itu–lanjutnya–diperlukan kearifan lokal dan kelapangan dada, apakah kita ingin menyelesaikan masalah atau ingin menyambung masalah secara terus menerus.
“Dengan menjalankan lembaga yang bersifat sementara secara terus menerus, orang lain kan bisa mencurigai, kenapa harus seperti itu, tidak selesai-selesai dan tidak ada tutup buku sampai sekarang, apa keuntungannya, ini kan tidak sehat,” Jelasnya.
Berbicara korban konflik, seluruh rakyat Aceh mengalaminya, bukan satu kelompok saja yang menjadi korban, mulai dari korban yang tidak bisa bekerja, korban tidak bisa sekolah, korban dibakar rumahnya, korban dibakar hartanya, sehinga ekonomi tidak bisa hidup, semua masyarakat di Aceh merasakan hal yang sama.
“Sekarang ini tidak lagi memfokuskan satu kelompok saja, semuanya itu sama, dan bantuan harus ada kriterianya, penduduk Aceh ini tidak ada bedanya,” ujarnya.
Jadi- bukan berbicara masalah konflik lagi tapi harus ada pemerataan dan kriteria seperti apa yang harus dibantu.
“BRA dibuat untuk damai, agar tidak ada lagi masalah, sekarang sudah damai. jika BRA terus berkelanjut jangan-jangan datapun tidak pernah habis, masih ada data yang tidak ada habis habisnya,” demikan Prof Yusny Saby.[]
Reporter: Irfan