Prabowo Usulkan Koruptor Bertobat Dimaafkan, Nicholas: Kepentingan Siapa?

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Korupsi di Indonesia terus menjadi permasalahan kompleks yang membawa dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya mencederai nilai moral, kejahatan ini juga menimbulkan ketimpangan sosial dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Beberapa waktu lalu, pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pemberian kesempatan kepada koruptor untuk bertobat dengan cara mengembalikan uang hasil korupsi mengejutkan publik. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato Presiden di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Mesir, yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (19/12/2024).

Pernyataan ini memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat, mengingat korupsi telah menjadi masalah serius yang membutuhkan penanganan tegas dan menyeluruh.

Untuk melihat wacana ini lebih dalam, Nukilan.id menghubungi Nicholas Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia. Dalam pandangannya, Nicholas berpendapat bahwa korupsi bukan hanya soal individu yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga menciptakan krisis multidimensional bagi bangsa.

“Korupsi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara, memperlebar ketimpangan sosial, dan menghambat pembangunan berkelanjutan. Apakah kejahatan seperti ini bisa dimaafkan begitu saja? Memaafkan koruptor ini oleh siapa dan untuk kepentingan siapa sebenarnya?” ujarnya saat diwawancarai pada Sabtu (4/1/2025).

Ia menegaskan bahwa kejahatan korupsi memiliki dampak sistemik yang merugikan banyak pihak. Nicholas mempertanyakan apakah pemerintah yang seharusnya melayani rakyat rela memaafkan para koruptor yang telah mengkhianati amanah publik. Ia juga menggugat, apakah masyarakat siap memberikan maaf kepada mereka yang telah menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan negara secara luas.

“Memaafkan koruptor adalah isu kompleks yang melibatkan pertimbangan moral, hukum, dan sosial. Sebagian kalangan berargumen bahwa memaafkan adalah langkah memberi kesempatan untuk perubahan. Namun, bagaimana mungkin kejahatan yang membawa dampak besar selesai hanya dengan kata ‘maaf’?” lanjutnya.

Menurut Nicholas, koruptor sering bekerja dalam jaringan besar yang memengaruhi kebijakan publik dan menghambat alokasi sumber daya yang seharusnya dinikmati rakyat. Dalam konteks ini, memaafkan koruptor sama saja dengan mengabaikan hak-hak masyarakat yang telah dirugikan.

“Pertanyaan tentang memaafkan koruptor bukan sekadar persoalan hukum, tetapi menyentuh inti dari keadilan sosial. Apakah keadilan bagi korban korupsi dapat tercapai tanpa akuntabilitas yang tegas?” tutupnya.

Nicholas berharap, pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi renungan, terutama bagi pemerintah, agar tidak bersikap lunak terhadap pelaku korupsi. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News