Nukilan.id – Polemik waktu penyelenggaraan pilkada di Aceh antara tahun 2022 atau 2024 yang kini tengah berlangsung mestinya diselesaikan dari aspek hukum.
Pendapat itu disampaikan pakar hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Kurniawan S, S.H.,LL.M sebelum ia mengikuti Rapat Dengar Pendapat bersama pakar hukum terkait tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2022 di Aceh di Ruang Rapat Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (17/2/2021).
“Mungkin ruang debatnya bukan pada 2022 atau 2024, ya. Kalau saya lebih melihat pada aspek hukum, bahwa pada Pasal 8 Ayat 2 UUPA disebutkan dalam hal rencana pembentukan rancangan undang-undang oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan Aceh terlebih dahulu berkonsultasi dan memerhatikan pertimbangan DPRA. Itu yang kemudian menjadi norma khusus di Aceh, yang itu tidak dimiliki oleh daerah yang lainnya,” terang Kurniawan.
Kekhususan Aceh mesti dihormati, dan keharusan ini sebenarnya sudah diatur secara hukum.
Negara, dalam regulasi yang telah ada, menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan/atau bersifat istimewa. Karena ada pengakuan khusus dan bersifat istimewa itulah kemudian Aceh diatur berbeda.
“Aceh, Papua, diatur berbeda,” kata Kurniawan.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap kekhususan Aceh sudah diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), bahwa setiap kebijakan untuk Aceh yang hendak dibuat DPR harus terlebih dahulu berkonsultasi dan memerhatikan pertimbangan DPRA.
Tetapi menurut Kurniawan kalau Undang-undang yang mau dibuat ada berkaitan dan berdampak secara langsung dengan daerah selain Aceh, tidak ada persyaratan bahwa DPR harus berkonsultasi dengan DPRA dan memerhatikan pertimbangannya.
Kalau DPRA menganggap jadwal pelaksanaan pilkada di Aceh berhubungan dengan kekhususan, maka boleh saja meminta DPR berkonsultasi terlebih dahulu.
Seandainya konsultasi tidak dilakukan, DPRA dapat mengajukan upaya pembatalan kebijakan.
“Pengajuannya ke Mahkamah Konstitusi. Dengan dasar argumen ada prosedur yang tidak ditempuh DPR,” ujarnya.
Ditanyai mengapa ada persoalan dalam konsultasi antarlembaga tersebut, Kurniawan menduga penyebabnya adalah ego lembaga.
“Mungkin ada egosentris dari DPR-RI. Kenapa mereka yang lembaga tinggi negara harus berkonsultasi dengan lembaga di tingkat daerah. Tapi itu, kan, perintah undang-undang sebagai perlakuan khusus bagi Aceh dan sudah disebutkan dalam UUPA,” pungkas Kurniawan yang kemudian pamit masuk ke ruang rapat.[red]