Nukilan.id – Gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan sebagian wilayah pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 (17 tahun silam), menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Aceh.
Gempa berkekuatan 9,1 Magnitudo terjadi hanya dalam waktu 30 menit, kemudian disusul dengan gelombang Tsunami dengan ketinggian hingga 30 meter dan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam. Akibatnya, lebih dari 120 ribu orang meninggal dunia dalam bencana dahsyat tersebut.
Saat itu, masyarakat Aceh merasakan kepedihan yang mendalam akibat kehilangan keluarga, kerabat, tetangga dan orang-orang terdekat.
Seperti halnya, Reza Fahlevi, S.Pd.I, warga Gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Di umur 9 tahun dirinya sudah kehilangan kedua orang tua, adik-adik dan kakak kandungnya.
“Saat kejadian saya sedang berada di Lambada Lhok, waktu itu saya masih berumur 9 tahun. Saat mengetahui air laut naik, saya langsung dibawa lari oleh Paman dengan menggunakan sepeda, saya berdiri di belakang sepeda Paman. Ketika saya menoleh ke belakang terlihat ombak laut begitu besar dan hitam dengan suara gemuruh ombak yang menggelegar. Kemudian Paman saya mengayuh sepeda dengan cepat terburu-buru dan panik, sehingga betis kaki saya sampai terluka akibat gesekan ban sepeda. Paman terus mengayuh sepednya dengan cepat dari Lambada Lhok ke arah Gampong Cot Paya menuju ke Gampong Gle Inim,” ungkap Reza mecnceritakan kisahnya.
“Dalam kejadian itu, kedua orang tua saya, kakak, dan dua adik saya mereka meninggal semua dibawa gelombang tsunami. Akhirnya, tinggal saya sendiri,” sambungnya.
Oleh sebab itu, kata Reza, sampai sekarang saya masih sangat trauma dan sedih ketika mengingat kejadian tersebut, meskipun sudah 17 tahun berlalu, namun kesedihan dan trauma masih terasa.
“Bahkan ketika goyangan tempat tidur pun terasa seolah-olah seperti gempa,” katanya.
Kendati demikian, Reza Fahlevi tidak patah semangat, pada tahun 2018 dirinya sukses menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana dari Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Dan saat ini dia menjadi Tenaga Pendidik/Guru di Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Desa SIM, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Menurutnya, menjadi anak korban tsunami itu tidak mudah, apalagi yang tidak ada lagi keluarga ataupun kedua orang tua yang membimbing mereka, pasti akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif.
“Kalau saya dulu tidak mendapatkan bimbingan dari keluarga pasti saya akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Karena hari ini saya lihat ada sebagian anak korban tsunami yang tidak bekerja, dan juga yang memakai narkoba, hal ini terjadi karena mereka tidak ada perhatian khusus dari keluarga, dan juga akibat tidak ada yang mengontrol kehidupan mereka setelah kehilangan kedua orang tuanya saat tsunami,” tutur Reza.
“Dan saya sendiri juga pernah didatangi Ibu di dalam mimpi saya, Ibu bilang bahwa dirinya masih hidup sampai sekarang. Namun hal itu saya kembalikan semua kepada Allah SWT, karena hanya Allah yang tahu, pasti suatu saat Allah akan mempertemukan saya dengan orangtua, dan saya kan terus berusaha mencarinya,” ucap Reza.
Oleh karena itu, Reza berharap kepada seluruh anak tsunami Aceh jangan pernah putus asa, teruslah berjuang dan semangat dalam meraih cita-cita untuk masa depan yang lebih baik.
“Walaupun kita hidup tanpa keluarga dan saudara yang telah duluan meninggalkan kita, namun saya yakin kita mampu bangkit untuk menunjukkan kepada dunia kalau kita tidak pernah putus asa,” tutup Reza.
Sementara itu, Reza menyampaikan, dalam memperingati hari Tsunami Aceh yang jatuh pada 26 Desember setiap tahunnya itu, dirinya bersama masyarakat Gampong Lambada Lhok rutin melaksanakan ziarah ke kuburan masal di Gampong Labuy.
“Kegiatan ziarah kubur ini kita mulai dari jam 9.00 WIB pagi dengan doa bersama, baca yasin dan mendengar ceramah. Dan itu rutin kami lakukan setiap tahunnya,” pungkas Reza. []
Reporter: Hadiansyah