Sunday, April 28, 2024

Kisah Kakao Organik Papua dari Kampung Berap

Nukilan.id – Namanya Kampung Berap, terletak di Distrik Nimbokrang, dua jam menggunakan kendaraan bermotor dari Kota Jayapura, Papua. Sejak lama, salah satu hasil tanaman andalan kampung ini adalah kakao atau cokelat. Mereka tanam secara organik.

Bagi warga Jayapura seperti saya, kampung ini lebih dikenal sebagai Kali Biru. Kali Biru adalah nama sungai yang mengalir di wilayah kampung. Berhulu di perbukitan Lykano yang masih tertutup hutan hijau, air jernih membentuk aliran sungai berwarna hijau kebiru-biruan. Tempat ini selalu ramai di akhir pékan.

Daya tarik kampung Berap ternyata bukan hanya pada Kali Biru. Di sini, ada pertanian cokelat organik yang terus warga pertahankan.

Cokelat pertama kali diperkenalkan di wilayah ini oleh Pemerintah Belanda. Pada 1960-an, saat Papua masih di bawah penguasaan Belanda, wilayah Berap dan sekitar dikenal dengan nama Genyem. Genyem merupakan ibukota Onderafdeling Nimboran.

Onderafdeling Nimboran ada di bawah Afdeling Hollandia yang sekarang dikenal sebagai Jayapura. Penanaman cokelat menjadi salah satu program ekonomi desa.

Budidaya cokelat pun berlangsung hingga kini. Mereka bibitkan coklat dengan biji dari buah lokal yang tumbuh alami, dan dirawat tanpa pupuk dan pestisida.

“Kita suka dengan cokelat biji yang kita tanam karena ini lebih bagus. Perawatan gampang, yang penting kasi bersih saja,” kata Miriam Manggo, warga Berap, belum lama ini.

Mereka bertahan dengan cara ini di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan teknik pembibitan sambung pucuk.

Teknik sambung pucuk menggunakan tanaman lokal sebagai batang bawah yang disambung dengan bibit unggul sebagai batang atas.

Cara ini untuk meningkatkan produksi. Selain mendatangkan bibit unggul, pemerintah juga membantu petani dengan pupuk. Namun petani di Berap lebih percaya pada pengalaman mereka sendiri.

Pasangan Yafet Yosua dan Elisabet Tarkuo juga berpendapat sama. Meski perlu waktu lebih lama untuk berbuah, usia produksi cokelat organik dengan tanam biji menurut mereka lebih lama.

“Sambung pucuk buah bagus, cuma daya tahan cokelat lima enam tahun perlu ganti lagi. Tenaga sudah makin tua. Siapa mau tanam lagi?” kata Elisabeth Tarkuo.

Tanaman cokelat yang tumbuh berpuluh-puluh tahun dan masih menghasilkan membuat mereka yakin menanam organik lebih baik.

Kondisi tanah cukup subur menghasilkan buah cokelat yang bagus. Kalau pakai pupuk bagi mereka hanya menciptakan ketergantungan baru.

Ada sekitar 165 rumah tangga di kampung ini. Mereka bagian dari lima marga yaitu Kasse, Buwe, Tarkuo, Yoshua, Manggo. Tiap marga menguasai tanah adat dengan batas-batas yang sudah diketahui turun temurun. Masing-masing rumah tangga menanam di tanah marga.

“Tergantung dari keluarga itu. Saya ambil lahan di sini, oh di sana. Ya silakan. Sesuai kemampuan. Lahan bekas kita tidak bisa masuk di situ. Itu sudah ditandatangani oleh dia. Dia punya turunan yang boleh lanjut di situ. Karena dia yang buka hutan, generasinya yang boleh lanjut,” kata Yafet Yosua.

Bersama Yafet dan anak perempuannya, Imelda, saya melihat kebun cokelat mereka di pinggir kampung. Di dalam kebun seluas tiga hektar ini, cokelat tak tumbuh sendiri, ada beragam tanaman. Ada pisang, sayur lilin, pinang, durian, keladi sampai jagung. Ada yang berbuah, ada juga baru ditanam.

Karena sistem tumpang sari, jarak tanam bisa empat hingga tujuh meter. Tanaman lain berfungsi sebagai pelindung dari panas matahari, terutama saat cokelat masa awal pertumbuhan.

“Kalau terbuka, ia lambat, kena panas. Ia terima panas langsung. Jadi perlu ada tanaman lain untuk melindungi.”

Menurut dia, bibit cokelat terbaik berasal dari buah yang tumbuh di bagian batang. Kulit buah sudah masak dibuka, tutup kembali dan letakkan di tanah atau kayu hingga membusuk dan tumbuh kecambah. Perlu waktu sekitar lima hari untuk proses ini. Kalau sudah berkecambah, masukkan bibit-bibit ke dalam lubang tanam yang sudah disiapkan.

Dalam kepercayaan masyarakat setempat, batang pohon belimbing hutan khusus untuk membuat lubang menanam cokelat. Jenis pohon ini dipilih karena cara berbuah mirip cokelat. Saat membuat lubang, mereka sekaligus berharap buah cokelat selebat buah belimbing hutan.

Perlu waktu dua hingga tiga tahun untuk berbuah. Sinar matahari dan kadar air dalam tanah cukup serta humus di sekitar pohon, sudah cukup untuk menghasilkan buah bagus.

Trik yang biasa digunakan Yafet antara lain, tak melukai akar coklat saat pembersihan hingga tidak memangkas pohon saat mulai tumbuh bunga yang siap berbuah.

Cokelat berbuah sepanjang musim. Hampir tiap bulan warga bisa panen coklat dengan hasil bervariasi tergantung banyaknya pohon.

Model jual beli

Di halaman rumah, warga tampak menjemur biji-biji cokelat. Meski tampak sudah kering, Miriam Manggo tetap menjemur biji cokelatnya. Makin sedikit kadar air, harga makin bagus.

Miriam cerita, ada sekitar 20 pohon cokelatnya sedang berbuah. Usia pohon-pohon ini sekitar sembilan tahun. Saat bukan musim panen raya, buah sedikit. Namun, katanya, tiap bulan selalu bisa panen.

“Yang masak kita petik. Satu atau dua begitu kita taru dulu.”

Pembeli cokelat datang ke kampung, mereka dari Kakao Kita.

Kakao Kita, satu unit bisnis Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD). YPMD berdiri pada 1984, lembaga ini pertama kali dipimpin George Junus Aditjondro.

Dua program utama mereka bersama masyarakat adalah penguatan ekonomi dan infrastruktur air bersih. Lembaga ini rutin menerbitkan penelitian dan majalah dengan nama Kabar dari Kampung (KdK).

Sampai saat ini di bawah kepemimpinan Decky Rumaropen, YPMD terus melakukan kerja-kerja penguatan ekonomi masyarakat di Papua. Di bawah bendera Kakao Kita, YPMD mengembangkan perdagangan cokelat organik.

Saat tiba di Kampung Berap, tim Kakao Kita langsung menuju rumah Yafet Yosua. Rumah itu sudah ditetapkan sebagai stasiun penimbangan di Kampung Berap. Satu per satu warga berkumpul. Mereka membawa serta cokelat. Jumlahnya beragam, semua dalam bentuk biji kering.

Setelah sebagian besar warga berkumpul, mulai penimbangan. Tim Kakao Kita terlebih dahulu mengukut kadar air. Segenggam biji cokelat diambil dan dimasukkan ke dalam alat ukur.

Kadar air dicatat, sampel dikembalikan ke wadahnya, lalu ditimbang. Nama petani, kadar air, berat biji cokelat, dan tanggal pembelian dicatat dalam secarik lakban kertas, lalu ditempel pada wadah biji cokelat.

“Markus Manggo, KA 4,1%, Berat 3 Kg, 30/10/2021.” “Gheby, KA 5,7%, Berat 12,5 Kg, 30/10/2021.” “Elisabeth, KA 4% Berat 7 Kg, 30/10/2021.”

Usai semua biji coklat ditimbang, baru pembayaran. Coklat kering dengan kadar air di atas 5% dibeli Rp 29.000 perkilogram. Kadar air 5%, 4%, dan 3% berturu-turut Rp30.000, Rp31.000, dan Rp32.000 perkilogram. Makin sedikit kadar air, harga makin tinggi.

Satu persatu petani menerima uang. Sebagian hasil penjualan mereka tabung. Petani bebas menentukan besarantabungan. Kakao Kita dan para petani bekerjasama dengan BPR Phidectama Abepura menjadikan program menabung sebagai bagian dari perdagangan cokelat ini. Tim Kakao Kita lalu mengangkut biji-biji cokelat ke gudang mereka di Kehiran, Sentani.

Konsep perdagangan antar rakyat

Bersama dengan cokelat milik petani dari Taja, Klaisu dan Bring, coklat Berap mulai ekspor ke Jepang pada 2012.

Patricia Makabori bercerita, kerja YPMD bersama petani coklat. Dia sudah 21 tahun bersama YPMD.

“Kebiasaan pertanian masyarakat di Papua kan organik, jadi kita tinggal sandingkan dengan pasar. Permintaan Jepang langsung matching,” katanya.

YPMD terhubung dengan pasar Jepang melalui The Asian People’s Fund for Mutual Benefit (APF). Ini bentuk solidaritas dan pertukaran antara penduduk di negara maju yang pendapatan perkapitanya lebih tinggi, dengan penduduk di negara berkembang.

APF memperkenalkan People to People Trade atau perdagangan antar rakyat. Produsen langsung dihubungkan ke konsumen dan keluar dari jalur perdagangan konvensional. APF berawal dari perdagangan pisang antar masyarakat di Pulau Negros Filipina dengan koperasi konsumen di Jepang pada 1989.

“Itu konsep yang YPMD kembangkan untuk bisnis coklat ini. Di dalamnya ada social development dan bussines development, dengan asumsi besar bahwa bisnis sangat ditentukan oleh sosial development, terutama di Papua.”

Tiap hadir di forum APF, YPMD mempromosikan produk Papua termasuk coklat. Tahun 2010, dua anggota APF, Alter Trade Japan Inc. (ATJ) dan Green Coop Consumers’ Cooperative Union ke Papua. Mereka menyatakan komitmen membeli produk organik petani.

Kualitas dan harga disepakati bersama. YPMD bertugas mendampingi sekaligus membeli cokelat dari petani dan mengirim ke Jepang.

Pasar di Jepang menentukan kebutuhan dan mengirim uang ke YPMD. YPMD memakai untuk membeli cokelat dari petani. Jumlah yang dikirim bergantung pada ketersediaan biji cokelat di petani.

“Ada berapa, itu yang dikirim. Kan cokelat dalam setahun dua kali panen. Misalkan panen pertama ada 12 ton, tidak apa-apa. Karena mereka paham bahwa cokelat organik memang tidak banyak tetapi sepanjang tahun ada.”

M I Rahmanto dkk dari Universitas Cenderawasih Jayapura menulis perdagangan cokelat ini dalam jurnal berjudul Rural development in Papua: lesson learned from cocoa farming. Dia sebutkan, sistem perdagangan cokelat ini yang dibangun atas dasar kemanusiaan dan prinsip-prinsip komunitas.

Konsep perdagangan antar rakyat jadikan kakao sebagai pemersatu antar petani sebagai produsen dan konsumen di Jepang. Hal ini sesuai konsep pengembangan masyarakat yang lama dikembangkan YPMD di Papua.

Kampung-kampung yang menjual cokelat ke Kakao Kita adalah kampung-kampung yang pernah dimasuki YMPD. Petani pun berkomitmen pada pertanian cokelat organik.

Di Kampung Berap, tiap tahun konsumen Jepang datang dan mengunjungi petani. Mereka melihat langsung bagaimana cokelat yang mereka konsumsi ditanam dan dirawat para petani. Pada kesempatan sama, petani juga menyampaikan harapan mereka soal pengembangan pertanian.

YPMD menyertakan ada program menabung karena ada temuan kalau uang yang dihasilkan dari perdagangan habis dipakai. Meski awalnya sulit, petani akhirnya terbiasa menabung. Tabungan ini untuk kebutuhan mendadak seperti kesehatan, pendidikan, atau modal usaha.

“Cokelat jadi alat organisir bagi masyarakat untuk menabung dan di saat sama masyarakat mendapat uang tunai.

Program menabung tidak hanya dari penjualan cokelat. YPMD juga menyediakan truk yang bisa digunakan para petani yang kesulitan mengakses transportasi publik untuk menjual hasil kebun non coklat ke pasar.

Petani tidak hanya menanam cokelat. Di dalam kebun mereka juga ada tanaman lain seperti buah-buahan, pisang, ubi hingga sayuran.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember juga membantu YPMD mengukur kualitas biji cokelat para petani.

“Waktu itu pimpinannya Profesor Sri Mulato. Kita kirimkan sampel. Dua sampel yang kita kirim, sampel yang difermentasi dan sampel tidak difemerntasi. Hasilnya, cokelat Papua grade triple A untuk yang difermentasi dan yang tidak difermentasi double A. Hanya Papua yang dapat triple A untuk yang difermentasi.”

Untuk meningkatkan kualitas biji, petani diberi pelatihan melakukan fermentasi. HIngga kini sudah ada petani bisa melakukan fermentasi biji kakao mandiri.

Selain memenuhi permintaan pasar luar negeri, cokelat olahan mulai dijual di Jayapura pada 2017. Satu-satunya distributor langsung saat itu hanya Gelael. Menurut Patricia, tidak mudah membangun kepercayaan distributor soal kualitas cokelat.

“Masalah merek. Orang makan merek dan bukan kualitas cokelat. Walaupun dijelaskan berulang-ulang.”

Konsumen cokelat di Jayapura makin meningkat dengan ada Café Kakao Kita pada 2018. Di café ini, warga Jayapura bisa menikmati berbagai olahan coklat. Kemudian distributor lain juga ikut memasarkan antara lain, Sumber Makmur, KFC Galeal, Tokoh Kue Harum Sari, dan Kafe Kombi.

Kini, cokelat Papua makin dikenal di dunia internasioal setelah ikut berbagai kompetisi. Terbaru, pasar Korea juga berminat pada cokelat Papua.

Di tengah besarnya minat pasar pada cokelat organik dari Papua, muncul tantangan seperti makin berkurangnya anak muda yang berminat pada pertanian, hingga masalah perubahan iklim yang membuat musim panen tidak pasti.

Banyaknya pupuk beredar di masyarakat, katanya, juga jadi tantangan tersendiri. Karena itu, pendampingan terhadap petani menjadi kerja penting di YPMD.

Kemandirian petani, katanya, menjadi tujuan dan penggunaan pupuk kimia dinilai menciptakan ketergantungan baru.

“Banyak kampung yang kami tinggalkan. Karena kami tidak mau petani bergerak dari ketergantungan yang satu ke ketergantungan lain. Petani harus mandiri.”

Dalam berbagai kesempatan, YPMD terus menyampaikan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan lagi kebijakan pembagian pupuk dan pestisida kepada petani Papua yang sebelumnya tidak punya kebiasaan itu. Apalagi, katanya, para petani sudah jelas-jelas menolak menerima. Selain berbahaya untuk kesehatan, pupuk dan pestisida jelas tidak menolong petani Papua.

“Menjaga alam juga dengan cara melakukan pertanian-pertanian organik sebagaimana kebiasaan masyarakat Papua. Tanah tidak banyak terkontaminasi persitisida dan selanjutnya menghasilkan produk yang berkualitas.” [Mongabay]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img