NUKILAN.id | Lhokseumawe – Sidang lanjutan dugaan Tindak Pidana Korupsi Insentif atas Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Kota Lhokseumawe kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Senin (29/07/2024).
Sidang yang mengagendakan pembacaan nota pembelaan (pleidoi) dari penasihat hukum para terdakwa dipimpin oleh ketua majelis hakim yang diketuai Dr Teuku Syarafi SH MH dan hakim anggota R Deddy Harryanto SH MHum serta Heri Alfian SH MH.
Dalam nota pembelaannya, Penasihan Hukum terdakwa M Dahri dan Sulaiman yang merupakan pegawai BPKD Kota Lhokseumawe menilai Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe sangat ambigu dan tidak proporsional.
“Bahwa sesuai fakta-fakta persidangan, kami berkesimpulan surat tuntutan JPU sangat ambigu, tidak proporsional dan terkesan sangat dipaksakan”. ujar Kasibun Daulay SH, salah seorang Penasihat Hukum terdakwa.
Bergantian membacakan nota pembelaan (pleidoi) dengan Penasihat Hukum lainnya, yaitu Faisal Qasim SH MH, Gibran Z Qautsar SH dan Rahmat Fadhli SH MH; Kasibun Daulay SH menyebutkan bahwa JPU seakan menutup mata dan mengabaikan berbagai fakta-fakta dalam persidangan khususnya terkait dakwaan perbuatan melawan hukum yang dituduhkan kepada para terdakwa.
Padahal menurutnya, tidak ada satupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa. Bahkan semua proses pengalokasian dan pencairan insentif pajak penerangan jalan tersebut telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sudah sesuai dengan petunjuk dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
“JPU seakan menutup mata dan mengabaikan fakta-fakta hukum yang ada. JPU menyebut tidak ada pemungutan pajak, tapi kenyataannya fakta disidang rangkaian pemungutan itu jelas-jelas ada dilakukan oleh BPKD. Begitu juga JPU mendakwa insentif tersebut tidak dibahas di DPRK, tapi keterangan saksi yaitu wakil ketua DPRK Lhokseumawe dipersidangan menyebutkan itu sudah dimuat di DPA dan sudah dibahas dengan tim banggar DPRK dan sudah disahkan menjadi Qanun”. Ujar Kasibun Daulay.
Penasihat Hukum Terdakwa lainnya, Faisal Qasim SH MH menyebutkan bahwa tidak yang salah dengan proses pengalokasian dana insentif pemungutan pajak penerangan jalan di Kota Lhokseumawe tersebut, hal ini sudah sejalan dan diatur dalam UU No 28 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No 69 tahun 2010, dan bahkan menurutnya, dana tersebut juga banyak dialokasi di daerah-daerah lain hampir seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, tapi tidak yang dipermasalahkan.
“Makanya menurut kami, sangat jelas tuntutan JPU Lhokseumawe ini sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ngada”.
Belum lagi menurutnya sikap ambiguistas yang ditunjukkan JPU dalam penerapan pasal-pasal dan mendalilkan terkait kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut. Yang mana menurut Faisal Qasim disatu sisi JPU menerima penitipan uang dugaan kerugian keungan negara sejumlah Rp. 26.000.000,. (Dua puluh enam juta rupiah) dari terdakwa Sulaiman, namun didalam tuntunannya JPU malah menuntut terdakwa Sulaiman untuk mengembalikan uang kerugian sebesar Rp. 631.115.662, (enamratus tigapuluh satu juta seratus Lima belas ribu enam ratus duapuluh dua rupiah dua), padahal jumlah insentif yang diterima sulaiman hanya berjumlah Rp. 31.282.702 (tigapuluh satu juta duaratus sembilanpuluh dua ribu tujuh ratus dua rupiah).
“Ini sungguh ironi. Makanya kita menilai JPU tuntutan JPU dalam hal ini sangat ambigu, tidak profesional, mengada-ada dan terkesan sangat dipaksakan”. tegas Faisal Qasim.
Kemudian menurut Faisal Qasim, tuntutan JPU pada dasarnya telah melanggar dua asas hukum pidana dasar, yaitu asas Tidak bisa pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dan asas pertanggungjawaban pidana yang bersifat individual. Hal ini menurutnya telah sesuai dengan pendapat ahli pidana yang dihadirkan dalam persidangan, Dr Dahlan Ali SH MHum.
“Maka dari itu, kami penasihat hukum para terdakwa bermohon kepada majelis Hakim yang Mulia untuk menyatakan para terdakwa tidak terbukti secara dan menyakinkan melakukakan tindak pidana korupsi sebagaiamana dakwaan JPU dan membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum dengan putusan bebas (Vrijspraak)” tutup advokat yang sering menangani perkara Tipikor ini.
Editor: Akil