Nukilan.id – Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar menetapkan tiga tersangka dugaan korupsi pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng Kecamatan Lhoong dengan pagu anggaran Rp 13,3 miliar. Salah satunya adalah M Zuardi yang menjabat Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh.
“Kita dapatkan informasi ini beberapa saat setelah proses penangkapan oleh pihak kejaksaan. Untuk sementara belum dapat kami sampaikan tindak lanjut terkait hal ini,” kata Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA seperti dilansir detikcom, Senin (11/10/2021).
Muhammad mengaku belum mendapat informasi terbaru terkait kasus tersebut. Tersangka Zuardi saat ini ditahan di Rutan Kajhu, Aceh Besar.
Muhammad menyebut proses pelayanan di Dinas Perkim masih berjalan normal. Dia mengatakan Pemerintah Aceh menghargai dan mengikuti proses hukum yang berjalan.
“Kami pastikan proses pelayanan dan kedinasan Perkim tetap berjalan sebagaimana mestinya,” jelas Muhammad.
“Kita hargai setiap proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,” lanjutnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar telah menetapkan tiga orang tersangka kasus korupsi pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng Kecamatan Lhoong Aceh Besar Tahun Anggaran 2019, Jumat (8/10/2021).
Ketiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu dengan inisial MZ (55 tahun) sebagai KPA merangkap PPK, TH (39 tahun) sebagai PPTK dan YR (41 tahun) sebagai Kontraktor Pelaksana (Direktur PT Bina Yusta Alzuhri) atas Dugaan Penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Pekerjaan Pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2019 pada Dinas Pengairan Provinsi Aceh.
Lanjut Deddi, nilai kontrak Pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng Kecamatan Lhoong kabupaten Aceh Besar sampai selesai pelaksanaan sejumlah Rp. 13.353.329.000, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 2.317.222.789,40, sebagaimana Laporan Hasil Audit perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Aceh.
“Perbuatan para tersangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) , Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,” jelasnya.
Sebelumnya, kata Deddi, Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Aceh Besar telah memeriksa 56 orang saksi dan 3 orang ahli yang terdiri dari unsur Dinas Pengairan maupun pihak swasta yang terkait dalam kegiatan Pembangunaan Jetty Kuala Krueng Pudeng Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar Pada Dinas Pengairan Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2019.
“Selanjutnya Para tersangka dibawa ke Rutan Kelas II B Kajhu untuk dilakukan penahanan selama 20 (dua puluh) hari kedepan, bahwa alasan penahanan yang dilakukan tim penyidik dikhawatirkan para tersangka dapat melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta mengulangi perbuatannya, penahanan tersebut dituangkan dalam Surat Perintah Penahanan Nomor: Print- 1018/N.1.27./Fd.1/10/2021, Nomor: Print- 1019/N.1.27./Fd.1/10/2021 dan Nomor: Print- 1020/N.1.27./Fd.1/10/2021 tanggal 08 Oktober 2021,” terangnya.
Lebih lanjut, Tim Penyidik dapat menguraikan terkait modus operandi, para tersangka telah melakukan kecurangan (frund) yang dimulai dalam proses perencanaan pengadaan, dimana tersangka MZ dan tersangka TH melakukan manipulasi terhadap data-data yang dibuat seolaholah dan seakan-akan bahwa data-data tersebut ada dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan.
“Namun berdasarkan fakta yang ada tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan, sehingga dokumen yang dipakai untuk perencanaan kegiatan adalah dokumen yang dibuat tidak sebenarnya, selanjutnya ketika dalam proses pelaksanaan kegiatan dengan dokumen dan data yang dibuat tidak benar, tersangka YS dan TH telah membuat kekurangan volume pekerjaan batu lebih >1000 kg/unit, terjadi kekurangan sebesar 3.518,55 m3. Untuk batu <250kg/unit, terjadi kekurangan sebesar 2.916,44 m3, sehingga terdapat selisih kelebihan pembayaran yaitu sebesar Rp. 2.317.222.789,40.
“Karena selisih nilai kontrak dengan nilai Riil tersebut didapat oleh para tersangka dengan perbuatan-perbuatan secara melawan hukum, maka selisih tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai keuntungan bagi pihak penyedia jasa melainkan adalah suatu kerugian keuangan negara,” pungkas Deddi. []