NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Dari Desa Lubok Batee, Aceh Besar, langkah seorang mahasiswi bernama Inayah Alya, atau akrab disapa Naya, menjadi bukti bahwa kepemimpinan tidak selalu harus lahir dari jabatan tinggi. Ia meyakini bahwa menjadi pemimpin berarti mampu menyalakan semangat, mendengarkan, dan memberdayakan sesama.
“Kepemimpinan bukan tentang posisi tertinggi, melainkan kemampuan untuk menyalakan semangat, mendengarkan, dan memberdayakan tim,” tulis Naya dalam esai kepemimpinannya untuk Future Leaders Camp (FLC) 2025.
Sebagai mahasiswa Administrasi Rumah Sakit di STIKes Muhammadiyah Aceh, Naya menafsirkan kepemimpinan sebagai cara untuk menumbuhkan harapan dan menggerakkan perubahan, baik di kampus maupun di tengah masyarakat. Langkah awalnya dimulai dari peran kecil saat ia dipercaya menjadi Komandan Tingkat (Komting) di awal masa kuliah.
“Dari peran kecil itu, aku belajar makna pertama kepemimpinan bahwa memimpin bukan tentang jabatan, melainkan tentang mendengar, memahami, dan memastikan semua orang merasa dilibatkan,” ungkapnya.
Membangkitkan Semangat Organisasi di Kampus
Perjalanan Naya berlanjut ketika ia dipercaya menjadi Wakil Presiden Mahasiswa BEM STIKes Muhammadiyah Aceh. Saat roda organisasi kampus sempat berhenti berputar, Naya bersama 27 anggota BEM berupaya menghidupkan kembali semangat organisasi.
“Bersama tim, saya membangun budaya kerja kolaboratif, komunikasi terbuka, dan rasa kekeluargaan di antara anggota,” ujarnya.
Langkah itu membuat BEM kembali aktif menjalankan berbagai program kemahasiswaan, menjalin sinergi antarorganisasi, dan menjadi wadah pembelajaran bagi mahasiswa.
Menyapa Remaja Lewat Edukasi Kesehatan
Kiprah Naya tak berhenti di kampus. Ia turut berperan sebagai Koordinator II Remaja Centra Muda Putroe Phang (CMPP) di bawah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Aceh. Bersama rekan-rekannya, ia membantu menghidupkan kembali program remaja yang sempat vakum.
Dalam kolaborasi antara Dinas Kesehatan, UNICEF, dan PKBI Aceh, Naya memimpin para fasilitator muda untuk memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi, pencegahan napza, dan partisipasi remaja di sekolah serta posyandu. Program tersebut kini telah menjangkau lebih dari 200 remaja di 10 puskesmas di Aceh.
“Kami hidupkan lagi. Karena remaja lebih mudah bicara dengan remaja, kami turun langsung ke lapangan untuk edukasi,” ujarnya.
Bagi Naya, kepemimpinan dalam konteks ini bukan sekadar mengarahkan, tetapi menciptakan ruang aman agar remaja bisa berkembang dan percaya diri.
“Saya belajar untuk memimpin dengan empati, agar mereka dapat berkontribusi dengan cara terbaiknya,” katanya.
Dari Ide ke Aksi Nyata
Sebagai ketua tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Video Gagasan Konstruktif (VGK), Naya mengangkat gagasan tentang edukasi stunting berbasis budaya lokal Gayo Lues.
“Pengembangan gagasan edukasi stunting berbasis pembelajaran inovatif dengan kearifan lokal Gayo Lues,” tulisnya.
Melalui proyek itu, ia berusaha menjembatani pesan kesehatan dengan pendekatan budaya, agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan.
Inovasi lain muncul ketika Naya membina tim LUNGY (Lung Healthy), penerima Hibah Program Youth for Health Impact UNICEF Aceh 2025.
“Saya membimbing BEM remaja untuk menciptakan inovasi edukasi tentang bahaya asap rokok bagi anak melalui metode eksperimen sains dan maskot edukatif ‘Lungy’,” tulisnya.
Proyek ini tidak hanya meningkatkan kesadaran publik tentang kesehatan anak, tetapi juga menumbuhkan kreativitas remaja untuk berinovasi secara ilmiah dan menyenangkan.
Menemukan Makna di Future Leaders Camp 2025
Kesempatan mengikuti Future Leaders Camp (FLC) 2025 menjadi pengalaman berharga bagi Naya.
“Kesannya senang banget, bahkan nggak bisa diungkapkan, biasanya aku ketemu di forum yang lingkupnya kecil aja, tapi di sini ketemu teman-teman dari seluruh Sumatera, orang-orang keren,” ungkapnya.
Lewat pertemuan lintas daerah itu, Naya melihat kepemimpinan dari sudut pandang yang lebih luas.
“Dulu aku pikir memimpin di kampus aja sudah cukup besar, tapi ternyata kita bisa berdampak lebih luas bahkan sampai membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat,” katanya dengan mata berbinar.
Sepulang dari FLC, Naya bertekad membagikan pengalaman tersebut di kampusnya.
“Aku satu-satunya yang lolos dari kampus, jadi rasanya kayak punya tanggung jawab untuk berbagi pengalaman ini,” tuturnya.
FLC juga menjadi momen refleksi baginya tentang arti ketahanan seorang pemimpin.
“Kadang aku merasa capek, kayak cukup sampai sini aja. Tapi setelah FLC, aku sadar bahwa dampak yang panjang itu justru berarti. Jadi semangatnya kebakar lagi,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Pemimpin Muda yang Menginspirasi
Kisah Naya menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tumbuh dari empati dan aksi nyata. Ia menjadikan ilmu yang dipelajari sebagai alat pelayanan, bukan sekadar pengetahuan di atas kertas.
Melalui semangat yang ia bawa dari Future Leaders Camp 2025, Inayah Alya menjadi cerminan pemimpin muda Aceh yang kolaboratif, peduli, dan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Suaranya memang lembut, namun dampaknya nyata—menyalakan harapan bagi generasi yang lebih sehat dan inklusif di Aceh.






