Gelora Kemerdekaan di Aceh Mulai Bergemuruh 29 Agustus 1945

Share

Nukilan.id – Gemuruh kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang mengudara di Jakarta sayup-sayup merambat samar hingga ke Aceh. Kabar proklamasi kemerdekaan oleh  Sukarno-Hatta jadi desas-desus terselubung sejumlah kalangan, saat rakyat Aceh masih gamang di bawah tekanan Jepang.

Tak ada gegap gempita di Aceh. Kalangan pemuda masih ragu dengan informasi bawah tanah tersebut. Kelompok pergerakan memilih menahan diri sambil menunggu kepulangan Teuku Muhammad Hasan dari Jakarta.

Tokoh besar Aceh itu sudah jauh hari bertolak bersama Mohammad Amir mewakili Sumatera dalam perumusan persiapan kemerdekaan Indonesia.

“Desas-desus mengenai berita [kemerdekaan] tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh beberapa tokoh Aceh. [Namun] Mereka belum berani mengumumkannya kepada masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentara Jepang saat itu,” ujar sejarawan Aceh Teuku Abdullah, akrab disapa T.A Sakti.

Kabar kemerdekaan Indonesia pertama kali didapat oleh sejumlah staf kantor berita seperti Hodoka Kutaradja dan surat kabar Atjeh Simbun pada 21 Agustus 1945. Informasi itu menjalar jadi bisik-bisik di kalangan pergerakan. Mereka bergelut dengan keraguan di tengah keterbatasan informasi.

Seiring ketidakpastian, kabar kemerdekaan terus berseliweran. Teuku Muhammad Hasan tak kunjung datang, gelisah pemuda pun tak lagi bisa dibendung.

Upaya perlawanan akhirnya meletus pada 24 Agustus 1945. Pejuang Aceh terkemuka, Teuku Nyak Arif pasang badan memimpin pergerakan kibar bendera merah putih di Aceh.

Namun rupanya unjuk perlawanan tersebut tak membuat banyak rakyat ikut tergerak. Masyarakat awam saat itu masih belum terlalu paham dengan aksi kibar merah putih yang dipimpin oleh Teuku Nyak Arif.

Barulah ketika Teuku M Hasan dan M Amir pulang dari Jakarta, rakyat Aceh yakin seutuhnya dengan berita kemerdekaan. Segalanya menjadi terang. Aceh tak lagi sembunyi di bayang-bayang keraguan.

T.A Sakti menggarisbawahi, Hasan dan Amir merupakan tokoh penting pembawa kabar dari Jakarta tentang kemerdekaan Indonesia, untuk kemudian dikumandangkan secara luas kepada masyarakat di Aceh pada 29 Agustus 1945

Syahdan sejak itu tokoh-tokoh masyarakat lepas terjun mempelopori gerakan di masyarakat. Para pemuda pun masif melakukan kampanye kepada rakyat untuk menyiarkan kabar kemerdekaan. Warga tergerak memberanikan diri mengibarkan bendera merah putih di berbagai gedung maupun bangunan-bangunan strategis.

“Surat kabar Semangat Merdeka diterbitkan oleh para pemuda untuk menyebarluaskan berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah, di toko-toko, di kantor dan sebagainya,” ujar Sakti.

Negara Berutang ke Rakyat Aceh

Selepas Indonesia merdeka, Juni 1948 Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh, mengumpulkan tokoh pejuang, pengusaha, dan beberapa pemuda di Hotel Atjeh.

Dia meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan pesawat yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran perjuangan.

Di kemudian hari, warga Aceh membelikan pesawat untuk pemerintah Indonesia dengan nomor RI-001 (Gunawan Kartapranata Via Wikimedia (CC-BY-SA-3.0))

Dengan bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh dapat membeli pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001, pesawat itu kemudian oleh Presiden Sukarno diberi nama Seulawah RI-001.

Saat itu rakyat Aceh antusias menyumbang. Rakyat rela pintu rumah mereka digedor di malam hari untuk dimintai sebagian dari emas atau barang lainnya.

Ada seorang saksi sejarah penyumbang pembelian pesawat yang masih hidup hingga saat ini yaitu Nyak Sandang.

Dia satu di antara masyarakat yang menyimpan bukti obligasi sebagai donatur pembelian pesawat dengan nama Seulawah 001 atau saat ini bernama Garuda Indonesia Airways.

Ia menceritakan, saat itu Gubernur Aceh, Tgk Daud Bere’euh mengunjungi Masjid Lamno, Kabupaten Aceh Jaya untuk bertemu dengan masyarakat. Dia mengumumkan bahwa Presiden Sukarno meminta Rakyat Aceh agar menyumbangkan hartanya supaya Indonesia bisa memiliki pesawat.

Saat itu Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaan dan pesawat menjadi transportasi yang sangat penting untuk berpergian. Termasuk untuk mengabarkan kepada dunia bahwa telah berdiri sebuah negara bernama Indonesia.

“Atas seruan Gubernur saat itu, kita rela menyisihkan harta benda, untuk kita sumbangkan. Apalagi ini untuk kepentingan Negara, ada yang menyumbang ayam, kambing, uang bahkan tanah,” kata Nyak Sandang saat ditemui di kediamannya, di Desa Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya.

Nyak Sandang waktu itu berusia 23 Tahun. Ia dan Ayahnya menyumbang sepetak tanah dengan luas di dalamnya 40 batang kelapa. Tanah itu dijual seharga 100 perak pada 1950.

Tanpa pikir panjang dan ikhlas memberikan sumbangan, kata dia, para donatur diberikan bukti surat pernyataan utang (Obligasi).

“Kami dikasih surat ini setelah menyumbang, dan akan dibayar kembali dalam waktu 40 Tahun,” ujarnya.

Bukan hanya dia, warga di Lamno saat itu ada juga yang menyerahkan seluruh hartanya untuk di sumbangkan. Namun, 40 Tahun berjalan, janji untuk mengembalikan itu terkubur dalam ingatan warga sekitar, apalagi paska itu Sukarno dilengserkan.

Nyak Sandang masih menyimpan dengan rapi tanda penerimaan uang darinya kepada pemerintah Indonesia. Termaktub keterangan bahwa sumbangan tersebut berbentuk utang pemerintah Indonesia kepada rakyat Aceh.

Tanda penerimaan tersebut memuat jenis utang, jumlah, nama yang mendaftarkan, tahun dan tanda tangan penerima. Semua keterangan tersebut ditulis dalam ejaan lama. Kemudian tulisannya masih terlihat jelas.

Ia menjadi orang Aceh pertama yang membuktikan sejarah bahwa masyarakat Aceh benar telah menyumbang pembelian pesawat untuk Negara lewat obligasi yang dimilikinya. [cnnindonesia.com]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News