Eksistensi Pemuda dan Moralitas

Share

*Muhammad Zaldi

“Every man has by nature desire to know.” Setiap manusia dari kodratnya ingin tahu. Demikian kalimat pembuka buku monumental dari Aristoteles, Metaphysics. Manusia dari kodratnya merupakan makhluk berpikir, ingin mengenal, menggagas, merefleksikan dirinya, sesamanya, Tuhannya, hidup kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan keberadaannya, dan segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya. Keinginan rasional ini merupakan bagian kodrati keberadaan dan kehadiran manusia. Karakter rasional kehadiran manusia merupakan suatu kewajaran, kenormalan, ke-natural-an.

Baru-baru ini dinamika yang terjadi dalam Musyawarah Daerah (Musda) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Pidie santer menjadi diskusi yang kembali menarik perhatian publik. Hal ini menjadi baik dikarenkan eksistensi pemuda kembali dibicarakan, konon lagi ini terjadi di Kabupaten Pidie, yang dikatakan oleh banyak kalangan adalah rujukan bagi dinamika politik Aceh.

Berbagai proses dinamika terjadi, saling tukar tambah argumentasi, menguatkan satu sama lain hingga pada saling berdebat karena tidak sepakat. Sayup-sayup interupsi terjadi yang mewarnai proses musyawarah hingga pada perhitungan suara diputaran pertama. Pemuda, tentu punya dinamika, berbeda zaman maka berbeda pula pola yang digunakan. Saling serang argumen bukti bahwa pemuda masih punya daya pikir yang mumpuni dengan logika-logika dari penalaran yang kuat, tetapi tentu argumen saja tidak cukup menguatkan posisi, mereka juga butuh tindakan yang akhirnya menjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Manusia bertindak dan harus bertindak. “Harus bertindak” artinya bahwa tindakan itu harus memenuhi standar atau kriteria normatif tertentu. Bahwa manusia bertindak, itu normal (sudah dengan sendirinya). Bertindak adalah ciri khas setiap makhluk hidup. Bahwa manusia “harus” bertindak, itu melukiskan eksistensi manusia secara mendalam, karena tindakan manusia tidak hanya berkaitan dengan eksistensinya sebagai makhluk hidup, melainkan juga mencetuskan nilai-nilai manusiawi. Makna terminologi “harus” mengedepankan pemahaman bahwa tindakan manusia harus memenuhi syarat moral atau etis tertentu.

Menurut Nietzsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas (das rucht festgestelte tier). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tindakan manusia adakah pencetusan dirinya. Jika disimak secara sepintas saja, jelas manusia secara konkret direpresentasi dan ditentukan oleh tindakannya. Atau, autentisitas manusia sangat berurusan dengan perbuatannya. Maurice Blondel berkata bahwa tindakan manusia adalah representasi dirinya yang paling umum. Selain yang paling umum, tindakan manusia juga merupakan representasi dirinya yang paling lengkap. Dengan tindakannya, manusia menghadirkan dirinya secara memesonakan.

Perbuatan manusia itu tidak tunggal, melainkan kompleks. Maksudnya, tindakan mencuri, misalnya, jelas bukan hanya merupakan tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin begitu saja. Tindakan mencuri terdiri atas elemen-elemen perbuatan yang kompleks. Tindakan itu mengalir dari rentetan motivasi untuk melakukan pencurian. Dalam menegaskan motivasi, terdapat pula preferensi nilai atau gradasi pertimbangan baik buruk sampai kemudian tercetus keputusan untuk mencuri. Tetapi, keputusan mencuri belum merupakan perbuatan pencurian. Keputusan menjadi suatu perbuatan pada waktu kehendak mengeksekusinya dalam tindakan. Jadi, dalam tindakan mencuri, ada banyak elemen perbuatan yang berpartisipasi di dalamnya: motivasi, kehendak, eksekusi kehendak dalam perbuatan.

Karena kompleksitas perbuatan manusia, penilaian moralnya juga kompleks. Artinya, tidak setiap tindakan mencuri dipandang salah. Ada banyak faktor yang memengaruhi kita dalam melihat tindakan pencurian dan menghasilkan penilaian moral yang beragam. Orang yang mencuri karena terpaksa. Keanekaragaman penilaian ini menunjukkan bahwa perbuatan manusia itu kompleks. Mengenai perbuatan manusia, kita bisa membedakan antara volition dan action. Volition berarti kehendak dalam artian tegas yang dapat masuk dalam kualifikasi baik buruk secara moral; dan action memaksudkan eksekusi/pencetusan kehendak yang kita tampilkan di bawah kontrol kita.

Dalam kontestasi Musyawarah Daerah (Musda) KNPI Pidie, tentu proses mendapatkan tapuk kekuasaan sebagai orang nomor wahid itu perlu strategi dan taktik yang mempuni. Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe, mengambarkan bahwa dalam berpolitik dan mendapatkan kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan, cenderung pada menghalalkan segala cara. Kecenderungan praktik semacam itu memang sedikitpun tidak bermoral, tetapi ia juga menyebutkan jika politik itu jangan dikaitkan dengan etika (moral).

Tetapi dalam forum Musyawarah Daerah (Musda) tentu semuanya harus berdasarkan fakta-fakta. Ada hubungan-hubungan dan loby-loby yang harus dibangun. Tentu, menghalalkan segala cara dapat dilakukan, asalkan tetap pada tatanan bermoral, tidak boleh mengklaim apalagi mencuri sesuatu yang bersifat legalitas dari pihak lain. Mandat adalah wewenang yang diberikan suatu organisasi kepada individu untuk bertindak sebagai perwakilan mereka.  Proses memberikan mandat tentu atas dasar gagasan yang ditawarkan dan loby-loby, tidak boleh mandat digunakan tanpa sepengetahuan yang berwenang, itu sungguh tindakan yang tidak berwenang.

Seyogyanya pemuda adalah energi dan wajah bagi daerah dalam segala aspek kemajuan di masa hadapan. Konon lagi pemuda harus memberikan teladan, sebagai kaum terdidik yang sudah menyelesaikan berbagai jenjang akademik. Keteladaan semacam itu perlu ditunjukan, terlebih kita di daerah yang berlandaskan Syari’at Islam, khususnya Pidie. Merebut kekuasaan di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) adalah sebuah kompetisi yang juga harus memperhatikan tatanan etika dan moral. Maka akan menjadi pemimpin yang baik dan inspirasi bagi yang lain. Karena pemimpin yang baik terlahir dari pengikut yang baik.

Penulis adalah Muhammad Zaldi, Founder Political Institute.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News