Efektifkah Kenaikan Gaji Hakim Menekan Korupsi di Peradilan?

Share

NUKILAN.ID | JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kebijakan strategis untuk menaikkan gaji para hakim dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka. Kenaikan ini, menurut Prabowo, bervariasi sesuai dengan golongan, dengan angka tertinggi mencapai 280 persen.

“Kenaikan tertinggi mencapai 280 persen,” kata Prabowo dalam acara Pengukuhan Hakim di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Juni 2025 lalu.

Prabowo beralasan, keputusan ini didasarkan pada posisi vital hakim sebagai “benteng terakhir keadilan.” Dalam pidatonya, ia juga sempat melontarkan candaan bahwa jika perlu, anggaran TNI dan Polri bisa dipotong demi menyejahterakan para hakim.

Soalnya, kata Prabowo, percuma tentara dan polisi hebat jika koruptor selalu lolos begitu sampai di pengadilan karena dibebaskan hakim yang mendapat suap karena gajinya kecil. Namun benarkah kesejahteraan hakim otomatis akan menekan praktik korupsi di lembaga peradilan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Nukilan.id menghubungi Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia. Menurut Nicholas, dari perspektif kebijakan publik, langkah ini memang bisa dipahami sebagai upaya strategis negara dalam menghadapi akar masalah korupsi di lembaga peradilan.

“Dengan menaikkan gaji hakim, negara mencoba mengatasi salah satu penyebab korupsi sebagaimana dijelaskan dalam ‘GONE Theory’ oleh Jack Bologne,” ungkapnya pada Jumat (20/6/2025).

Ia lalu menjelaskan bahwa dalam The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime, disebutkan ada empat faktor utama yang mendorong terjadinya korupsi: Greeds (Keserakahan), Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan), dan Exposures (Pengungkapan).

“Dalam kerangka ini, kenaikan gaji berupaya menghapus faktor ‘kebutuhan’ dari daftar penyebab korupsi,” ujarnya.

Kendati begitu, Nicholas juga mengingatkan agar publik tak terjebak pada asumsi bahwa gaji besar otomatis menjamin integritas pejabat. Ia menyoroti bahwa peningkatan gaji belum tentu menyentuh akar persoalan jika sistem peradilan tetap rawan disusupi kompromi kekuasaan dan intervensi politik.

“Lalu jika setelah gaji para hakim naik signifikan, tapi praktik korupsi di tubuh peradilan tetap menjamur, apakah solusinya menaikkan gaji mereka sekali lagi?” tanyanya retoris.

Nicholas bahkan menyinggung bahwa beberapa institusi seperti TNI, Polri, hingga aparatur sipil negara (ASN) tetap saja tak lepas dari jerat kasus korupsi meskipun mereka telah mendapat peningkatan tunjangan dan remunerasi.

“TNI, Polri, dan ASN juga masih terus terjerat korupsi meski remunerasi mereka meningkat. Apakah kita akan terus-menerus menyuap integritas dengan anggaran negara? Tentu tidak masuk akal,” tegasnya.

Dalam pandangan Nicholas, solusi jangka panjang justru terletak pada reformasi sistemik yang menyentuh jantung birokrasi dan hukum secara menyeluruh. Ia menggarisbawahi pentingnya tata kelola yang bersih, transparan, dan tahan terhadap tekanan politik.

“Sejatinya, pencegahan korupsi bukan soal besaran gaji semata, melainkan soal sistem yang transparan, akuntabel, dan antikorupsi yang benar-benar steril dari intervensi politik serta bebas dari kompromi kekuasaan,” jelasnya.

Nicholas pun menutup dengan pernyataan kritis yang menggambarkan betapa rapuhnya pondasi pemberantasan korupsi jika hanya mengandalkan pendekatan insentif material.

“Tanpa pembenahan sistemik, kenaikan gaji hanyalah tambal sulam yang mempercantik luka tanpa menyembuhkannya,” tutupnya. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News