NUKILAN.id | Jakarta – Di tengah penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru kompak menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Keputusan itu diambil dalam rapat pleno Panitia Kerja (Panja) RUU TNI yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto, dalam rapat tersebut menanyakan persetujuan anggota Panja untuk membawa revisi ini ke pembicaraan tingkat dua di rapat paripurna guna disahkan menjadi undang-undang.
“Ibu Bapak, semua juru bicara fraksi telah menyampaikan pandangan dan menyatakan persetujuannya dengan berbagai catatan. Selanjutnya, saya mohon persetujuan apakah RUU TNI dibawa ke pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna untuk disetujui menjadi undang-undang?” tanyanya.
Tanpa ada perdebatan, seluruh peserta rapat dengan lantang menjawab, “Setuju.”
Keputusan ini memicu kekhawatiran di kalangan pengamat dan aktivis sipil. Nukilan.id menghubungi Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Siagian, untuk meminta tanggapannya terkait revisi tersebut.
Nicholas menilai bahwa revisi UU TNI yang memperluas peran militer ke jabatan sipil merupakan langkah mundur bagi demokrasi dan prinsip supremasi sipil.
“Revisi Undang-Undang TNI yang mengekspansi peran militer ke jabatan sipil merupakan langkah yang berbahaya bagi masa depan demokrasi dan HAM,” katanya pada Rabu (19/3/2025).
Menurut Nicholas, perubahan ini seharusnya dikaji ulang secara mendalam agar tidak bertentangan dengan prinsip dasar pemerintahan sipil. Ia menekankan pentingnya mengutamakan penguatan institusi sipil daripada memberikan kewenangan lebih kepada militer.
“Saya berharap pemerintah dan DPR untuk mengkaji dan membahas ulang RUU ini, terutama memprioritaskan penguatan institusi sipil serta memastikan bahwa TNI tetap fokus pada tugas pertahanan dan keamanan nasional,” tambahnya.
Lebih lanjut, Nicholas juga mengkritisi kualitas Naskah Akademik yang menjadi dasar penyusunan revisi UU TNI. Menurutnya, dokumen tersebut seharusnya menjadi landasan ilmiah yang kuat dalam pembuatan kebijakan, namun dalam praktiknya tidak memenuhi standar yang diharapkan.
“Naskah akademiknya hanya sekadar ada dan menjustifikasi kepentingan-kepentingan di dalam, akhirnya tidak lagi berdasarkan kebijakan berbasis riset dan evidensi,” tegasnya.
Nicholas menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip supremasi sipil, di mana militer berada di bawah kendali pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis. Ia mengingatkan bahwa prinsip ini adalah bagian fundamental dari sistem demokrasi yang harus dijaga.
“Indonesia itu menganut prinsip supremasi sipil (civilian supremacy), di mana militer berada di bawah kendali pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis,” pungkasnya.
Hingga saat ini, gelombang kritik dari elemen masyarakat sipil terus menguat. Publik pun menanti langkah selanjutnya dari pemerintah dan DPR, apakah akan tetap melanjutkan pengesahan revisi UU TNI ini atau membuka ruang diskusi lebih luas guna mempertimbangkan aspirasi masyarakat. (XRQ)
Reporter: Akil