Wednesday, April 24, 2024

Dapat Gelar Kehormatan dari Wali Nanggroe, Ini Biografi Ilyas Leube

Nukilan.id – Tokoh perjuangan Aceh Merdeka, Teungku Ilyas Leube mendapatkan gelar kehormatan dari Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Alhaytar pada Senin (6/12/2021) malam, di Gedung Aula Wali Nanggroe, Lamblang Manyang, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.

Teungku Ilyas Lebe adalah sosok yang sangat melegenda dalam riwayat pergerakan perjuangan di Aceh. Dia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Aceh Merdeka ke-2. Tokoh Kharismatik dari dataran tinggi Gayo ini mengabdikan hidupnya dalam tiga era perjuangan, mulai dari era perlawanan penjajahan Jepang dan Belanda, perjaungan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Menurut Biografi, Teugku Ilyas Leube lahir di Kenawat, Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, pada tahun 1923. Berdarah biru, dia tercatat sebagai Reje Linge ke XIX. Namun Ilyas tak pernah memposisikan diri dalam pergaulan kalangan elit. Dia lebih suka berada di tengah-tengah petani kopi di Tanah Gayo dennen hidup dalam kesederhaan dan bersahaja.

“Walau bersertifikasi raja dan ninggrat dalam pergaualan, tetapi memposisikan dirinya sama dengan rakyat biasa,” tulis wikipedia yang dikutip Nukilan.id, Selasa (7/12/2021).

Ilyas lebih dikenal sebagai sosok yang taat dalam menjalankan ajaran Islam. Tokoh sekaliber Daud Beureueh – pemimpin DI/TII di Aceh tertarik dan bahkan menjadikannya sebagai salah seorang intelektual yang juga tokoh ulama di DI/TII.

Leube di belakang nama Ilyas bukanlah pemberian ayah kandungnya, Bude Entan. Sebelumnya, Ilyas menimba ilmu sekolah Normal Schol di Bireuen, Ia salah satu murid berprestasi yang bagus, selain itu Ilyas juga fasih dalam ilmu agama. Makanya, Daud Beureu-eh menjulukinya Leube. Leube bermakna orang yang banyak pengetahuan di bidang agama dan mudah bergaul dengan siapa saja. Nama ujung Ilyas melakat hingga pada anak-anaknya.

Selain Daud Beureueh, M. Nur Ibrahim dan Ayah Gani juga guru Ilyas Leube saat di Bireuen. Ilyas Leube mulai berinteraksi dengan Daud Beureueh sejak tahun 1940 ketika sekolah di Normal School Bireuen, kemudian pada 1947—1949 saat perang di Medan Area – Sumatera Utara – dalam melawan Agresi Belanda ke-I dan ke-II.

Saat Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh dan Tanah karo, Ilyas Leube diposisikan sebagai staf khusus. Interaksi ini terus berlanjut pada pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan deklarasi DI/TII.

Perjuangan Daud Beureueh dan Ilyas Leube berlanjut pada DI/TII. Setelah turun dari gunung Ilyas Leube fokus membina masyarakat dan membangun usaha sendiri yakni kilang kopi.

Belakangan, Ilyas Leube kembali naik gunung saat melanjutkan perjuangannya dalam organisasi Aceh Merdeka (AM) bersama Hasan di Tiro.

Ilyas Leube dan Hasan di Tiro sudah bersahabat sejak menimba ilmu di Pulau Jawa pada 1940-an. Ilyas Leube menimba ilmu di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, sedangkan Hasan di Tiro di Universités Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Dua tokoh ini bertemu dalam sebuah ideologi yang sama. Itulah sebabnya, jejak mereka dimulai pada pergerakan politik pemuda nasional. “Di sana mereka baru bertemu, sebelumnya hanya saling mendengar nama saja”.

Pada tahun 1975, Ilyas Leube menunaikan Ibadah Haji. Sedangkan Hasan di Tiro berada di Amerika. Begitu tahu Ilyas berada di Mekkah, Hasan Tiro langsung terbang untuk bertemu Ilyas Leube. Pada pertemuan tersebut mereka membicarakan soal Aceh Merdeka.

Komunikasi dengan Hasan di Tiro berlanjut. Pada awal tahun 1976, Hasan di Tiro bersama Zainal Abidin Tiro dan Ayah Gani serta beberapa tokoh lain kembali menemui Ilyas di Takengon.

Lima hari berkomunikasi tiada henti, membuat Hasan Tiro dan Ilyas Leube semakin dekat. Hasan di Tiro diajak keliling Danau Laut Tawar dan berfoto bersama di Bontol Kubu (benteng pertahanan Gayo).

Usai bertemu di sana, Hasan di Tiro kembali ke Amerika. Dalam pertemuan tersebut mereka janji bertemu di Gunung Halimon, Kabupaten Pidie pada tahun 1976.

Sebelum berangkat, Ilyas berpesan kepada istrinya Salamah binti Salihin Inen Hudna. “Jaga kerukunan keluarga, jangan sampai kocar- kacir” pesan Ilyas Leube dalam Bahasa Gayo.

Selanjutnya, pada Deklarasi Aceh Merdeka di Gunong Halimon, Ilyas mendapat jabatan Menteri Kehakiman. Nama Ilyas Leube dalam struktur Aceh Merdeka juga ditempatkan dalam Dewan Syura bersama Ilyas Cot Plieng, Hasbi Geudong, dan Ayah Sabi. Sedangkan Hasan di Tiro adalah Wali Neugara Aceh.

Ilyas Leube yang pernah sekolah kehakiman di Banda Aceh pada tahun 1942 dikenal sosok yang gigih mempertahankan eksitensi Aceh Merdeka. Tiada henti bergerilya. Naik dan turun gunung, hingga kemudian sampai ke Jeunieb, Kabupaten Bireuen. Disana Ilyas Leube mendirikan gubuk kecil tempat istirahat bersama empat anak buahnya. Tempat tersebut berjarak sekitar 4-6 kilometer dari Gampong Pandrah, Jeunieb.

Namun, belakangan tempat ini diketahui oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau sekarang disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus) – dan Koramil Jeunieb.

Pada tanggal 16 Mei 1982, saat Ilyas dan empat anak buahnya sedang shalat Ashar, gubuk ini dikepung RPKAD. Letusan bedil membahana. Hingga jatuh korban tiga orang, dan satu orang lagi terluka. Salah satu yang syahid (meninggal) adalah Ilyas Leube. Tokoh kharismatik itu telah syahid. Namun bagi pengikutnya, juga istri dan enam anaknya, dia seolah masih hidup. Begitu juga pada sanubari masyarakat Tanah Gayo.

Wasiat Ilyas Leube

Ilyas Leube meninggalkan Lima Wasiat yang sangat bermakna yang dititipkan kepada istrinya, Salamah binti Salihin Inen Hudna. Ilyas mengatakan, bahwa suatu saat akan terjadi lima hal sebagai tanda kerusakan ummat sebagai tanda bergesernya nilai ke-Islaman di masyarakat. Berikut lima wasiat Ilyas Leube:

Pertama. Ulama meh i pengat (ulama kurang mendapat peran dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat).

Kedua. Tingkah laku ni simemude meh rusak (tingkah laku generasi muda nya rusak atau di luar koridor Syari’at).

Ketiga. Pemimpin perasat (pemimpin tidak lagi amanah sebagai pemimpin dan sudah tidak mendapat kepercayaan dari masyarakatnya walau terpilih melalui pemilihan oleh rakyat). Maksudnya semua urusan umunya berkiblat kepada uang, jika pun memberi sumbangan maka dirasakan berharap imbalan dan dalam hal pekerjaan atau jabatan selalu keluarga dan kerabat yang diutamakan.

Keempat. Jema kaya jengkat (orang-orang kaya menjadi sombong, angkuh dan takabur). Maksudnya mereka terus memperkaya diri sendiri dengan segala cara tanpa peduli halal atau haram, dan parahnya tidak suka bersedekah kepada orang lain yang membutuhkan.

Kelima. Beru bujang gere ne mengen manat (Pemuda dan pemudi sekarang tidak lagi mendengar dan sudah tidak mau peduli dengan amanat orang tua).

Sumber: Jauhari Samalanga

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img