Saturday, June 22, 2024

Begini Cara Mengontrol Emosi Saat Anak Super Aktif

Nukilan.id | Banda Aceh – Usia anak adalah salah satu tahapan dalam rentang kehidupan manusia, yaitu dimulai sejak dalam kandungan hingga usia lanjut. Anak di bawah usia 6 tahun sering disebut dengan masa golden age. Masa golden age ini merupakan periode emas dalam tahapan perkembangan seorang anak. Di mana pada usia ini, jaringan sel-sel otak, emosi, dasar perilaku sosial, dan fisik anak bertumbuh sangat pesat.

Pencapaian di usia golden age ini akan sangat memengaruhi pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia berikutnya. Menurut penelitian, 50% kecerdasan orang dewasa mulai terbentuk di usia ini, demikian juga dengan pertumbuhan kepribadian lainnya. Golden age ini hanya terjadi sekali sehingga menjadi sangat penting untuk dioptimalkan dan diberikan stimulasi yang tepat di waktu yang tepat pula.

Psikolog di RSUD Meuraxa Yusniar Idris mengatakan, jika dilihat dari ciri pertumbuhan dan perkembangan anak usia golden age, anak dalam usia prasekolah dan TK biasanya menunjukkan sikap ingin tahu yang sangat besar. Rasa ingin tahu ada yang ditunjukkan secara verbal dengan banyak bertanya atau secara fisik dengan mengotak-atik sesuatu.

Anak di usia ini sangat istimewa, layaknya sebuah bangunan. Usia ini adalah pondasi awal yang akan menentukan kokoh tidaknya sebuah bangunan, kuat tidaknya menghadapi terpaan angin dan badai nantinya, serta apik tidaknya tampilan bangunan itu.

“Walaupun setiap anak memiliki ciri khas tersendiri, namun para orang tua dengan anak di usia ini biasanya membutuhkan kesabaran yang ekstra dalam mendampingin, men-support dan menghadapi berbagai dinamika tumbuh kembang anak,” ucapnya saat diwawancarai Nukilan.id, Kamis (16/5/2024).

Katanya, anak-anak usia balita (bawah lima tahun) memang sangat aktif secara fisik dan verbal. Ada yang aktifnya terlihat secara fisik, seperti berlari-larian, mengotak-atik, membongkar, bahkan mempreteli benda-benda yang ada dalam jangkauannya. Ada orang tua yang curhat betapa geramnya ketika menghadapi anaknya. “Coba Ibu bayangkan, baru saja saya membersihkan ruang tengah, begitu saya menoleh ke belakang, sudah berantakan lagi, padahal saya belum lagi keluar dari ruangan itu loh Bu”

“Duh rasanya ingin menjerit dan ngamuk, tapi melihat bahagianya anak bermain dengan hasil bongkarannya, jadi ga tega, kayak ga ada capek-capeknya ya Bu, anak kecil itu, batrenya on terus, ga ada diamnya, kadang terpikir, manis dan kalemnya hanya saat tidur saja.”

Belum lagi mendengar keluhan ibu dengan keaktifan verbal anaknya yang masih usia 4 tahun, “Aduh Bu, tolong ajari saya untuk sabar dan bisa menjadi pendengar yang baik untuk anak saya, kayaknya teori pendengar aktif yang saya pelajari dalam pelatihan gagal saya terapkan kalau untuk si kecil ini.”

“Semua ditanyakannya, ini apa Ma, itu apa Ma, kenapa gitu, kok bisa gitu Ma, ada saja yang ditanyakan, kadang jadi malas menjawab dan pernah saya membentaknya ketika anak terus bertanya karena saat itu saya sedang pusing dengan tugas kantor, saya juga merasa bersalah setelah membentak atau memarahinya, tapi saya juga capek menghadapi situasi ini, bagaimana cara menghadapinya?”

Psikolog Yusniar menyebutkan, masih sangat banyak dinamika curhatan ibu-ibu lainnya. Anak usia ini memang akan mengeksplor apapun yang ada di lingkungannya dengan menyentuh atau bertanya dan rasa ingin tahunya memang sedang berkembang pesat. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol emosi dalam masa pengasuhan ini, seperti dengan memaknai peran sebagai ibu, menghargai diri sendiri bahwa tidak semua perempuan berkesempatan menjadi seorang ibu.

“Hal lain yang dapat dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan parenting yang akan memberikan pemahaman juga banyak pencerahan,” ujarnya.

Adapun hal terpenting yang tidak boleh terlewatkan adalah peran ayah dalam proses pendampingan, support, dan tempat berkeluh kesah ibu. Yang menjalani peran ibu pasti sudah sangat paham, kebersihan rumah bukan hal yang sederhana, bukan hanya membersihkan, namun juga menjaga dan mendisiplinkan anggota keluarga dalam hal kebersihan. Belum lagi masalah makan, tidak hanya seputar belanja dan memasak, selera yang berbeda dalam menu makanan, ada masalah anak yang malas makan dan hal lain di dalamnya.

Jika dikaji satu persatu, ternyata kompleks sekali tugas dan peran ibu. Bisa dibayangkan begitu banyak sumber ibu mudah terpicu emosi marah dan kesalnya, seperti saat sedang lelah-lelahnya mencuci pakaian kemudian memasak, si anak pun mencari perhatian dengan banyak bertanya atau membongkar rak piring. Menurut hasil penelitian, ternyata cukup wajar ibu menjadi marah atau emosi dalam kondisi tersebut, namun bukan berarti hal ini boleh dibiarkan berkelanjutan, apalagi jika kata-kata atau sikap yang dikeluarkan melukai fisik ataupun hati anak.

Ia juga menyampaikan, hal ini haruslah diselesaikan dan ditindaklanjuti. Rasa bersalah yang dirasakan ibu sebenarnya adalah peperangan antara rasa sayang terhadap anak dan rasa kesal terhadap perilaku anak disertai rasa kecewa terhadap diri sendiri. Ibu bisa melakukan konseling jika sudah sangat mengganggu anak dan dirinya sendiri. Sebagai contoh, anak jadi terlihat takut, menjauh atau menghindari ibunya. Terlihat perubahan perilaku pada anak, misalnya anak yang biasanya ceria jadi murung dan pendiam, yang biasanya aktif jadi suka menyendiri dan pasif. Bahkan, terkadang justru ibu sendiri yang merasa stress, sedih, dan tertekan dengan sikapnya terhadap anak.

“Mimpi buruk yang dialami anak atau ibu itu sendiri, seperti terkejut saat tidur, menangis, atau perilaku lain yang tidak biasa terjadi, konseling pilihan terbaik jika hal ini sudah dirasakan,” tutupnya.

Reporter : Auliana Rizky

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img