Saturday, April 20, 2024

Arah Politik Pemilu 2024

*Penulis: Aryos Nivada

KPU dikabarkan kekurangan anggaran dalam pelaksanaan Tahapan Pemilu 2024 yang akan dimulai pada tahun depan, yaitu tahun 2022. Anggaran yang disetujui untuk KPU Rp2.452.965.805.000,- (dua triliun empat ratus lima puluh dua miliar sembilan ratus enam puluh lima juta delapan ratus lima ribu rupiah).

Sementara usulan awal KPU awal sebesar Rp8.061.085.734.000,- (delapan triliun enam puluh satu milyar delapan puluh lima juta tujuh ratus tiga puluh empat ribu rupiah) Artinya KPU kekurangan anggaran pada tahun 2022 sebesar Rp5.608.119.929.000,- (lima triliun enam ratus delapan milyar seratus sembilan belas juta sembilan ratus dua puluh sembilan ribu rupiah).

Merujuk pada pemilu pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2014 pemerintah menggelontorkan kucuran biaya tidak sedikit untuk melaksanakan perhelatan akbar pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden dengan total biaya sebesar Rp.15,62 triliun. Lantas alokasi anggaran pada perhelatan Pemilu 2019 meningkat 61 persen menjadi sebesar Rp 25,59 triliun.

Anggaran Minim : Ketidakseriusan Pemerintah?

Minimnya alokasi persiapan awal pemilu 2024 dikhwatirkan dibaca oleh publik sebagai bentuk ketidaksiapan dan ketidak seriusan pemerintah dalam menggelar pesta demokrasi terbesar yang pernah diselenggarakan oleh Indonesia.

Sejumlah agenda yang berkaitan dengan tahapan juga mulai berjalan pada tahun 2022, diantaranya Pendaftaran dan Verifikasi Peserta Pemilu yaitu partai politik (diusulkan 04 April 2022 s.d 25 Desember 2022), Seleksi Badan Penyelenggara, Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih, Penataan dan Penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) Hingga Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi Dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pencalonan Presiden Dan Wakil Presiden (diusulkan mulai 22 Oktober 2022 s.d 19 Oktober 2023).

Anggaran minim dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu sehingga fungsi dan peran penyelenggara nantinya tidak akan optimal. Terlebih KPU sendiri hingga kini masih berkutat terhadap problem saran dan prasana yang diketahui tidak memadai. hal tersebut berpotensi mempengaruhi proses pelaksanaan Tahapan Pemilu maupun Pemilihan, baik secara teknis maupun administrasi.

Dugaan Skenario Perpanjangan Masa Jabatan.

Terdapat indikasi minimnya kucuran dana pusat ke KPU ini sebagai bagian dari skenario penundaan pemilu dengan alasan keterbatasan anggaran dan kelesuan ekonomi.

Merujuk laporan Majalah Tempo edisi 19 Juni 2021, beberapa skenario pun diduga disiapkan untuk mewujudkan rencana ini. Skenario pertama ialah membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Adapun skenario kedua memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun. Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kemungkinan masa jabatan kepala daerah mungkin tidak akan terpengaruh sehingga pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.

Skenario selanjutnya akan ada manuver diset oleh elit tertentu dalam pengkondisian perpanjangan masa jabatan melalui rekayasa regulasi. Akan ada dua pasal dalam konstitusi diubah dengan menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan presiden dalam keadaan darurat di Pasal 7 serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat.

Perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam rangka penyelamatan kepentingan bangsa dan negara, dapat ditemukan landasan hukumnya dalam Pasal 12 UU NRI 1945. Dalam konteks kontitusi, keadaan darurat melalui dua istilah yang dipakai, yakni “keadaan bahaya” (Pasal 12 UUD 1945) dan “kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 UUD1945). Pasal 12 menegaskan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.

Secara politik hukum, Bila merujuk situasi saat ini dimana negara sedang mengalami kelesuan ekonomi dan pandemi covid yang belum melandai, kemungkinan untuk penetapan darurat bisa saja dengan menetapkan standar kriteria sebagaimana diatur dalam regulasi. Darurat keuangan dideklarasikan dengan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan serta pengkondisian darurat kesehatan melalui UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Meskipun Pasal 37 UUD 1945 memberikan wewenang bagi MPR untuk mengusulkan sesuai tata cara amandemen UUD 1945 namun ada kekhawatiran akan terjadi tarik menarik kepentingan di dalam rapat paripurna yang melibatkan DPR RI dan DPD RI sebagai anggota. Eksesnya hal ini menyebabkan akan munculnya kembali “penumpang gelap” berupa dimasukannya pasal-pasal terkait periodesiasi dan masa jabatan presiden hingga perubahan fungsi dan tugas DPD RI untuk setara dengan DPR RI.

Keputusan akhir perlu tidaknya dilakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan kewenangan MPR menetapkan PPHN, sangat tergantung dengan dinamika politik dan para pimpinan partai politik. Tentunya juga komitmen Presiden yang sempat menyebut akan setia pada konstitusi.

Penulis adalah Dosen FISIP USK dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img