DPR Sering Rapat di Hotel, Apakah Salah? Ini Kata Pakar

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Polemik terkait pelaksanaan rapat kerja legislatif di hotel belakangan ini ramai diperbincangkan publik. Baru-baru ini, advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak resmi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 229 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Zico mempermasalahkan frasa “semua rapat di DPR” dalam pasal tersebut, yang berbunyi, “semua rapat di DPR wajib dilakukan di Gedung DPR kecuali terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan fasilitas di seluruh ruang rapat di gedung DPR tidak dapat digunakan atau berfungsi dengan baik.”

Menurutnya, bunyi pasal ini membuka peluang bagi DPR untuk menggelar rapat di luar kompleks parlemen, seperti di hotel atau tempat lain, yang dinilai bertentangan dengan semangat efisiensi dan transparansi.

Dikutip dari Tirto, Zico menilai praktik rapat di luar gedung DPR bisa memperlemah partisipasi publik dalam proses legislasi. Ia juga mengkritik kecenderungan DPR yang lebih sering berperan sebagai stempel pengesahan undang-undang ketimbang menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal.

Dalam gugatannya, Zico meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan tafsir yang jelas dan mengikat, bahwa semua rapat DPR harus diselenggarakan di dalam Gedung DPR RI. Tujuannya adalah untuk menjaga keterbukaan informasi serta memperkuat akuntabilitas kepada masyarakat.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh pakar kebijakan publik, Nicholas Martua Siagian. Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia ini menjelaskan bahwa dalam situasi tertentu, pelaksanaan rapat di luar kompleks parlemen bukanlah hal yang sepenuhnya keliru.

“Dalam praktiknya, rapat kerja legislatif yang dilakukan di luar kompleks DPR bisa jadi memang dibutuhkan untuk intensifitas pembahasan tertentu,” ungkap Nicholas saat dihubungi Nukilan.id pada Sabtu (26/4/2025).

Menurutnya, masalah baru muncul ketika praktik ini dilakukan secara berlebihan dan melenceng dari fungsi utama lembaga legislatif.

“Masalah yang muncul adalah ketika intensitasnya berlebihan dan menggantikan fungsi utama ruang parlemen sebagai tempat deliberasi publik yang transparan,” tambahnya.

Karena itu, Nicholas menekankan pentingnya masyarakat untuk mengarahkan sorotan kritik kepada hal yang lebih mendasar, yakni akuntabilitas proses, bukan semata-mata pada lokasi rapat.

“Jadi, menurut saya bukan soal ‘rapat di hotel’ yang seharusnya jadi sasaran kritik utama, melainkan kuantitas yang tidak proporsional serta lemahnya akuntabilitas proses,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa meski praktik ini tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, etika birokrasi tetap menjadi pegangan utama dalam menjaga integritas lembaga legislatif.

“Memang persoalan ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun pada etika birokrasi. Jadi kembali ke cara pandang pimpinan yang bertanggungjawab,” tutup Nicholas. (XRQ)

Reporter: AKil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News