Bahasa Aceh Terancam Punah, Peneliti BRIN Desak Revitalisasi

Share

NUKILAN.idBanda Aceh – Bahasa Aceh berada dalam kondisi terancam punah. Peneliti Bahasa, Sosial, dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iskandar Syahputera, mengungkapkan bahwa bahasa ibu masyarakat Aceh ini telah mencapai status definitely endangered atau terancam punah secara pasti.

“Dari skala tingkat keterancaman bahasa 5-0 dari (UNESCO), maka saat ini status vitalitas bahasa Aceh berada pada level 3,” kata Iskandar di Banda Aceh, Rabu (26/2/2025).

Fakta ini terungkap dalam penelitian Iskandar berjudul “Tentang Vitalitas Bahasa Aceh Kaitannya dengan Perencanaan dan Kebijakan Bahasa Daerah” pada 2024. Menurutnya, ancaman kepunahan ini disebabkan oleh menurunnya transmisi bahasa Aceh kepada generasi muda.

“Banyak kita lihat saat ini ibunya orang Aceh, dan bapaknya orang Aceh, tetapi di rumah tidak lagi menggunakan bahasa Aceh atau bahasa ibunya,” ujarnya.

Iskandar menyoroti bahwa generasi muda Aceh semakin jarang menggunakan bahasa daerah mereka. Fenomena ini mengakibatkan jumlah penutur bahasa Aceh terus menurun dan lambat laun bisa menyebabkan kepunahan.

“Lambat laun hal ini akan membuat sebuah bahasa menuju kepada kepunahan,” tambahnya.

Tak hanya bahasa Aceh, penelitian yang dilakukan Iskandar bersama Tim Peneliti Balai Bahasa Provinsi Aceh (BBPA) pada 2019 juga menunjukkan bahwa bahasa Gayo mengalami kondisi serupa.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran karena bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya. Iskandar mengingatkan bahwa hilangnya bahasa Aceh akan berdampak lebih luas pada peradaban masyarakat Aceh.

“Maka akhirnya hilanglah peradaban kita,” tegasnya.

Dalam konteks budaya, Iskandar menyebut bahwa banyak nilai-nilai kearifan lokal Aceh yang tertuang dalam bahasa daerah bisa lenyap jika bahasa Aceh benar-benar punah. Salah satunya adalah falsafah adat yang berbunyi: “Adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, qanun nibak putroe phang, reusam bak laksamana.”

“Berapa banyak mahasiswa Aceh yang merupakan orang Aceh asli yang mengetahui artinya, ini belum kita masuk ke maknanya, ya. Saya yakin lebih dari 80 persen dari mereka sudah tidak lagi mengetahui artinya,” ujarnya.

Tak hanya itu, kumpulan Hadih Maja—nasehat dalam bahasa Aceh yang berisi ajaran agama, sosial, moral, dan etika—juga terancam hilang. Begitu pula dengan berbagai karya sastra Aceh lainnya seperti Hiem (pantun Aceh), Do Da ie Di (lagu atau syair pengantar tidur anak), dan bentuk kesusastraan daerah lainnya yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

Melihat kondisi yang mengkhawatirkan ini, Iskandar mendesak Pemerintah Aceh untuk segera melakukan langkah-langkah revitalisasi guna menyelamatkan bahasa Aceh. Program-program pelestarian bahasa daerah perlu segera digencarkan agar bahasa Aceh tetap hidup di tengah masyarakat.

“Jika langkah-langkah revitalisasi bahasa daerah tidak segera dilakukan, maka bukan tidak mungkin status bahasa Aceh akan menuju kepunahan atau bahkan punah,” ujarnya.

Selain pemerintah, Iskandar juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam menjaga eksistensi bahasa Aceh. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga.

“Dan yang paling penting adalah membangun kesadaran para orang tua akan pentingnya penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga, jika tidak ingin melihat bahasa-bahasa daerah kita punah,“ pungkasnya.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News