MK Hapus Presidential Threshold, Felia: Peluang Baru untuk Demokrasi Inklusif

Share

NUKILAN.id | Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan bersejarah dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden melalui Putusan No. 62/PUU-XXII/2024. Putusan ini dinilai dapat membuka ruang kompetisi politik yang lebih luas dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Untuk membahas dampaknya, Nukilan.id menghubungi Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute. Felia menyatakan bahwa langkah ini membawa angin segar bagi demokrasi

“Putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden berpotensi memberikan dampak baik terhadap kualitas demokrasi dan partisipasi publik dalam Pemilu,” ungkapnya kepada Nukilan.id, Jumat (10/1/2025).

Menurut Felia, salah satu alasan penting di balik keputusan tersebut adalah pertimbangan bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Ia menegaskan bahwa sebelumnya, kebebasan partai politik dalam mengajukan calon presiden terhambat oleh aturan tersebut.

“Dengan penghapusan ambang batas ini, ruang kompetisi politik menjadi lebih terbuka, memungkinkan lebih banyak partai politik, termasuk partai kecil dan baru, untuk mencalonkan pasangan calon presiden,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa kondisi ini akan memperkaya pilihan politik dan meningkatkan representasi masyarakat. Felia juga menyoroti pentingnya dinamika politik yang lebih inklusif dalam mendorong keterwakilan yang beragam.

Selain membuka jalan bagi lebih banyak partai, Felia melihat bahwa penghapusan ambang batas akan meningkatkan keterlibatan publik dalam Pemilu.

“Dengan lebih banyaknya pilihan kandidat yang mencerminkan aspirasi masyarakat, publik akan merasa lebih terwakili dan terdorong untuk lebih aktif berpartisipasi dalam proses politik,” jelasnya.

Ia menilai bahwa keragaman kandidat akan menciptakan dinamika politik yang lebih hidup, memungkinkan berbagai pandangan dan kepentingan untuk bersaing secara adil.

Namun, Felia juga mengingatkan adanya tantangan baru yang perlu diatasi. Salah satunya adalah aturan yang melarang partai politik yang tidak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden untuk berpartisipasi dalam pemilu berikutnya. Ia menilai bahwa meskipun aturan ini bertujuan meningkatkan efisiensi, risiko bagi partai kecil sangat besar.

“Partai-partai kecil dengan sumber daya terbatas bisa terdorong untuk mencalonkan kandidat hanya demi memenuhi syarat administratif, meskipun mereka tidak memiliki calon yang kompetitif,” katanya.

Felia menegaskan bahwa pembuat kebijakan harus merancang mekanisme yang mendukung partai kecil agar tetap dapat berkembang tanpa mengorbankan kualitas kompetisi politik.

“Regulasi harus diarahkan untuk memperkuat sistem demokrasi yang sehat, terbuka, dan inklusif,” pungkasnya.

Putusan ini jelas membuka babak baru dalam politik Indonesia. Bagaimana perubahan ini akan berdampak dalam pelaksanaan Pemilu mendatang, masih menjadi tantangan yang patut dicermati. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News