NUKILAN.id | Jakarta – Wacana mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali memicu perdebatan publik. Hal ini bermula dari pidato Prabowo beberapa waktu lalu yang mengemukakan gagasan tersebut dengan tujuan untuk menekan biaya pelaksanaan Pilkada yang dianggap sangat besar. Namun, apakah alasan ini cukup kuat untuk menggeser peran masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka?
Nicholas Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, mengingatkan agar wacana tersebut tidak sekadar menjadi jalan pintas untuk penghematan anggaran tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap demokrasi.
“Perlu dipertimbangkan secara matang, jangan sampai posisi kepala daerah hanya dijadikan sekadar ‘boneka’ oleh DPRD, demi menggarap potensi proyek dan anggaran daerah untuk menguntungkan segelintir orang,” ungkapnya saat diwawancarai oleh Nukilan.id pada Rabu (25/12/2024)
Nicholas mengakui bahwa biaya penyelenggaraan Pilkada tidaklah kecil. Data dari Kementerian Keuangan mencatat bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 37,43 triliun untuk Pilkada 2024. Angka tersebut belum termasuk anggaran untuk Pemilihan Presiden, DPR RI, DPD, hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Namun, ia menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak semestinya menjadi alasan utama untuk menghilangkan partisipasi masyarakat dalam proses Pilkada. Sebagai negara demokrasi, tingginya biaya penyelenggaraan adalah risiko yang harus dihadapi.
“Jika penghematan menjadi tujuan utama, seharusnya langkah-langkah lain seperti perampingan kabinet, efisiensi anggaran kementerian/lembaga, dan pengurangan perjalanan dinas yang diprioritaskan,” jelas Nicholas.
Nicholas juga menyoroti ironi di tengah wacana efisiensi anggaran. Beberapa kementerian justru mengajukan tambahan anggaran yang sangat besar. Ia mencatat, misalnya, Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan kenaikan anggaran dari Rp 64 miliar menjadi Rp 20 triliun. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengajukan tambahan sebesar Rp 60,6 triliun.
“Belum lagi, salah satu kementerian koordinator mengusulkan anggaran untuk pembangunan gedung baru dan pengadaan mobil dinas. Di sisi lain, proyek pembangunan gedung-gedung kementerian di Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menyedot anggaran yang besar,” tambahnya.
Nicholas menekankan bahwa wacana mengganti Pilkada langsung dengan Pilkada melalui DPRD tidak boleh hanya didasarkan pada alasan efisiensi anggaran. Jika kebijakan ini diambil, partisipasi masyarakat dalam demokrasi akan tergerus.
“Demokrasi bukan sekadar soal penghematan. Demokrasi adalah melibatkan masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka. Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan, sebaiknya dimulai dari sektor-sektor lain yang tidak langsung berdampak pada hak rakyat,” tegasnya. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah