NUKILAN.id | Jakarta — Wacana yang dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis (12/12/2024) lalu, kembali menghangatkan diskusi publik tentang mekanisme pemilihan kepala daerah. Dalam pidatonya, Prabowo mengusulkan agar kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ketimbang melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Menurut Prabowo, sistem tersebut dapat menghemat anggaran negara yang selama ini terpakai besar untuk penyelenggaraan pilkada.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” ujarnya.
Namun, usulan ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat dan para pakar. Sebagian mendukung dengan alasan efisiensi anggaran, sementara lainnya khawatir bahwa hal ini hanya akan memindahkan praktik politik uang dari rakyat ke elite partai.
Melihat hal ini, Nukilan.id menguhubungi Nicholas Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia untuk melihat hal ini lebih dalam. Nicholas menggarisbawahi bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat diartikan sebagai bagian dari prinsip demokrasi.
“Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis, tetapi frasa ‘secara demokratis’ ini tidak didefinisikan secara tegas, sehingga memungkinkan adanya beragam interpretasi,” jelasnya kepada Nukilan.id pada Rabu (25/12/2024).
Menurut Nicholas, baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD sama-sama mekanisme demokratis, namun memiliki tingkat legitimasi berbeda.
“Pemilihan langsung memberikan partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi. Sementara itu, jika dipilih oleh DPRD, partisipasi tersebut terasa berkurang, meskipun DPRD sendiri dipilih oleh rakyat,” tambahnya.
Nicholas juga mengingatkan potensi ketidakseimbangan kekuasaan jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ia mengutip pandangan Dr. Mohammad Novrizal, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, ia menyebut bahwa DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah dan kedudukannya sejajar dengan kepala daerah.
“Jika DPRD diberi wewenang memilih kepala daerah, ada risiko DPRD merasa superior. Ini bisa memicu penyalahgunaan kekuasaan atau politik balas budi oleh kepala daerah,” kata Nicholas.
Menurutnya, ketidakseimbangan ini berpotensi mengaburkan kelembagaan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, Nicholas mencatat bahwa dengan sistem saat ini saja, keterlibatan anggota DPRD dalam korupsi sudah tinggi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk anggota DPRD, masih menjadi pelaku tindak pidana korupsi terbanyak hingga 2024.
“Kasus korupsi DPRD melibatkan berbagai skema, mulai dari korupsi ketok palu RAPBD, korupsi dana hibah, hingga pengadaan barang dan jasa. Dengan sistem pilkada oleh DPRD, potensi ini bisa semakin besar,” ujar Nicholas. (xrq)
Reporter: Akil Rahmatillah