Harga Produk Lokal Aceh Mahal, Safriati: Sinergi Daerah Bisa Jadi Solusi

Share

NUKILAN.id | Lhokseumawe – Penjabat Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Hj. Safriati, mengungkapkan keprihatinannya terhadap harga produk kerajinan lokal Aceh yang cenderung mahal. Hal tersebut ia sampaikan saat meninjau perkembangan kerajinan di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Lhokseumawe, Sabtu (5/10/2024).

Dalam kunjungannya, Safriati menyoroti pentingnya mempertahankan identitas budaya Aceh dalam setiap produk kerajinan yang dihasilkan. Ia mencontohkan ciri khas pinto Aceh yang bisa langsung dikenali dari motif bordirnya.

“Ada ciri khas keacehan, seperti pinto Aceh misalnya. Orang melihat langsung tahu identitas dari motif bordirnya,” ujar Safriati sambil menunjukkan selempang bermotif bunga.

Namun, Safriati menyadari bahwa meski produk lokal Aceh memiliki kualitas tinggi, harga yang mahal menjadi tantangan tersendiri bagi para pengrajin. Menurutnya, perlu ada solusi agar produk kerajinan Aceh lebih kompetitif di pasar. “Harga kita juga mahal. Harus cari solusi,” katanya.

Sebagai upaya mengatasi permasalahan harga, Safriati berencana mendorong kerjasama antar kabupaten dan kota di Aceh untuk berbagi bahan baku dengan harga lebih terjangkau. Ia menyarankan agar pembelian bahan baku dilakukan dalam skala besar di tingkat provinsi sehingga biaya produksi dapat ditekan. “Kita bisa mengambil skala besar, sehingga daerah-daerah bisa mendapatkan bahan baku dari provinsi dengan harga lebih murah,” jelas Safriati.

Tidak hanya soal harga, Safriati juga menyoroti kurangnya promosi terhadap produk-produk kerajinan lokal. Ia menilai promosi yang dilakukan saat ini belum maksimal sehingga perlu ada upaya lebih besar untuk memperkenalkan produk-produk unggulan Aceh ke pasar yang lebih luas.

“Produk kita bagus, tapi promosi belum maksimal. Kita akan coba membuat galeri di tingkat provinsi untuk mempromosikan produk unggulan dari seluruh kabupaten/kota,” imbuhnya.

Safriati juga mengusulkan agar Dekranasda di tingkat kabupaten mengundang pengrajin dari luar, seperti dari Pulau Jawa, untuk berbagi pengalaman dan teknik kerajinan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan para pengrajin lokal.

Selain itu, Safriati tertarik dengan pendekatan yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana seni menenun sudah masuk ke dalam kurikulum sekolah. Menurutnya, tradisi ini bisa menjadi inspirasi untuk diterapkan di Aceh agar generasi muda bisa lebih mengenal dan melestarikan kerajinan lokal.

“Di NTT, banyak anak-anak yang bisa menenun karena masuk kurikulum sekolah. Mama-mama di sana mendampingi langsung anak sekolah belajar menenun. Kita harus melakukannya juga,” ungkapnya penuh harap.

Dengan berbagai upaya tersebut, Safriati optimistis produk kerajinan Aceh tidak hanya akan mampu mempertahankan identitas budaya, tetapi juga menjadi lebih kompetitif dan dikenal luas di pasar nasional maupun internasional.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News