Riswati: Perlu Program Khusus dan Perlindungan untuk Perempuan di Media Massa

Share

Nukilan.id – Media menjadi sumber informasi, pendidikan dan hiburan yang memainkan peran penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Selain mampu mengkontruksi masyarakat, media juga menjadi jaringan strategis untuk memperkuat dukungan dan advokasi terhadap berbagai kebijakan yang menghambat perubahan. 

Dibutuhkan jurnalisme berperseptif gender untuk memastikan peran serta media dalam memperkuat keadilan dan equality gender di masyarakat, menyuarakan persoalan perempuan dan anak, serta sebagai penggerak perdamaian dan pembanguanan di Aceh. 

Jurnalisme berprespektif gender dapat dimaknai sebagai praktik yang dilakukan media dalam menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan menggugat terus- menerus adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan dan relasi antara perempuan dan laki-laki, keyakinan gender yang menyudutkan perempuan atau representasi perempuan yang sangat bias gender (Nur Iman Subono, 2003). 

Berdasarkan hal tersebut, Flower Aceh bersama dengan Nonviolent Peace force dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda selenggarakan mini workshop “Sensitivitas Gender, Kepemimpinan Perempuan, dan Perdamaian untuk Jaringan Media dan Jurnalis di Aceh Tahun 2024”.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati mengatakan, gender telah melahirkan pembedaan peran, sifat, dan fungsi yang dibakukan, seperti jenis sifat perempuan feminim, laki-laki maskulin, fungsi perempuan reproduktif, sedangkan laki-laki produktif. Begitu juga ruang laki-laki publik, tetapi perempuan domestik. 

Riswati juga menyebutkan, ada lima bentuk-bentuk ketidakadilan gender, diantaranya adalah beban ganda, kekerasan, marjinalisasi, subordinasi, dan pelabelan atau citra baku. Sebagai contoh, ada persoalan akses informasi bagi perempuan, tidak banyak informasi seperti laki-laki. Ada tanggung jawab domestik harus dilakukan, pulang dari kerja tetap melakukan pekerjaan rumah.

“Apakah perempuan diberi dukungan yang sama kalau punya kapasitas, lantas mengapa tidak bisa menduduki posisi yang sama, biasanya perempuan yang jadi pemimpin langsung ada stigma tidak cocok jadi pemimpin,” ucapnya dalam diskusi tersebut yang juga dihadiri oleh tim Nukilan.id, Sabtu (10/2/2024) di Soba Cafe Taman Sari Banda Aceh.

Kata Riswati, tantangannya banyak, mungkin salah satunya kita sebagai perempuan tidak banyak program khusus dan perlindungan. Sebenarnya, kita sangat membutuhkan dukungan melalui inovasi atau pembelajaran yang sudah dilakukan, yakni pendekatan netral oleh seluruh media dan sejenisnya.

Ia juga melihat bahwa sebagian besar sudah banyak lebih mengedukasi dan mengadvokasi dari sisi gerakan perempuan. Hal ini juga sudah membangun kesadaran pola-pola advokasi cukup baik dan hal yang positif. Namun, ia berharap akan adanya program khusus dari pemerintah untuk memperkenalkan dan mempromosikan konsep-konsep kesetaraan dan keadilan gender di media massa. 

Pemerintah masih belum bisa merevisi

sumber hukum yang sangat bias gender yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

tahun 1974. Padahal, isi undang-undang itu sangat bertentangan dengan CEDAW vang merupakan sebuah konvensi internasional untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan tidak bisa menggunakan pengaruhnya dalam menentukan media dan kebijakan-kebijakannya dikarenakan hanya sedikit perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan di media.

“Citra perempuan yang tampil dalam iklan-iklan masih seputar kegiatan domestik dan kecantikan,” tutupnya. [Auliana Rizky]

spot_img

Read more

Local News