Rektor UIN Ar-Raniry Sebut PMA 68 Harmonisasi Kampus dan Energi Kebangsaan

Share

Nukilan.id – Sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) saat ini tengah menjalani proses pemilihan rektor. Pelaksaannya merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah.

Seperti diketahui, Saiful Mujani menghujat kebijakan pemilihan rektor oleh Menteri Agama sebagai praktik “jahiliyah” dan “tidak beradab” cukup mengguncang jagat media dalam beberapa hari terakhir.

Menanggapi hal itu, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag mengatakan, mekanisme pemilihan rektor perguruan tinggi di lingkup Kementrian Agama (Kemenag) RI telah ditetapkan melalui PMA Nomor 68 Tahun 2015.

“Jadi PMA 68 tersebut bukanlah satu aturan baru karena telah berlaku selama kurang lebih tujuh tahun. Yang baru adalah reaksi yang ditimbulkan oleh pernyataan Saiful Mujani yang secara tidak langsung menyiratkan seolah-olah kebijakan tersebut adalah produk dari kementerian agama di bawah pimpinan Yaqut Cholil Qoumas,” kata Mujiburrahman.

Prof Mujiburrahman menilai Saiful Mujani adalah salah seorang staf pengajar di perguruan tinggi di bawah naungan Kemenag RI tidak tepat sasaran, baik secara tempus maupun locus, dan menunjukkan muatan politis mengingat PMA tersebut telah berjalan lama dan tidak dipermasalahkan oleh yang bersangkutan selama tujuh tahun sebelumnya.

“Mengingat pernyataan tersebut juga dikemukakan dalam fase penjaringan calon rektor di instansi Saiful Mujani bekerja, publik yang cerdas sebenarnya mesti membaca bahwa ada kepentingan dan political interest dari yang bersangkutan dalam proses tersebut,” ucapnya.

Hujatan Saiful Mujani menggiring persepsi publik bahwa mekanisme pemilihan rektor perguruan tinggi di lingkungan Kemenag tidak demokratis, bermuatan politis dan tidak mencerminkan representasi “masyarakat terpelajar/kampus”.

Tentu tudingan tersebut problematis dan menafikan dimensi sosiologis, yuridis maupun filosofis dari lahir dan berjalannya PMA 68 sejak tahun 2015. Layaknya peraturan-peraturan lain dalam administrasi pemerintahan, PMA 68 berangkat dari kondisi dan kebutuhan yang harus disikapi oleh Kementrian Agama.

Berlawanan dengan tuduhan Saiful Mujani, dari awal perlu kita pertegas bahwa justru kehendak memutus mata rantai persoalan internal kampus dan kehendak mereduksi potensi permasalahan demokrasi, politisasi kampus dan fenomena degradasi iklim akademik di perguruan tinggi yang memang telah muncul sebelum tahun 2015, sejatinya yang melandasi lahirnya PMA 68.

Bukanlah rahasia bagi pengetahuan publik bahwa dinamika kepemimpinan di perguruan tinggi tidak lagi sepi dari upaya-upaya politis mempertahankan dan melanggengkan rezim pengelolaan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa.

Pengalaman-pengalaman dari berbagai fase transisi kepemimpinan di perguraun tinggi telah merubah wajah demokrasi kampus dan memecah belah kesatuan institusi. Banyak sekolah tinggi, institut maupun universitas menjadi terhambat perkembangan akademiknya karena memiliki problem internal monopoli kekuasaan.

Civitas akademika dalam lingkungan Kementerian Agama maupun kementerian lainnya harus menghabiskan energi menyelesaikan konflik kekuasaan karena otonomi kampus telah disalahgunakan oleh para pimpinan dengan mengkooptasi senat, memprioritaskan penempatan posisi-posisi pengelola institusi berdasarkan kepentingan rezim.

Hal-hal tersebut sekian lama telah menjadi praktik lumrah dengan tujuan melanggengkan monopoli kelompok-kelompok tertentu. Kondisi tersebut diperparah dengan fenomena campur tangan partai politik dalam pemilihan rektor dan intervensi oligarki kekuasaan lokal yang juga marak muncul sebagai antipoda dari kemandirian pengelolaan daerah.

Berangkat dari kondisi tersebut Kementrian Agama mencoba merumuskan mekanisme pemilihan rektor dan ketua sekolah tinggi yang lebih tertib, bermartabat, agamis dan mencerminkan keselarasan antara visi dan misi kementrian dengan unit-unit pengelola kegiatan perguruan tinggi di bawahnya.

Penting sekali melihat aspek sosiologis ini sebagai landasan yang tidak terpisahkan dari lahirnya PMA no 68 tahun 2015 dan kenapa peraturan tersebut bisa terus relevan hingga saat ini dan nanti.

Kemudian dari aspek yuridis, mekanisme pemilihan rektor yang termaktub dalam PMA 68 sangat jauh dari tuduhan Saiful Mujani sebagai praktik jahiliyah dan otoriter. Dua terma yang tidak pantas tersebut seolah menjadi niscaya karena ada proses-proses yang menjadi amanat dalam PMA 68 yang dihilangkan dengan sengaja dalam pernyataan bombastis Saiful Mujani.

Dalam PMA 68 tersebut, Menteri Agama tidak bisa asal tunjuk karena proses pencalonan harus dimulai dari kampus-kampus dengan melibatkan senat sebagai penilai pertama kelayakan dan kecakapan seorang calon rektor. Tentu ada wewenang senat perguruan tinggi dalam menilai patut dan pantas tidaknya satu sosok dicalonkan dan direkomendasikan ke tahapan selanjutnya. [Reji]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News