Nukilan.id – Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Mawardi meminta Pemerintah Pusat untuk menghormati kewenangan Aceh. Sebab menurutnya, kewenangan tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
“Kewenangan Pusat sudah ditetapkan dan kewenangan Aceh juga sudah dijelaskan dalam UU No.11/2006,” ujar Mawardi dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Oktober 2022.
Menurut Mawardi, seharusnya ketentuan yang sudah dibuat secara bersama-sama dihormati. Apalagi terkait pengelolaan sumber daya alam dimana Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam hal pengelolaan mineral dan batu bara.
Pernyataan Mawardi tersebut disampaikan setelah keluarnya kebijakan sepihak Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahli Lahadalia tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Linge Mineral Resources (PT LMR) Nomor 20220405-01-92695 tanggal 5 April 2022.
“Menteri Bahli mungkin (bisa) digugat karena mengaktifkan kembali IUP PT LMR,” ujar pria yang akrab disapa Teungku Adek tersebut.
Padahal, menurut Teungku Adek, kewenangan untuk bertanggung jawab dan mengajukan IUP ada di tangan Pemerintah Aceh.
“Semestinya pak Bahlil bisa menunjukkan intelektualitas kepemimpinannya, sehingga kita dapat belajar dari kepemimpinan elit pusat yang menghargai kewenangan Aceh,” ujar Tgk Adek.
“Kita juga memahami bahwa banyak kepentingan harus dijalankan. Namun diharapkan agar kita segera memperbaiki dan jangan berulang kali lagi kedepan,” kata Tgk Adek menambahkan.
Tgk Adek menduga apa yang dilakukan Menteri Bahlil terkait dengan pemilik modal sehingga mempengaruhi kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Namun disayangkan kebijakan tersebut justru menciderai kewenangan Aceh seperti yang telah diatur dalam UU No.11 Tahun 2006 atau Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurutnya, UUPA sudah berjalan selama 16 tahun, seharusnya semua pejabat pusat (Jakarta) memahami substansi Undang-Undang yang menjadi titik temu antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga menyudahi konflik selama 35 tahun di Tanoh Rencong. UUPA juga menjadi acuan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dengan pembagian kewenangan serta segala kekhususannya.
“Inilah titik temu dan pola relasi tata kelola pemerintah yang semestinya kita jalankan. Jangan coba-coba melanggar komitmen bersama di Helsinki yang sudah disepakati,” kata Tgk Adek.
Tgk Adek mengatakan bahwa sebagai Ketua Banleg dirinya perlu khawatir dengan semua aturan yang telah disahkan terutama Qanun, Peraturan Pemerintah (PP), dan bahkan Peraturan Presiden (Perpres), sepanjang aturan-aturan tersebut memiliki korelasi dengan kewenangan Aceh atau sebaliknya.
Menurut Tgk Adek, evaluasi juga diperlukan agar antar regulasi yang tidak saling bertentangan atau jauh dari imajinasi politik pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran Aceh.
“Kami menyadari bahwa DPR Aceh menjadi lokomotif politik yang dapat mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Aceh,” ujarnya.
Lebih lanjut Tgk Adek mengatakan, pihak akan menjalankan fungsi legislasi demi menemukan kembali kerangka pembangunan Aceh yang tidak lepas dari nilai-nilai dan agenda perjuangan kemakmuran Aceh.
Pria yang juga anggota Fraksi Partai Aceh meminta agar Menteri/Kepala BPM untuk “meninjau” kembali SK nomor 202220829-08-01-0043 tertanggal 30 Agustus 2022 tersebut.
“Selanjutnya, kami mendukung langkah Kadis ESDM untuk menjaga kewenangan yang dimiliki Aceh dalam pengelolaan sumber daya mineral. Kita harus bekerja keras untuk memberi pemahaman pada pemimpin pusat atas kewenangan yang dimiliki Aceh,” ujar Tgk Adek. []