Oleh *Aryos Nivada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menawarkan dua opsi terkait jadwal pemungutan suara Pemilu 2024. Opsi pertama Pemilu 21 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024. Kemudian KPU juga mengajukan opsi kedua yaitu Pemilu 15 Mei 2024 sesuai keinginan pemerintah dan Pilkada 19 Februari 2025. Dengan tahapan Pemilu yang lebih pendek, maka tahapan baru akan dimulai paling cepat pertengahan 2022 (apabila hari H 21 Februari 2024) atau akhir 2022 (jika hari H 15 Mei 2024).
Namun opsi kedua ini berkonsekuensi pada perlunya dasar hukum baru, karena mengundurkan jadwal Pilkada yang telah ditentukan oleh Undang-Undang berarti merubah Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dimana dikatakan Pilkada berlangsung November 2024. Bila tidak menggunakan revisi UU, maka paling tidak diperlukannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang (Perppu) jika Pilkada mundur ke tahun 2025.
Konsekuensi ini berat sekali, karena stabilitas politik akan terganggu membuat maraknya manuver berujung terganggungnya tatakelola pemerintah yang berjalan. Disisi lain membuat celah gerakan sosial dari masyarakat Indonesia menentang pemerintah yang dianggap tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya.
Sementara itu bila Pilkada tetap pada opsi pertama dan sesuai dengan UU Pilkada, maka dikhwatirkan irisan tahapan yang terlalu mepet dan bertumpuk dengan tahapan Pilkada dapat menambah kompleksitas sekaligus beban penyelenggara.
Pemilu dan Pilkada Tahun 2024
Pada dasarnya konstitusi tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebut dan mengamanahkan pemilu dilakukan 5 tahun sekali, tersebut jelas dan tegas.
Jika kita fahami rujukan pondasi hukum pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diatur dalam aturan yang berbeda. Pemilu diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Sedangkan Pilkada diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Bahkan tertera pada pasal 167 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 diatur bahwa “Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara ditetapkan dengan keputusan KPU”. Pasal 167 ayat (6) “Tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara”. Pasal 167 ayat (7) menyatakan bahwa “Penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden”.
Disisi lain dalam pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Pilkada menyatakan bahwa “Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan bulan November 2024”.
Ditinjau dari regulasi jelas, tidak ada celah hukum untuk menggeser Pilkada 2024 ke tahun yang lain. Kecuali melalui revisi UU Pilkada. Dapat juga menggunakan instrumen Perppu bila revisi UU Pilkada tidak dimungkinkan. Namun menggunakan instrumen Perppu dapat memicu polemik hukum dan rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), terlebih apabila pemerintah tidak bisa menjelaskan indikator darurat yang menyebabkan pemerintah perlu mengeluarkan Perppu pergeseran Pilkada tersebut. Perancang Undang-Undang tidak mungkin tidak mengetahui, bahwa sejak awal Pilkada dan Pemilu memang sudah didesain serentak nasional pada tahun yang sama, yaitu tahun 2024.
Mencermati dari sisi aspek hak konstitusi masyarakat, jika Pilkada tidak dilaksanakan pada tahun 2024, maka akan membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pemimpin definitif tepat setelah masa jabatan kepala daerah habis. Terlebih semakin lama digeser, maka daerah daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatan tahun 2022 akan semakin lama dijabat oleh penjabat (PJ) kepala daerah. Dimana semakin panjang PJ Kepala daerah menjabat maka dapat mempengaruhi legitimasi demokrasi serta stabilitas sosial politik dan keamanan lokal.
Kelebihan apabila Pilkada dan Pemilu tetap diserentakan pada tahun 2024 yaitu dari sisi efisiensi anggaran serta efektifitas penyelenggaraan. Dimana anggaran yang dikeluarkan terutama untuk alokasi honor penyelenggara dan alokasi logistik dapat ditekan dan diefisienkan apabila Pilkada dan digelar di tahun yang sama. Selain itu tidak akan banyak waktu yang terbuang percuma karena teknis penyelenggaraan dilaksanakan bersamaan antara Pilkada dan Pemilu.
Meski demikian terdapat sejumlah kekurangan apabila Pilkada dan pemilu digelar di tahun 2024.
Pertama, pelaksanaan Pilkada yang berbarengan dengan pemilu nasional akan menambah beban kerja penyelenggara pemilu. Penyelenggaraan pemilu yang beririsan antara Pilkada dan pemilu berpotensi menambah beban serta tekanan pada penyelenggara pemilu. Bukan tidak mungkin tragedi kematian ratusan KPPS yang gugur ekses tekanan dan beban berlebihan pada Pemilu 2019 dapat terulang kembali pada Pemilu dan Pilkada 2024. Pemilih juga sangat sulit untuk diharapkan bisa menjadi pemilih rasional ekses pelaksanaan pemilu yang kompleks dengan agenda politik yang terlalu besar dan banyak cakupannya.
Kedua, Puncak pemilu 2024 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik. Sebab akan banyak saling perebutan kepentingan politik di tahun yang sama. Diperkirakan tahun 2024 adalah tahun yang sangat panas karena ditahun ini terjadi perebutan kekuasaan secara serentak baik di presiden, parlemen dan kepala daerah sekaligus. Ujung ujungnya dapat mengancam stabilitas keamanan dan sosial politik secara nasional. Selain itu, jika dilaksanakan berbarengan dengan pemilu nasional, pemilu daerah akan kehilangan sorotan masyarakat.
Pemilu 2024 dan Pilkada 2025
Opsi alternatif di munculkan ke publik oleh KPU melalui pemisahan tanggal Pemilu dan Pilkada tidak dilaksanakan di tahun yang sama. KPU mengusulkan Pemilu 15 Mei 2024 sesuai usulan pemerintah dan Pilkada 19 Februari 2025.
Disatu sisi skema ini sekilas menguntungkan bagi penyelenggara karena beban kerja menjadi berkurang dan kompleksitas penyelenggaraan dapat lebih disederhanakan. Pemisahan ini dinilai mampu meningkakan kualitas penyelenggaraan demokrasi disatu sisi, sementara penyelenggara juga tidak terhimpit dengan beban kerja yang terlampau berat. Masyarakat juga dipastikan tidak akan kebingungan dengan jadwal Pilkada dan pemilu yang berbarengan dan serentak di tahun yang sama.
Namun apabila Pilkada digeser tahun 2025 , akan ada timbul pertanyaan baru soal bagaimana nasib kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023? Apakah juga akan ada opsi diperpanjang masa jabatan atau diganti dengan penjabat kepala daerah.
Bila diperpanjang atau diisi oleh PJ kepala daerah, tentunya hal ini tidak baik bagi legitimasi dan stabilitas sosial politik lokal karena masa jabatan PJ yang sangat panjang (sekitar 2 sampai dengan 3 tahun).
Dilain pihak konstitusi dinilai akan semakin melenceng apabila Pilkada digeser ke 2025. Karena hak masyarakat untuk memiliki pejabat definitif dari hasil demokrasi menjadi semakin terulur.
Untuk konteks daerah tertentu yang memiliki kekhususan, seperti Aceh, akan muncul kecaman bahwa pusat tidak konsisten dengan agenda demokrasi yang telah dicanangkan sebelumnya. Bahkan tidak tertutup kecaman tersebut dapat bermuara pada mosi tidak percaya kepada pusat.
Suara kecaman mulai terlihat misalnya dari Partai Aceh (PA). Melalui Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri, menyatakan bahwa opsi pergeseran ini sama saja dengan menipu rakyat Indonesia dan terkhusus Aceh. Terlebig alasan Pemilu 2024 dan Pilkada dipisahkan sesungguhnya bertolak belakang dengan maksud MK dan UU Pilkada.
Agenda pemerintah dalam kebijakan strategis baik level nasional maupun agenda kepentingan negara secara kelokalan juga akan berpengaruh apabila Pilkada diundur ke tahun 2025. Pergeseran Pilkada akan membuka ruang lebar bagi elit untuk manuver demi kepentingan politiknya.
Hal lain yang penting dicatat dengan situasi kondisi saat ini, pergeseran Pilkada berpotensi melestarikan hegemoni kepentingan elit nasional di level lokal. Terlebih penempatan PJ kepala daerah merupakan wewenang pusat. Sejumlah pihak juga membaca agenda pergeseran Pilkada ini terkait dengan kepentingan elit global yang ingin mempertahankan kepentingannya di level nasional.
Misalnya ada kepala daerah yang dinilai tidak pro terhadap negara tertentu. Dengan adanya pergeseran Pilkada dan penempatan PJ kepala daerah secara panjang, maka kepentingan elit global negara tertentu tersebut dapat lebih mulus. Hal ini cukup berbahaya, karena memicu polarisasi antar elit dan bahkan dapat mengganggu tatanan bernegara.
Akhir kata, KPU sebagai penyelenggara harus meyakinkan publik sejauh mana kepentingan pergeseran Pilkada tersebut. Yang jelas agenda pergeseran Pilkada tentu juga disamping mengutamakan aspek keselamatan dan beban kerja penyelenggara disatu sisi, disisi lain pergeseran tersebut harus mampu menjamin stabilitas keamanan dan pembangunan nasional selama masa transisi kekuasaan. Jangan sampai masyarakat melihat bahwa ada agenda agenda kepentingan politik tertentu dibalik wacana pergeseran pelaksanaan Pilkada di Indonesia.
Penulis adalah Dosen Jurusan Politik FISIP USK, Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif