Oleh: Aryos Nivada*
Kepastian jadwal Pilkada Aceh akhirnya mulai terjawab melalui surat KPU Nomor: 151/PP.01.2-SD/01/KPU/11/2021 tanggal 11 Februari 2021 perihal Penyampaian Rancangan Keputusan Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan tahun 2022.Dalam surat tersebut KPU RI menilai Pilkada Aceh tahun 2022 belum dapat dijalankan, sebab masih bertabrakan dengan Pasal 201 avat (3) dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan Pemilihan Serentak dilaksanakan Tahun 2024.
Selain itu lantaran belum adanya kepastian rencana revisi Undang-Undang Pilkada, maka KPU menilai belum ada landasan hukum yang kuat untuk pelaksanaan PilkadaAceh Tahun 2022.
KPU menegaskan bahwa tahapan Pilkada Aceh ditunda atau dilanjutkan menegaskan bahwa Pilkada Aceh 2022 lebih lanjut harus menunggu persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR RI sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-UndangNomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Berdasarkan Pasal 122 ayat (2) UU 6 Tahun 2020, disebutkan Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
KIP Aceh dan KIP Kabupaten Kota diinstruksikan agar tidak menjalankan tahapan Pemilihan apa pun sampai ada Putusan lebih lanjut terkait kelanjutan Pilkada Aceh setelah ada koordinasi bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR.
KIP Aceh sendiri dijadwalkan akan segera melakukan pleno untuk menindaklanjuti surat KPU tersebut yang memerintahkan KIP Aceh agar menghentikan Tahapan Pilkada 2022.
“Secara kelembagaan KIP Aceh pasti harus putuskan dalam pleno, kita akan agendakan pleno senin nanti untuk tindak lanjut dari Surat KPU tersebut,” Kata Komisioner KIP Aceh Munawarsyah ketika dihubungi dialeksis.com, Media Online di Aceh, Jum’at (12/2/2021)
Alhasil apabila keputusan politik pemerintah pusat bulat Pilkada 2022 ditunda , maka lebih kurang sebanyak 271 daerah terancam dipegang penjabat (Pj) jika Pilkada tetap dilaksanakan serentak secara nasional pada November 2024.
Disisi lain mayoritas Fraksi di DPR terlihat balik badan dari semula mendukung revisi UU Pemilu justru kini menolak Revisi UU Pemilu dan kecenderungan mendukung Pilkadaserentak dilaksanakan 2024.
Sejumlah pengamat politik melihat adanya kecenderungan politik pusat untuk mengendalikan Pileg dan Pilres 2024 dengan ‘mem-Pj-kan’ (menugaskan pejabat sementara) para kepala daerah di wilayah strategis. Analis Politik yang juga Dosen Universitas Paramadina, Khoirul Umam sebagaimana dikutip sindonews menyatakan dengan mem-PJ-kan 278 kepala daerah, berarti pemerintah pusat hendak menggantung berjalannya pemerintahan lokal karena PJ atau penjabat tidak memiliki otoritas kebijakan strategis di tingkat daerah.
“Terlepas dari sudah tercapainya kepentingan keluarga presiden di Pilkada 2020, tampaknya partai penguasa tengah berusaha mengamankan kepentingannya untuk melemahkan rival politik di DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat, sebagai provinsi besar di wilayah Jawa yang sangat berpengaruh terhadap kekuatan suaranya di Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang, mengingat 50% populasi nasional ada di Jawa,” ujar umam sebagaimana dikutip SINDOnews, Rabu (10/2/2021).
Penetapan tahun 2024 sebagai tahun pelaksanaan Pilkada serentak nasional merupakan suatu rangkaian yang telah dibangun sejak pelaksanaan Pilkada serentak bertahap yang sudah dimulai pada 2015, 2017, dan 2018.
PILKADA ACEH DAN REZIM PILKADA SERENTAK
ketentuan mengenai jadwal kepala daerah dipilih secara periodik tidak diatur secara rinci dalam konstitusi tertinggi Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1954 (UUD RI 1945).
Berbeda dengan masa jabatan presiden, yang diatur secara rinci dalam Pasal 7 UUD RI Tahun 1945. Pasal 7 ini menyebutkan : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Di sini ditegaskan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama dalam “satu masa” yakni hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sedangkan untuk konteks pemilihan kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 menyebutkan : “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Tidak disebutkan secara rinci jadwal periodik masa jabatan kepala daerah kapan harus dipilih. Ketentuan mengenai masa periodisasi jabatan kepala daerah serta berapa tahun sekali harus dipilih diatur lebih lanjut melalui peraturan perundangan, seperti UU Pilkada dan UU Khusus bagi wilayah khusus.
Sejumlah pihak menilai jadwal Pilkada Aceh merupakan bagian dari kekhususan Aceh sebab tercantum dalam pasal 65 ayat (1) UUPA yang menyebut Pilkada Aceh dilangsungkan lima tahun sekali. :
“Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Dan Walikota/Wakil Walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.”
Bila memang demikian, maka Aceh selamanya tidak akan sinkron dengan kebijakan politik pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada serentak secara nasional. Padahal disatu sisi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan NOMOR 55/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa Pilkada kini sudah masuk ke dalam rezim serentak nasional.
Disisi lain, terdapat ketidakkonsisten jadwal pelaksanaan Pilkada Aceh dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada Aceh. Sebab bila memang pelaksanaan jadwal pelaksanaan Pilkada Aceh tetap 5 tahun sekali (sebagaimana bunyi pasal 65 UUPA), harusnya dalam Qanun Pilkada Aceh tidak menyebutkan Pilkada Aceh setelah tahun 2022 akan mengikuti jadwal pilkadanasional.
Pasal 101 ayat (5) Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota disebutkan :
“Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selanjutnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan”
Artinya jadwal pelaksanaan Aceh lima tahun sekali sebagaimana pasal 65 UUPA yang diperdebatkan tersebut, ternyata dalam Qanun Pilkada Aceh yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan Pilkada di Aceh justru adaptatif dengan jadwal Pilkada Aceh sendiri. Artinya, keberadaan Pasal 101 ayat (5) Qanun Pilkada Aceh telah menjelaskan bahwa Aceh sendiri tidak anti dengan jadwal Pilkada serentak secara nasional.
Sementara itu, sikap DPRK kabupaten Kota ternyata tidak satu persepsi mengenai jadwal Pilkada Aceh dalam Rapat Koordinasi antara DPRA dengan Pemerintah Aceh, Ketua dan Ketua Komisi 1 DPRK Se-Aceh, KIP Aceh dan KIP Se-Aceh di gedung DPRA tanggal 9 Februari 2021 yang lalu.
Diketahui dari hasil kesepakatan bersama yang beredar, Ketua DPRK dan Komisi A dalam kawasan ALA tidak menandatangani kesepakatan tersebut. DPRK dan Komisi A dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Tengah sama sekali tidak menandatangani berkas kesepakatan tersebut.
Diluar wilayah tengah, terdapat 3 daerah, dimana Ketua DPRK dan Komisi A juga tidak ikut menandatangani kesepakatan tersebut. Yaitu Kota Banda Aceh, Simeulue, Aceh Tamiang. Total terdapat 9 daerah, dimana pimpinan DPRK belum menandantangani berkas kesepakatan terkait jadwal Pilkada Aceh tahun 2022.
Sementara itu, berbicara teknis apabila Pilkada Aceh ditunda dan dilaksanakan sesuai ketentuan UU Pilkadayaitu pada tahun 2024, sejumlah pihak menilai akan terdapat sejumlah kompleksitas yang terjadi jika pemilu dan pilkada dilaksanakan secara serentak pada 2024. Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kepada media beberapa waktu sebelumnya sempat memaparkan kompleksitas pada Pemilu 2019 dan permasalahannya berpotensi terulang pada 2024. Alasannya, kata dia, karena regulasinya pada level undang-undang tidak mengalami perubahan.
“2024 kita kembali berpemilu 5 kotak, memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten kota. Lalu yang kedua, tanpa perubahan UU Pilkada. Karena juga tidak dikehendaki,” kata Titi dalam diskusi Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Di Indonesia, Kamis, 11 Februari 2021.
KIP Aceh sebagai Hirarki KPU Pusat
Kembali kepada surat KPU tentang perintah penghentian sementara jadwal Pilkada Aceh 2022, secara hirarkimemang KIP Aceh tetap tunduk pada KPU Pusat. Meski dalam tahapan Pilkada KIP Aceh sendiri berwenang mengendalikan dan mengatur jadwal Pilkada Aceh.
Pasal 1 angka 12 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), telah menegaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai bagian dari hirarki KPU, KIP Aceh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tetap berada dalam koordinasi dan mengikuti arahan KPU sebagai bagian dari satu atap manajemen kepemiluaan. kelembagaan KPU bersifat Hierarki sehingga keputusan Pusat menjadi juga menjadi legitimasi bagi KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota dalam menjalankan penyelenggaraan pemilihan.
Bagaimana bila KIP Aceh tetap melaksanakan tahapan Pilkada Aceh tahun 2022 tanpa menghiraukan surat KPU tersebut? Tentu saja ada resiko bila KIP Aceh sebagai bagian dari KPU RI tidak mengindahkan instruksi KPU. Resiko paling besar, tentu akan dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP).
Dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, diatur sejumlah ketentuan tentang kode etik sebagai pedoman bagi penyelenggara pemilu disemua tingkatan.
Pada Pasal 15 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017, pada huruf c disebutkan Dalam melaksanakan prinsip profesional, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: “.melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu”
Bertindak tanpa mengindahkan arahan dan instruksi dari penyelenggara tingkat atas, dapat juga dianggap melanggar Pasal 15 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 huruf d : disebukan Dalam melaksanakan prinsip profesional, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung;
Juga diatur pada Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017, Dalam melaksanakan prinsip kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak:
huruf c menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
huruf e : Menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu;
akhir kata, Seluruh Pihak yang mengadakan Pilkada di Aceh untuk melakukan duek pakat dalam memutuskan pelaksanaan Pilkada selanjutnya di Aceh. Selain itu para pihak juga wajib menahan diri untuk tidak melakukan manuver yang bertentangan dengan UU, peraturan, maupun Peraturan KPU. Sebelum jelas legalitas pelaksanaan Pilkada Aceh.
Semua pihak harus legowo dan menerima terhadap apapun keputusan yang sudah disepakati secara bersama sama dikarenakan sudah melalui kajian serta diskusi mendalam sebelum memutuskan. Mari kita wujudkan bersama kualitas demokrasi yang mengedepankan peraturan/ketentuan daripada egois satu pihak, ataupun kelompok tertentu karena kita semua memiliki tanggung jawab moral selaku manusia demokrasi yang taat asas dan taat aturan.
*Dosen FISIP USK