Nukilan.id – Semua pihak yang punya kewenangan terkait pelaksanaan pilkada Aceh 2022 agar duduk bersama dan membicarakan secara khusus prihal itu. Jangan sampai dibiarkan seperti sekarang ini, tidak ada kepastian, sementara waktu terus berjalan. Dan apabila nantinya pilkada bisa dilaksanakan tahun 2022, waktu yang kita miliki sudah tidak cukup lagi.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Aceh, Zaini Djalil kepada Nukilan.Id, Rabu (24/2/2021) di Banda Aceh.
Menurut Zaini, perlu dibangun komunikasi antara pemerintah daerah, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat, agar pilkada serentak dilaksanakan sesuai undang-undang 11 tahun 2006. Perlu meyakinkan semua pihak, termasuk pemerintah pusat, agar nantinya tidak ada lagi permasalahan secara hukum.
“Saya belum tau, sejauh mana komunikasi yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Aceh dengan pemerintah pusat,” kata zaini
Jadi, harus jelas dulu bagaimana keputusannya terkait pilkada Aceh ini. Harus ada tindakan pemerintahan Aceh untuk memastikan ini sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2006. Kalau memang tidak bisa, Aceh masih bisa melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Zaini, pilkada serentak 2022 itu berawal dari pemilu nasional secara serentak. Kalau bicara pilkada serentak, Aceh sudah duluan melakukan pilkada serentak pada tahun 2017 lalu. Ketika pemerintah pusat menetapkan pilkada serentak berdasarkan undang-undang nomor 10 tahun 2016..
Dan apabila pilkada serentak tahun 2024 terjadi, maka yang paling dirugikan adalah Aceh, karena akan ada PJ selama 2 tahun di 23 Kabupaten/Kota dan 1 Gubernur. Proses demokrasi kita jadi terputus, karena waktu 2 tahun untuk masa jabatan gubernur itu lama dan apalagi untuk seluruh Aceh.
“Kita di daerah harus bergerak dan harus memperjelas kepada pemerintah pusat terkait undang-undang pemerintahan Aceh, jangan hanya berdebat di Aceh saja, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Zaini
Artinya, lanjut zaini – harus ada langkah-langkah kongkrit yang dilakukan, tidak lagi diskusi apakah bisa undang-undang nomor 11 atau tidak.
“Aceh ada undang-undang nomor 11 tahun 2006 dan secara nasional ada undang-undang nomor 10 tahun 2016 dan sekarang kita perlu keputusan dari pemerintah pusat, bagaimana mekanisme pelaksanaan di Aceh. Makanya kita perlu bicakan hal ini dengan pemerintah pusat, karena kita di pusat juga ada DPR-RI dan ini harus secara inten dikomunikasikan, kita semua perlu kepastian termasuk masyarakat dan partai politik,” jelas Zaini
Zaini juga mengatakan dirinya tetap mendukung pilkada serentak di Aceh pada tahun 2022 sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2006.
Namun, lanjutnya – tidak ada artinya kalau hanya sekedar dukung-mendukung sedangkan realisasinya tidak ada, karena dalam hal ini partai politik sebagai peserta, bukan penyelenggara dan bukan juga penanggung jawab.
“Penyelenggara ada KIP, ada pemerintah Aceh, ada DPR Aceh, mereka harus lebih aktif untuk menyampaikan ini kepada pemerintah pusat, jadi tidak lagi mendiskusikan ditingkat daerah,” ujarnya.
Dijelaskan, ada dua undang-undang yang mengatur Pilkada di Aceh. Pertama undang-undang nomor 10 tahun 2016 secara nasional pilkada dilakukan 2024, sementara Aceh mengacu kepada undang-undang nomor 11 tahun 2006, bahwa pilkada Aceh itu dilaksanakan lima tahun sekali dan itu dilaksanakan pada tahun 2022.
“Hanya kendalanya yaitu terkait dengan anggaran pilkada dan juga terkait keputusan pusat yang belum ada kejelasan,” demikian Zaini. []
Reporter: Akhi Wanda