Yunizar Tepis Pernyataan Nasrullah Terkait Konflik Hutan Adat Delong Senenggan

Share

NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Polemik terkait dugaan perambahan Hutan Adat Delong Senenggan di Dusun Tanah Munggu, Gampong Durian Kawan, Aceh Selatan, memanas. Ketua Kelompok Tani Delong Durung, Nasrullah, membantah keras tuduhan bahwa kelompoknya telah merambah kawasan hutan adat. Namun, pernyataannya mendapat tanggapan serius dari warga adat setempat.

Dalam pernyataan kepada media pada Sabtu (26/7/2025) yang dikutip dari Kupas.co, Nasrullah menegaskan aktivitas kelompoknya dilakukan di wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) dan bukan di kawasan hutan adat. Ia menduga ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menggagalkan upaya petani menata ekonomi secara mandiri.

Ia juga mengklaim bahwa alat berat milik kelompoknya dirusak dan disita tanpa prosedur hukum yang jelas. Saat ini, pihaknya sedang menyiapkan langkah hukum untuk melawan dugaan kriminalisasi terhadap petani.

Nasrullah turut menunjukkan dua dokumen yang menurutnya sah: Surat Rekomendasi Geuchik Gampong Durian Kawan No. 335/425/2025 tertanggal 2 Juni 2025, dan Surat Rekomendasi dari KPH Wilayah VI Aceh No. 522/92 tertanggal 2 Juli 2025.

Namun, pernyataan ini dibantah oleh Yusnizar, Sekretaris Pemuda Lembah Senenggan, yang menyebut bahwa klaim tersebut perlu diluruskan berdasarkan fakta di lapangan dan kerangka hukum yang berlaku.

“Pernyataan Nasrullah justru menunjukkan bahwa wilayah itu memang telah dikenal secara sosial sebagai hutan adat oleh masyarakat hukum adat yang sah, meski belum ada pengakuan formal dari negara,” kata Yusnizar dalam keterangannya yang diterima Nukilan.id, Minggu (27/7/2025).

Yusnizar merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa keberadaan hutan adat tidak terlepas dari keberadaan masyarakat hukum adat. Artinya, meskipun pengakuan secara administratif belum diterbitkan, wilayah tersebut telah dikenal dan dihormati secara turun-temurun oleh komunitas adat setempat.

Karena itu, kata Yusnizar, pembukaan lahan di kawasan tersebut tidak bisa dilakukan secara sepihak, terlebih tanpa melibatkan atau meminta persetujuan dari masyarakat hukum adat yang secara historis telah menguasai wilayah itu.

“Oleh karena itu, aktivitas penggarapan di atas wilayah yang sedang dalam proses pengakuan sebagai hutan adat tidak dapat dilakukan secara sepihak, apalagi tanpa persetujuan masyarakat hukum adat yang menguasai wilayah tersebut secara turun-temurun,” katanya.

Yusnizar juga menanggapi soal dokumen rekomendasi yang dijadikan dasar oleh Nasrullah untuk membenarkan aktivitas penggarapan lahan yang menurutnya tidak serta merta memberikan legitimasi atas penguasaan lahan di atas wilayah hutan adat.

“Surat rekomendasi Keuchik Gampong Durian Kawan maupun Kepala KPH VI Aceh tidak serta merta memberikan legitimasi atas penguasaan lahan di atas wilayah hutan adat. Aparatur gampong tidak memiliki kewenangan untuk mengalihkan hak pengelolaan atau kepemilikan tanah yang secara historis merupakan bagian dari hutan adat,” jelas Yunizar.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa tindakan tersebut justru dapat melanggar prinsip kehati-hatian, bahkan berpotensi mengabaikan hak masyarakat adat sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

“Hal ini justru berpotensi melanggar asas kehati-hatian dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pengabaian terhadap hak masyarakat adat sebagaimana dilindungi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara,” tegas Yusnizar.

Dalam kasus konflik agraria yang melibatkan wilayah adat, ia menekankan pentingnya musyawarah sebagai prinsip penyelesaian utama. Ia menilai bahwa pengoperasian alat berat oleh kelompok tani tanpa melibatkan mekanisme adat merupakan bentuk pelanggaran etika sosial maupun hukum adat.

“Dalam konteks konflik agraria dan kawasan adat, musyawarah dan persetujuan bersama dengan masyarakat hukum adat adalah prinsip utama. Fakta bahwa kelompok tani mulai melakukan pembukaan lahan dan pengoperasian alat berat tanpa melalui dialog atau mekanisme adat yang sah menunjukkan adanya pelanggaran etika sosial dan hukum adat,” ungkapnya.

Yusnizar juga menyoroti pentingnya penghormatan terhadap mekanisme penyelesaian konflik berbasis adat. Ia menolak jika penyelesaian konflik hanya mengandalkan pendekatan hukum positif semata.

“Penyelesaian sengketa adat dalam kawasan hutan adat tidaklah serta merta harus diselesaikan berdasarkan hukum positif, melainkan harus melalui musyawarah majelis sidang adat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang pada pokoknya menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat,” jelasnya.

Terkait insiden pengrusakan alat berat, Yusnizar mengaku menyesalkan peristiwa tersebut. Namun ia menilai, hal itu tidak boleh dijadikan pembenaran untuk mengabaikan akar masalah yang bersumber dari dugaan pelanggaran atas wilayah adat.

“Kami menyayangkan apabila terjadi insiden kekerasan dan pengrusakan terhadap alat berat kelompok tani. Namun hal ini tidak dapat dijadikan dalih untuk menutup-nutupi fakta bahwa akar konflik bersumber dari aktivitas yang dianggap melanggar wilayah adat dan dilakukan secara sepihak,” tegasnya.

Ia pun mendesak agar konflik ini diselesaikan melalui pendekatan dialog dan mediasi yang adil, bukan dengan memperluas klaim berbasis dokumen administratif yang dipertanyakan.

“Dalam situasi seperti ini, penyelesaian harus ditempuh melalui dialog dan mediasi, bukan dengan memperluas klaim atas dasar surat rekomendasi administratif yang diragukan legitimasi penguasaannya,” ungkap Yunizar.

Yunizar menegaskan bahwa konflik yang terjadi tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ia menyatakan, penyelesaian yang adil dan berpihak pada kebenaran sejarah serta pengakuan hak masyarakat adat sangat mendesak untuk dilakukan.

Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dan Kementerian Kehutanan agar segera turun tangan menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung cukup lama ini.

“Pemkab Aceh Selatan dan Kementerian Kehutanan perlu segera melakukan investigasi lapangan, memverifikasi batas-batas, dan mempercepat proses penetapan hutan adat Delong Senenggan secara resmi, agar tidak terjadi manipulasi klaim berbasis kepentingan sepihak,” tegasnya.

Yunizar juga mengingatkan agar semua pihak melihat bahwa secara sosial dan historis, lahan yang dipersoalkan merupakan bagian dari wilayah adat masyarakat. Ia menilai akar persoalan dalam konflik ini terletak pada pengabaian terhadap proses pengakuan hak adat yang seharusnya menjadi bagian penting dalam penyelesaian.

“Pengabaian terhadap proses pengakuan hak adat justru menjadi sumber konflik yang perlu diselesaikan melalui pendekatan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat,” pungkas Yusnizar. (XRQ)

Update berita lainnya di Nukilan.id dan Google News

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News