NUKILAN.id | Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi NasDem, Muslim Ayub, mengusulkan agar pemilihan umum (Pemilu) digelar setiap 10 tahun. Usulan ini disampaikan Muslim dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Baleg DPR, Rabu (30/10/2024), yang turut dihadiri sejumlah organisasi seperti Perludem, Komnas Perempuan, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Muslim menilai bahwa siklus pemilu lima tahunan terlalu singkat, sedangkan untuk maju sebagai calon legislatif (caleg) membutuhkan modal besar. Ia menyebut biaya pencalonan bisa mencapai lebih dari Rp20 miliar, sehingga memperpanjang periode pemilu menjadi 10 tahun dinilainya lebih efisien.
Usulan ini langsung mendapat beragam tanggapan dari masyarakat. Tak sedikit yang mempertanyakan urgensi dan arah usulan tersebut dalam konteks demokrasi dan fungsi parlemen sebagai wakil rakyat.
Koordinator Lab Demokrasi, Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon, memberikan komentar pedas terhadap pernyataan ini. Dalam wawancara dengan Nukilan.id, Bryan mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, usulan Muslim tersebut justru berpotensi mengarahkan legislasi ke jalur yang salah.
“Kalau dia memulai langkah awalnya di DPR RI periode baru ini dengan menggunakan sudut pandang biaya politik dan kontestasi pemilu, itu sudah salah arah,” tegas Bryan pada Jumat (1/11/2024).
Ia menyebutkan bahwa fungsi utama parlemen adalah mengedepankan kepentingan rakyat, bukan sekadar memikirkan cara mengembalikan modal politik.
Bryan menyoroti bahwa pandangan yang memfokuskan pada “cost and benefit” politik cenderung menjadikan parlemen seolah arena bisnis yang mencari keuntungan pribadi. Menurutnya, sikap seperti ini dapat merusak substansi peran anggota dewan sebagai wakil rakyat.
“Sekarang, ruang parlemen justru dipandang semacam ‘bisnis’, bagaimana caranya agar modal yang dikeluarkan untuk pemilu bisa balik dalam lima tahun masa jabatan,” lanjutnya.
Menurut Bryan, prioritas utama anggota Baleg DPR RI seharusnya adalah menjalankan peran substantif sebagai pembuat kebijakan yang solutif untuk masyarakat.
“Anggota Baleg perlu benar-benar berfungsi sebagai wakil rakyat, menghasilkan kebijakan dan undang-undang yang menjawab masalah publik dan menyuarakan aspirasi dari daerah pemilihan mereka,” tutup Bryan.
Pernyataan Bryan menyoroti kebutuhan untuk mengembalikan fokus parlemen pada tugas utama dalam pembuatan undang-undang yang mencerminkan kepentingan publik dan aspirasi daerah pemilihan. Hal ini, menurutnya, akan lebih bermakna bagi pembangunan demokrasi yang berkelanjutan di Indonesia. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah